Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Putu Setia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Heboh soal diangkatnya Abdi Negara Nurdin alias Abdee Slank menjadi komisaris di PT Telkom Indonesia sudah mulai reda. Ribut-ribut soal begini hal yang biasa, meski sementara. Yang membela Abdee banyak, misalnya Triawan Munaf dan Peter Frans Gontha. Triawan pernah menjadi Ketua Badan Ekonomi Kreatif, dan Peter Gontha pernah menjadi duta besar. Keduanya saat ini menjadi komisaris PT Garuda. Solidaritas sesama komisaris tentu tinggi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Banyak orang yang tidak peduli siapa yang menjadi komisaris di sebuah BUMN. Jadi, biasa-biasa saja membaca di media Abdee menjadi komisaris. Secara guyonan malah disebut, apa salahnya Abdee jadi komisaris, karena dia seorang gitaris, sama-sama berakhir dengan “ris”.
Tapi orang suka bingung, apa tugas komisaris di sebuah perusahaan pelat merah? Dalam pikiran sederhana, komisaris dan direksi yang memimpin BUMN pastilah bermaksud mencari sebanyak-banyaknya keuntungan untuk diberikan ke negara. Maklum, negara butuh uang banyak. Membeli senjata saja membutuhkan seribu triliun lebih. Dengan berutang pula. BUMN harus menyetor banyak laba ke negara, agar rakyat tidak dibebani utang.
Kenyataannya, banyak BUMN yang merugi. Kalau ruginya setelah ada pandemi Covid-19, tentu dianggap masuk akal. Namun kalau ruginya sebelum pandemi, seperti di PT Garuda, memang perlu terobosan direksi dan komisaris yang piawai untuk menekan kerugian. Jika perlu, untung sedikitlah. Direksi dan komisaris harus bekerja keras. Dalam kaitan dengan ini, lagi-lagi orang bingung membaca cuitan komisaris Garuda, Yenny Wahid, di akun Twitter-nya. Mbak Yenny menyebutkan, kerugian Garuda saat ini Rp 70 triliun. Ketika dia masuk, kerugiannya sudah Rp 20 triliun. Lo, apa yang mau disampaikannya?
Bukannya tugas komisaris dan direksi yang baru itu menekan kerugian? Kenapa dalam setahun kerugian justru bertambah Rp 50 triliun? Nah, kalau dikaitkan dengan surat Peter Gontha, komisaris Garuda lainnya, yang ditujukan ke direksi agar gaji komisaris tak usah dibayarkan per Mei lalu, orang makin bingung lagi. Wow…, jadi kerugian itu juga disebabkan oleh gaji komisaris yang tinggi? Banyak yang berpikir begitu, karena kebijakan direksi Garuda saat ini juga mengurangi karyawan dengan pola pensiun dini.
Yang menarik, Menteri BUMN Erick Thohir setuju gaji komisaris Garuda dihentikan demi efisiensi. Bahkan komisaris Garuda yang selama ini ada lima orang, cukup dua orang saja. Nah, kalau soal pemangkasan jumlah komisaris ini, banyak yang setuju. Bahkan, jika perlu, setiap BUMN cukup satu saja komisarisnya, karena sebagai sebuah PT tak mungkin tanpa komisaris. Apa alasannya? Perseroan pelat merah, pengawasan cukup di Kementerian BUMN saja. Untuk apa ada Kementerian BUMN kalau setiap perseroan pelat merah punya seabrek komisaris? Bubarkan saja Kementerian BUMN, cukup setingkat direktorat jenderal di Kementerian Keuangan.
Dengan dipangkasnya jumlah komisaris di perusahaan BUMN ini, semoga tak ada lagi heboh soal “komisaris dadakan” atau “bagi-bagi komisaris untuk balas jasa”. Heboh “komisaris dadakan” ini bukan barang baru, sudah lama sebelum kasus Abdee Slank menjadi viral. Ada Kiai Said Aqil yang didapuk menjadi Komisaris Utama PT Kereta Api. Apa karena setiap Lebaran kereta api dipenuhi para pemudik, sehingga ulama perlu menjadi komisaris? Ada ahli hukum tata negara seperti Refly Harun yang menjadi Komisaris Utama PT Jasa Marga. Karena dia suka kritis ke pemerintah, lalu dipindahkan ke PT Pelindo 1. Eh, tetap kritis dengan ikut menolak revisi UU KPK, Refly pun dicopot. Banyak sekali contoh-contoh “komisaris balas saja”, termasuk Irma Suryani Chaniago, politikus Partai NasDem pendukung Jokowi, yang gagal terpilih menjadi anggota DPR. Komisaris BUMN itu memang unik, sekaligus aneh.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo