Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bandung Mawardi*
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gorengan itu murah dan enak. Kita bisa membuktikannya dengan dolan ke Solo. Gorengan menjadikan Solo makin sah sebagai kota jajanan atau angkringan. Di pelbagai tempat, para pedagang menjajakan gorengan. Di angkringan, gorengan itu menu wajib yang menemani orang minum teh, jahe, dan kopi. Solo boleh dijuluki “kota gorengan”.
Di Solopos, 20 Januari 2020, tertulis, “Sulastri atau biasa disapa Mbah Lastri merupakan penjual gorengan yang setiap hari memangkal di Jl. Guntur, Jebres, Solo. Di jalan itu banyak terdapat tempat indekos mahasiswa Universitas Sebelas Maret (UNS).” Mbah Lastri sudah berdagang gorengan selama 24 tahun. Hasil berdagang digunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Mbah Lastri berjualan beragam jenis gorengan: bakwan, tahu isi sayuran, tempe goreng, pisang goreng, dan sukun goreng. Harganya per biji Rp 500. Di tempat-tempat lain, gorengan sudah Rp 1.000 per biji. Di kalangan mahasiswa, gorengan Mbah Lastri itu murah dan enak.
Mbah Lastri mungkin tak mengikuti berita di koran dan televisi. Orang sedang meributkan gorengan. Berita mengenai gorengan bermunculan setiap hari. Artikel-artikel bertema gorengan mengajak pembaca memahami situasi bisnis dan politik di Indonesia. Berita dan artikel itu tak berkaitan dengan biografi Mbah Lastri sebagai penjual gorengan di Solo. Gorengan mutakhir tidak untuk dimakan saat pagi atau sore. Gorengan itu masalah manipulasi dan duit.
Dalam laporan utama mengenai saham di Kontan edisi 20-26 Januari 2020, berita-beritanya memuat sebutan saham gorengan. Kita tak membaca bakwan, tahu, tempe, atau sukun. Berita serius itu tak seenak gorengan buatan Mbah Lastri: “Pola investasi yang dijalankan Asabri memang mirip dengan Jiwasraya. Alih-alih membeli saham papan atas alias blue chip, manajemen Asabri malah mengoleksi saham lapis kedua dan ketiga. Saham kategori ini memang berpotensi menghasilkan imbal hasil gemuk. Tapi, rentan pula jeblok. Saham-saham di kategori ini pula yang kerap direkayasa oleh para bandar saham atau istilahnya ‘saham gorengan’.”
Kita mengerti bahwa gorengan dalam berita bisnis tak mengingatkan orang pada kompor, wajan, minyak, tepung, dan lain-lain. Kita mendapat arti mengejutkan dari sebutan saham gorengan. Sejak puluhan tahun lalu, gorengan itu sebutan untuk makanan. Orang masa lalu mungkin belum meramalkan bahwa gorengan berpasangan dengan saham menjadi sebutan saham gorengan. Pada masa lalu, goreng dikenali pula di balbalan atau sepak bola. Sebutan itu tidak dianggap bermasalah. Di kampung, penonton sering berteriak kepada para pemain. Orang biasa mengucap nggorenge kesuwen atau “menggoreng kelamaan”. Bola direbut lawan. Komentator pun berkata, “Bola sedang ‘digoreng’ sebelum ditendang ke arah gawang.” Kita bisa mengartikan “menggoreng” atau “digoreng” itu cara pemain menguasai atau menggiring bola. Pada saat terjadi gol, orang berhak berkata bahwa bola itu hasil gorengan pemain yang cerdik atau lihai.
Gorengan memiliki arti yang berkaitan dengan makanan, investasi, dan sepak bola. Kita mulai dengan mengingat pengertian goreng di kamus-kamus. Menurut Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (1952), goreng adalah “jang dimasak kering-kering dibadjan (kuali) dengan minjak atau tidak”. Gorengan berarti “barang apa jang digoreng”. Sutan Mohammad Zain agak kesulitan memberi pengertian goreng dalam Kamus Moderen Bahasa Indonesia (1954). Ia menulis, menggoreng ikan berarti “memasak ikan dengan minjak atau mentega”. Kita membaca ada “digoreng”, “penggoreng”, dan “penggorengan”. Kita tak menemukan gorengan. Dua kamus itu mungkin belum memadai untuk memahami gorengan dalam makanan, investasi, dan sepak bola.
Kita pernah pula mendengar peringatan agar publik, wartawan, atau lawan politik tak menggoreng isu. Kita mengimajinasikan bahwa menggoreng itu mengolah isu dengan beragam kepentingan. Menggoreng bukan masalah menghasilkan makanan berkolesterol. Sutan Mohammad Zain mengartikan penggoreng sebagai pembual. Orang yang menggoreng isu bisa dianggap pembual. Kita mulai mendapat kewajaran sebutan bahwa orang yang pintar memainkan isu adalah penggoreng isu. Ia tak seperti Mbah Lastri sebagai penggoreng bakwan, tempe, dan tahu. Berita di Kontan memberikan julukan kepada orang dalam kasus saham gorengan sebagai “pelaku goreng”, bukan penggoreng.
Kita menanti pihak pembuat kamus mengubah atau menambahi arti gorengan. Pengertian di Kamus Besar Bahasa Indonesia (2018) belum memuat masalah saham atau politik. Di halaman 547, gorengan berarti “penganan yang digoreng” dan “gulai daging atau jeroan yang diberi rempah-rempah, kecap, dan santan”. Pengertian ketiga berkaitan dengan olahraga: “permainan (membawa, menggiring) bola (dalam sepak bola)”. Kasus saham gorengan masih panas. Kita berharap para leksikograf rajin membuat kliping dari koran dan majalah untuk membuat pengertian baru tentang gorengan.
*) Kuncen Bilik Literasi, penulis buku Pengisah dan Pengasih (2019)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo