Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Kerugian Konstitusional Akibat Ambang Batas Parlemen

Sebanyak 17,3 juta suara rakyat dalam pemilu legislatif 2024 terbuang begitu saja akibat aturan ambang batas parlemen.

27 Maret 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi: Tempo/Kuswoyo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KOMISI Pemilihan Umum akhirnya menetapkan rekapitulasi hasil penghitungan dan perolehan suara tingkat nasional pemilihan umum legislatif Dewan Perwakilan Rakyat pada 20 Maret 2024. Hasilnya, 10 dari 18 partai politik peserta pemilu dinyatakan tidak lolos ambang batas parlemen (parliamentary threshold) yang ditetapkan, yakni minimal 4 persen perolehan suara sah secara nasional.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sepuluh partai politik yang tidak lolos tersebut adalah Partai Persatuan Pembangunan, Partai Solidaritas Indonesia, Partai Perindo, Partai Gelora, Partai Hanura, Partai Buruh, Partai Ummat, Partai Bulan Bintang, Partai Garuda, dan Partai Kebangkitan Nusantara. Berdasarkan hasil penghitungan dan rekapitulasi suara yang dikeluarkan KPU, beberapa partai sejatinya memperoleh suara signifikan. PPP, misalnya, memperoleh 5.878.777 suara, PSI meraih 4.260.169 suara, dan Perindo mendapat 1.955.154 suara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menilik perolehan suara partai-partai tersebut, secara total mereka berhasil mengumpulkan 17.304.303 suara atau sekitar 11,4 persen dari total 151.796.630 suara sah nasional. Kegagalan sepuluh partai tersebut menembus ambang batas parlemen mengakibatkan jumlah suara rakyat yang terbuang mencapai tiga kali lipat dari batas yang ditetapkan.

Secara normatif, suara yang diperoleh partai-partai tersebut sah, tapi tidak dapat dikonversi menjadi kursi di DPR. Hal ini jelas tidak sejalan dengan prinsip demokrasi dan kedaulatan rakyat, di mana setiap suara seharusnya dihargai tanpa terkecuali. Dalam esensi demokrasi, suara rakyat memegang peran utama sebagai penentu dalam pembentukan pemerintahan.

Merujuk pada perolehan suara partai politik di setiap daerah pemilihan, beberapa di antara partai-partai tersebut sebenarnya meraih suara yang cukup untuk mengirim perwakilan ke parlemen. Bahkan mereka mungkin telah mengalahkan beberapa partai yang berhasil melampaui ambang batas. Namun, ironisnya, suara tersebut menjadi tidak berarti karena partai yang bersangkutan gagal memenuhi ekspektasi ambang batas 4 persen secara nasional.

Dalam konteks ini, penting untuk dicatat bahwa tidak lolosnya partai-partai tersebut bukan hanya berarti suara itu hilang karena ambang batas parlemen, tapi juga menghapus pertanggungjawaban atas suara tersebut. Kondisi ini menimbulkan ketidakadilan karena rakyat tidak memiliki dasar hukum untuk menuntut. Padahal setiap suara merupakan ekspresi keinginan dan harapan perubahan dari masyarakat yang diwakili partai politik.

Berbeda halnya dengan suara yang diperoleh calon anggota legislatif yang gagal mendapat kursi di DPR, tapi partainya lolos parliamentary threshold. Dalam hal ini, suara rakyat tidak hilang. Sebab, suara yang diberikan berkontribusi terhadap kelolosan partai yang bersangkutan ke parlemen. Artinya, sepanjang partai yang bersangkutan memiliki kursi di DPR, masyarakat dapat menuntut dan partai politik yang bersangkutan harus mempertanggungjawabkannya melalui wakilnya yang lolos berdasarkan hasil perolehan suara.

Menimbang Ambang Batas Parlemen

Ketentuan parliamentary threshold terdapat pada Pasal 414 ayat 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Sejak 2009, ketentuan ambang batas parlemen setidaknya sudah diuji tujuh kali di Mahkamah Konstitusi. Dalam putusan terakhirnya, yakni Putusan No.116/PUU-XXI/2023, barulah MK menyatakan aturan ini inkonstitusional secara bersyarat. Namun pemberlakuannya baru dimulai pada Pemilu 2029. Dalam enam putusan sebelumnya, MK selalu berkomitmen dalam pertimbangan hukumnya dengan menyatakan ketentuan tersebut merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) dari pembentuk undang-undang.

Secara normatif, merujuk pada prinsip kedaulatan rakyat, putusan MK No.116/PUU-XXI/2023 tidak berhasil menyelesaikan persoalan yang muncul mengenai ambang batas parlemen pada Pemilu 2024. Sebab, MK tidak menghapus kerugian konstitusional yang diakibatkan. Bahkan, dalam putusannya, MK membuka kemungkinan bahwa ketentuan yang sama dapat diterapkan kembali pada pemilu mendatang, dengan syarat penetapan nilai ambang batas tersebut memiliki dasar rasionalitas yang jelas atau didasarkan pada metode dan argumen yang memadai.

Artinya, sekalipun ada putusan a quo, MK tetap memberikan legitimasi konstitusional untuk penerapan ketentuan terkait dalam pemilu. Hal ini seperti tidak mempertimbangkan dampak buruk yang ditimbulkan, yakni adanya suara rakyat terbuang yang seharusnya tidak dikenal dalam negara berdasarkan kedaulatan rakyat. Pada akhirnya, ada atau tidaknya putusan ini, 17,3 juta suara rakyat pada Pemilu 2024 tetap berakhir di "tong sampah". Adapun untuk pemilu legislatif yang akan datang, potensi serupa tetap terbuka karena MK dalam putusannya membuka peluang adanya ambang batas parlemen.

Saat ini sejumlah partai sedang mengajukan sengketa hasil pemilu ke MK, tapi mereka lebih berfokus pada upaya memperoleh jatah kursi di DPR dan DPRD, bukan memperjuangkan hak suara rakyat yang terbuang. Seharusnya partai politik yang tidak berhasil melewati ambang batas 4 persen lebih berfokus memperjuangkan suara rakyat agar tidak terbuang sia-sia.

Ada pilihan memperjuangkan hal itu melalui MK dengan mengajukan permohonan yang tidak hanya menyoroti suara hilang atau kecurangan, tapi juga meminta MK membuka opsi kolaborasi atau koalisi antarpartai untuk memenuhi ambang batas. Hal ini seharusnya memiliki legitimasi kuat karena persentase potensi suara terbuang hampir tiga lipat ambang batas yang ditentukan. Dengan demikian, tidak akan ada suara terbuang.

Walaupun tidak ada jaminan permohonan itu akan dikabulkan, setidaknya terlihat ada niat baik untuk memperjuangkan dan mempertanggungjawabkan suara rakyat yang telah memilih dari partai-partai yang tidak lolos ambang batas. Sebab, suara rakyat seharusnya diperlakukan dengan lebih baik dan tidak boleh hanya berakhir di "tong sampah".

Perlu dipahami bahwa saat ini yang menjadi persoalan bukan hanya kerugian yang bakal timbul, tapi juga kerugian konstitusional yang dapat dibuktikan secara nyata. Apabila dikembalikan pada konteks kedaulatan rakyat, kerugian konstitusional itu tak sebatas diderita partai politik, tapi juga dialami masyarakat karena suara yang mereka berikan terbuang tanpa bekas.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.

Antoni Putra

Antoni Putra

Alumnus Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus