Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BANYAK jalan menyelamatkan bank-bank bermasalah. Pada krisis 1998, pemerintah membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional. Sepuluh tahun kemudian, Bank Indonesia menjalankan protokol penanganan bank bermasalah dalam kasus Bank Century dengan dukungan Komite Stabilitas Sektor Keuangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada saat pandemi Covid-19 menghancurkan banyak perusahaan, dari yang besar hingga yang kecil, pemerintah menempuh cara yang berbeda. Krisis itu mengakibatkan kredit macet dan menekan likuiditas semua bank di Indonesia. Pemerintah akan menyuntikkan dana Rp 87,6 triliun kepada bank jangkar atau bank peserta yang nantinya menjadi perpanjangan tangan pemerintah untuk menyehatkan bank-bank yang kesulitan likuiditas dan menambah modal kerja pelaku usaha, terutama usaha mikro, kecil, dan menengah yang terkena dampak Covid-19.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sekilas, tidak ada yang keliru dari kebijakan tersebut. Penempatan dana di bank jangkar itu berupa deposito dan surat deposito, dengan imbal hasil setara dengan bunga surat berharga negara yang dibeli Bank Indonesia. Karena itu, bank-bank jangkar yang ditunjuk membantu pemerintah tidak akan dirugikan. Namun, bila ditilik lebih jauh, ada risiko dalam skema bantuan likuiditas tersebut.
Pertama, kondisi keuangan sejumlah calon bank jangkar juga tertekan oleh seretnya likuiditas setelah merestrukturisasi kredit nasabah. Hingga 2 Juni lalu, sudah ada 5,94 juta debitor, baik usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) maupun non-UMKM. Restrukturisasi tersebut disalurkan melalui 99 bank umum konvensional dan syariah senilai Rp 609 triliun.
Kedua, bila pemilihan bank jangkar alias bank peserta tidak dilakukan dengan cermat, sudah pasti risiko pelaksanaan program ini beralih ke bank jangkar yang diisi bank-bank sistemik, yang pada akhirnya berpotensi membahayakan industri perbankan secara keseluruhan. Tak cuma tertekan oleh likuiditas internal, mereka kini kelimpahan tugas harus menyeleksi bank pelaksana yang mengajukan proposal pinjaman. Sebagai pemain, bank jangkar merangkap sebagai wasit penentu hidup-mati bank lain. Jelas ada potensi konflik kepentingan.
Dengan skema ini, penyaluran likuiditas buat bank lain pada akhirnya mengacu pada pertimbangan komersial alias untung-rugi, bukan semata-mata demi menyehatkan likuiditas bank-bank yang dibantu (bank pelaksana). Memang, dalam pelaksanaannya, program ini akan melibatkan Otoritas Jasa Keuangan, Lembaga Penjamin Simpanan, serta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. Namun adakah jaminan tidak akan terjadi kongkalikong antara bank jangkar dan bank pelaksana demi mengeduk uang negara?
Pengalaman selama ini menunjukkan moral hazard selalu terjadi dalam proses penyelamatan bank bermasalah, baik pada krisis 1998 maupun penyelamatan Century. Dalam dua peristiwa tersebut, pemilik yang sudah menghancurkan banknya sendiri masih bisa mengeduk keuntungan dari proses penyelamatannya. Apalagi pendanaan program ini bersumber dari APBN yang berasal dari penerbitan obligasi yang diserap Bank Indonesia.
Cara ini berbahaya karena akan meningkatkan inflasi, dan bertambahnya jumlah uang beredar bisa berisiko menurunkan nilai tukar. Berbeda dengan dolar atau yen, rupiah bukan mata uang yang bisa mudah ditukar di mana-mana. Jangan sampai kita menanggung risiko yang tidak perlu, sementara penyehatan likuiditas perbankan malah tidak tercapai. Karena itu, ketimbang menggunakan cara baru yang berisiko, pemerintah sebaiknya menempuh cara yang pernah dilakukan dengan penyempurnaan di sana-sini.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo