Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bambang Sugeng*
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEMASA belum bisa membaca, sampai menjelang kelas tiga sekolah dasar, saya dan teman-teman hanya mengandalkan telinga sewaktu menghafal. Kami mendengar, tapi tidak mendengarkan. Akibatnya salah dengar. Hafal, tapi salah lafal. Misalnya ketika kami menyanyikan Garuda Pancasila dalam upacara bendera.
Karya Sudharnoto itu kami nyanyikan dengan berapi-api, tapi dengan lirik yang sungguh ambyar. Entah beroleh kata dari mana, kami yakin betul bahwa lagu itu memang berbunyi “Garuda Pancasila, akulah pandu kumu...”. Dan suara kami makin melengking pada bagian “Pribang-pribang saku, ayo maju, maju...”. Naifnya, tak ada orang di kampung kami yang meluruskannya. Entahlah, mungkin literasi mereka sama saja rendahnya. Kala itu, masyarakat setempat memang bertutur dalam bahasa Jawa.
Sekian tahun berselang, adik saya gemar bersolo menyanyikan Si Miskin. Lagu ini aslinya dinyanyikan berdua, seperti dalam opera, berupa dialog antara anak dan ibu. Anak: “Oh Ibu, minta uang, di luar ada si miskin.” Ibu: “Kasih-in kandang tahu, suruh makan segera.” Kata-kata beraksara miring ini tentu maksudnya “Kasih ikan dan tahu”. Lucu, bukan?
Bukan cuma itu, lagu Pelangi pun melenceng menjadi “Pelangit, pelangit, alangkah indahmu”. Lantas “Pelukismu agung, siapa gerangan” terdengar seperti “Peluk kismu aku, siapa gerangan”. Kalau saya betulkan, dia ngeyel. Agaknya, dia percaya bahwa bianglala beraliaskan pelangit karena bergantung melengkung di langit. Dalam bahasa Jawa, kami menyebutnya kluwung, yang muncul sesaat setelah udan kethek ngilo (hujan monyet becermin), yakni hujan gerimis yang disorot seberkas sinar surya. “Bidadari sedang mandi,” kata orang-orang.
Boleh jadi, sebagai peninggalan masa lalu, generasi Baby Boomer masih nyaman dengan lirik “Gelang sepatu gelang, gelang si ramai-ramai”, alih-alih “si paku” dan “si rama-rama”.
Bahasa, lisan ataupun tulisan, selalu menarik untuk diselisik dari berbagai sisi. Bahasa lisan diucapkan untuk didengar atau didengarkan, bahasa tulis ditulis untuk dibaca atau dibacakan. Tiap bahasa punya perangai sendiri-sendiri. Cara melafalkan dan menuliskannya pun berbeda-beda.
Kita boleh saja berolok-olok tentang “lidah Sunda” dengan memelesetkan nama-nama keren mobil Jepang ini: Apansa, Epalia, Inopa, Lipina, Perosa, dan Pitara. Kita juga boleh bergurau tentang “lidah Arab” dengan ungkapan “fafa minta fulsa” atau bercanda tentang “lidah Jepang” seperti bunyi iklan “rasanya ruar biasa”. Bagaimanapun, setiap bahasa toh punya sistem linguistik sendiri, termasuk bahasa Jawa yang dikenal dengan ciri khasnya, medok.
Dalam pada itu, kita tidak boleh menafikan kenyataan bahwa lafal bahasa Indonesia sejatinya tidak mengenal fonem f dan v. Pada dasarnya, huruf f dan v, seperti halnya huruf q, x, dan z, secara abjadiah merupakan lambang bunyi yang disiapkan untuk berjaga-jaga belaka, guna menampung kata serapan yang dipungut dari bahasa asing atau untuk menyebut nama-nama asing.
Pada masa lampau, kata serapan asing justru dihadirkan dalam wujud “asli” bahasa Indonesia dengan konversi f atau v menjadi p. Ejaannya pun sudah dibakukan secara resmi seperti terekam dalam berbagai kamus. Misalnya paham (faham), pikir (fikir), napas (nafas), telepon (telefoon), permak (vermaak), dan pulpen (vulpen). Kata-kata asing ini diubah secara fonemis sehingga menjadi terasa seperti warga bahasa Indonesia asli, bukan? Dengan demikian, “lidah Sunda” itu merupakan tuturan yang lumrah belaka. Sebab, begitulah sejatinya naluri orang Indonesia totok dalam melafalkan bahasa Indonesia tulen.
Bahasa terus berkembang. Beberapa kata tersingkir ditelan zaman, lalu tersimpan menjadi arkais atau usang. Kata baru pun bermunculan seiring dengan berkembangnya peradaban. Itu pula sebabnya Kamus Besar Bahasa Indonesia dimutakhirkan secara berkala. Belum lama ini, seribuan lema baru dan seratusan lema ubahan ditambahkan. Di antaranya, ada dua kata “istimewa” berhiaskan tanda apostrof. Sekarang, Al-Qur’an dan Ka’bah tak lagi ditulis Alquran dan Kakbah. Kidal punya pendamping kinan, lawan katanya. Balita pun punya adik baru, baduta ([anak] bawah dua tahun).
Kamus Besar terlihat sangat bergairah dalam merekam berbagai gejala bahasa yang muncul dalam pergaulan masyarakat. Sebagai rujukan, kedudukannya kian terandalkan.
*) Penerjemah
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo