Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Putu Setia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
@mpujayaprema
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tong kosong nyaring bunyinya. Itu peribahasa lama, ketika para pujangga di masa lalu sulit mencari rujukan soal bunyi nyaring. Sekarang tak ada tong yang berbunyi nyaring, kosong maupun berisi.
Kotak kosong laris manis. Ini bukan peribahasa, tapi juga bukan kotak untuk menyimpan permen. Tiba-tiba istilah ini menggema di seluruh Nusantara. Dan gengsi sebuah kotak menjadi naik lantaran dikaitkan dengan politik. Khususnya menjelang pemilihan serentak kepala daerah yang akan dilangsungkan pada Desember, itu pun jika virus corona atau Covid-19 merestui hajatan ini.
Dalam hal memilih pemimpin, tradisi bangsa kita di masa lalu mengenal istilah bumbung kosong. Bumbung dari bambu ini difungsikan sebagai kotak di era moderen sekarang. Yang dimasukkan ke bumbung adalah butir-butir jagung oleh para pemilih. Tentu bumbungnya sudah ada tulisan nama calon. Bumbung satu lagi tanpa ada tulisan dan itu yang dimaksud kosong.
Sederhana sekali memilih pemimpin di masa lalu, terutama di perdesaan. Orang suka mengukur diri, apakah pantas menjadi pemimpin. Kalau merasa tak pantas, jangan neko-neko. Bisa malu kalau kalah. Namun, uniknya, yang menang melawan bumbung kosong juga malu kalau ternyata bumbung kosong ada isinya. Sang pemenang tahu ada warga yang menolak dirinya menjadi pemimpin.
Di era kotak kosong ini, tak ada rasa malu bagi pemimpin yang terpilih. Justru sejak awal dia bangga bisa memenangi pemilihan sebelum rakyat memilihnya.
Karena itu, menarik pernyataan calon Bupati Kediri, Jawa Timur, yang potensial melawan kotak kosong. Anak muda ini bernama Hanindhito Himawan, putra Sekretaris Kabinet Pramono Anung—nama bapaknya seharusnya tak penting ditulis. Hanindhito berkata akan berjuang mati-matian agar tak ada yang memilih kotak kosong, karena dia bisa malu. Dia lebih senang melawan “kotak berisi”. Sayangnya, partai yang mendukung Hanin terlalu banyak. Yang tersisa cuma Partai Demokrat, PPP, dan PKS, yang kalau suaranya dikumpulkan kursinya kurang dari 10, syarat minimal untuk mengajukan calon bupati.
Di Kota Solo, kandidat calon tunggal wali kota juga anak muda. Namanya, Gibran Rakabuming Raka—tak usahlah ditulis nama bapaknya. Dia justru terkesan gembira, dan sudah teriak-teriak: merdeka... merdeka...! Semua partai mendukung dia, kecuali PKS yang tak cukup punya suara.
Apakah pemilihan kepala daerah dengan calon tunggal ini baik? Apakah kotak kosong itu pertanda kemunduran demokrasi? Jika Anda masih sempat memikirkan hal ini, apalagi di saat Covid-19 masih mengancam, Anda tergolong orang yang masih percaya bahwa negeri ini bisa dibikin lebih bagus. Teruslah berpikir bagaimana cara agar kotak kosong bisa hilang dari setiap pemilihan, baik memilih kepada daerah, anggota parlemen, maupun presiden. Siapa tahu Anda mengusulkan agar setiap partai peserta pemilu bebas menentukan calonnya sendiri tanpa ambang batas perolehan suara. Atau yang lebih ekstrem, calon pemimpin tak perlu dipilih oleh partai, melainkan muncul dari masyarakat sendiri dengan mengumpulkan dukungan tertentu. Wong partai kayak begini, menetapkan calon seenaknya tanpa melihat “akar rumput”, apalagi yang dipilih dari lingkungan itu-itu saja. Akhirnya rakyat cuma menetapkan calon pemimpin dan bukan memilih. Padahal, kata kamus, memilih itu artinya mencari atau memisah-misahkan mana yang baik. Bagaimana mencari dan memisahkan kalau yang ada cuma satu?
Ayo pikirkan lagi cara lain. Kalau ditanya rakyat saat ini, jawaban yang muncul kebanyakan: “ah, terserah... kita sudah capek.”