Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penghentian kembali penyidikan kasus dugaan penggelapan dan pencucian uang yang menyeret bos Sugar Group, Gunawan Jusuf, merongrong asas kepastian hukum. Polisi harus menjelaskan secara terbuka mengapa mereka membuka dan menutup kembali dugaan penyelewengan dana investasi senilai sekitar Rp 1,13 triliun itu.
Kasus ini terbilang janggal sejak awal. Dua puluh tahun silam, Direktur Aperchance Company Limited Toh Keng Siong secara bertahap menanamkan uang Rp 1,13 triliun di PT Makindo Sekuritas Tbk milik Gunawan. Atas dasar saling percaya, kedua pihak menyebut duit itu deposito berjangka. Tapi Toh tak pernah menerima sertifikat deposito. Setiap kali menyetor uang, pengusaha Singapura ini hanya mendapat konfirmasi tertulis dari Claudine, Direktur Makindo yang juga istri Gunawan.
Bibit perseteruan bersemi ketika Toh mencurigai Gunawan memakai dana investasi itu untuk membeli empat perusahaan gula yang dilelang Badan Penyehatan Perbankan Nasional. Tak pernah menerima keuntungan dan takut dananya lenyap, pada 2004, Toh melapor ke Badan Reserse Kriminal. Dia menuduh Gunawan menggelapkan dan mencuci uang. Namun polisi menghentikan penyidikan kasus tersebut lantaran Claudine menyangkal meneken surat konfirmasi investasi.
Ajaib, belakangan Claudine membuat testimoni tertulis bahwa Toh memang menanamkan uang di Makindo. Karena itu, pada 2016, Toh kembali melaporkan Gunawan ke Bareskrim. Polisi bergegas menerbitkan tiga surat perintah penyidikan. Namun, pada 14 Desember lalu, Bareskrim kembali menghentikan pengusutan kasus tersebut.
Polisi mengklaim penyidikan kasus ini dihentikan lantaran ada masukan dari kejaksaan, Menurut polisi, jaksa menilai kasus ini kedaluwarsa dan nebis in idem. Namun kejaksaan membantah klaim polisi. Alasan nebis in idem memang terdengar mengada-ada karena kasus ini tak pernah masuk pengadilan. Gunawan pun tak pernah dituntut untuk kedua kalinya dalam perkara yang sama.
Buka-tutup penyidikan tanpa argumen yang valid tak hanya menguatkan kesan bahwa hukum di Indonesia bisa dibuat mulur-mengkeret. Ketidakpastian hukum, di samping merugikan pihak yang bersengketa, telah lama menjadi problem besar yang menghambat investasi di negeri ini. Laporan Bank Dunia yang dirilis awal November lalu, Doing Business 2019: Training for Reform, mengkonfirmasi kekhawatiran para investor asing. Menurut laporan tersebut, kemudahan berbisnis di Indonesia turun satu peringkat menjadi 73, dari 190 negara yang diperbandingkan. Padahal Presiden Joko Widodo menargetkan kemudahan bisnis di Indonesia tahun ini tembus peringkat 40 dunia.
Berdasarkan laporan Bank Dunia, peringkat kemudahan bisnis Indonesia turun karena empat faktor utama: perizinan yang berbelit, lemahnya perlindungan atas investor minoritas, hambatan perdagangan lintas batas, dan ketidakpastian soal penegak-an kontrak dagang. Keempat faktor itu lagi-lagi berkaitan dengan ketidakpastian hukum. Tanpa kepastian hukum, penghormatan atas kontrak bisnis dipastikan lemah. Ketika pengusaha dalam negeri mudah mempengaruhi penegak hukum, investor asing bakal ekstrahati-hati menanamkan modal.
Karena itu, polisi jangan bermain api ketika mengusut sengketa bisnis, terutama yang melibatkan investor asing. Polisi sejak awal seharusnya mendorong laporan tentang sengketa investasi ke ranah perdata. Memaksakan penyidikan lalu menghentikannya di tengah jalan secara berulang akan memantik kecurigaan sekaligus mencederai prinsip kepastian hukum.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo