Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pembangunan infrastruktur Jokowi tidak banyak menyumbang bagi perekonomian.
Masyarakat malah banyak yang dirugikan karena berbagai Proyek Strategis Nasional.
Sayangnya, jalur hukum peradilan tata usaha negara tak memungkinkan masyarakat menggugat pemerintah.
Richo Andi Wibowo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepala Departemen Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Para peneliti dan pelaku ekonomi sudah banyak yang mengeluhkan rendahnya manfaat dan dampak dari proyek infrastruktur yang jorjoran digeber oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo. Pembangunan itu ternyata tidak banyak memberikan kontribusi positif bagi pertumbuhan ekonomi (Koran Tempo, 1 dan 2 Januari 2024).
Namun, jika ada pihak yang paling berhak prihatin dan kesal, sejatinya itu adalah masyarakat, yang dipaksa pemerintah untuk pindah dari lahannya guna memfasilitasi proyek infrastruktur. Lalu belakangan mereka baru menyadari bahwa manfaat sosial dan ekonomi proyek itu minim akibat ketidakcermatan perencanaan pemerintah.
Contohnya adalah warga Desa Sukamulya, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat, yang bentrok dengan aparat keamanan pada 2016 karena ingin mempertahankan lahannya agar tidak beralih menjadi Bandar Udara Kertajati. Mereka harus menelan pil pahit ketika mengetahui bahwa bandara megah itu "hidup segan mati tak mau" selama bertahun-tahun. Baru belakangan ini mulai pelan-pelan hidup setelah jalan tol menuju ke sana dibangun dan Bandara Husein Sastranegara secara bertahap dimatikan.
Ada pula kekesalan warga Mandalika di Lombok, Nusa Tenggara Barat, yang rumah dan lahannya digusur untuk pembangunan Sirkuit Internasional Pertamina Mandalika. Urusan primer, seperti tempat tinggal dan sawah ladang mata pencarian, mereka dikalahkan untuk urusan tersier berupa tempat wisata. Apalagi setelah dibangun, pengelola sirkuit menyatakan punya utang menumpuk, keuangannya rugi, dan acara yang dibidik untuk diselenggarakan di sana (World Superbike) dibatalkan karena rugi.
Masalah pembangunan ini juga terlihat di berbagai daerah lain yang menjadi lokasi Proyek Strategis Nasional, seperti di Desa Wadas, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, dan Air Bangis, Kabupaten Pasaman Barat, Sumatera Barat. Ini semua mengindikasikan bahwa pemerintah telah menjalankan pembangunan secara gegabah.
Masalahnya, masyarakat sulit berharap untuk mendapatkan pelindungan hukum terhadap kebijakan pemerintah yang bermasalah tersebut melalui peradilan tata usaha negara jika isunya adalah pembangunan. Ini diduga karena ada kendala norma dan mindset para hakim peradilan itu.
Norma di Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara juga timpang. Regulasi ini didesain di era Presiden Soeharto yang memihak pada agenda pembangunan dan bukan untuk menjadi penyeimbang/pengadil antara kepentingan individu/masyarakat dan kepentingan pemerintah.
Jika ada autokrat membentuk peradilan tata usaha negara, belum tentu itu karena dia pemimpin yang bajik. Boleh jadi itu justru bermotif politis guna mengkanalisasi masalah agar ketidakpuasan masyarakat atas kebijakan pemerintah tidak membuat masyarakat berbenturan langsung dengan pemerintah, melainkan diselesaikan di peradilan tata usaha negara (Ginsburg and Moustofa, 2008).
Benar bahwa ada norma pada Pasal 53 undang-undang itu yang menyatakan bahwa seseorang dapat menggugat jika kepentingannya dirugikan akibat adanya suatu keputusan/perbuatan administrasi. Namun, dalam beberapa kasus, gugatan itu seakan-akan baru logis untuk diterima oleh hakim jika kerugian penggugat tersebut dapat dibuktikan secara riil akibat dari keputusan atau perbuatan administrasi. Artinya, masalah itu perlu ada dulu dan dirasakan oleh masyarakat, baru mereka seakan-akan punya legal standing. Jika demikian pendekatannya, masyarakat akan menilai keadilan akan datang terlambat.
Benar pula bahwa ada norma pada Pasal 67 undang-undang itu yang memungkinkan individu atau masyarakat mengajukan permohonan agar pelaksanaan keputusan administrasi yang dipermasalahkan ditunda pemberlakuannya selama pemeriksaan sengketa di Pengadilan Tata Usaha Negara. Namun hal umum yang berlaku adalah gugatan tidak akan menunda atau menghalangi dilaksanakannya keputusan badan atau pejabat administrasi.
Jika hal ini ingin diterapkan, undang-undang menetapkan persyaratan kumulatif yang tinggi, yakni penundaan hanya dilakukan jika ada alasan yang sangat mendesak berupa kepentingan penggugat sangat dirugikan dan penundaan itu bukan untuk aktivitas pemerintah yang terkait dengan pembangunan untuk kepentingan umum. Hal terakhir itu melemahkan peradilan tata usaha negara untuk berperan dalam upaya menghindari atau menyelesaikan masalah dalam sengketa lahan atau lainnya terkait dengan "pembangunan" (Wibowo dan Gunawan, 2024). Boleh jadi, absennya pelindungan hukum yang efektif inilah yang membuat konflik antara masyarakat dan aparat pemerintah terjadi di pelbagai tempat.
Dengan demikian, Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara perlu direformasi. Mindset hakim peradilan juga perlu disesuaikan agar menanggalkan paradigma Orde Baru. Peradilan tata usaha negara dengan segenap hakimnya tidak dibentuk untuk menjadi stempel pembangunan pemerintah, melainkan sebagai penjaga konsep negara hukum dan pelindung keadilan.
PENGUMUMAN
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebut lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan nomor kontak dan CV ringkas.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo