SEORANG anak bermimpi tentang hujan. Hujan begitu deras dan
seluruh kebun menjadi aquarium, di mana ia tiba-tiba bermain
dengan ikan warna-warni. Esok paginya ia melukiskan mimpi itu
pada kertas di sekolahnya, tapi gurunya pusing. "Apa-apaan ini
yang kau gambar?"
Si anak diam, tapi mungkin Pangeran Kecil dalam dongeng Antoine
de Saint-Exupery akan berkata dalam hati: "Orang dewasa memang
aneh." Tapi orang dewasa mengatur sekolah dan tidak ada
anak-anak yang habis bermimpi boleh bertanya: untuk siapa
sekolah ini? Untuk apa?
"Ketika aku masih sangat belia aku berhenti belajar dan lari
dari pelajaranku. Langkah itu telah menyelamatkanku, dan aku
mendapatkan semua apa yang kuperoleh kini berkat langkah yang
berani itu. Aku melarikan diri dari kelas-kelas yang mengajar,
tapi yang tidak mengilhamiku, dan aku memperoleh kepekaan
terhadap hidup serta alam."
Itu kata-kata Tagore yang tentu termashur di tahun 1924, dan
secara lebih segar dan lebih mengagetkan itu pula maksud Ivan
Illich dengan Deschooling Society. Ivan Illich, pemikir yang
lama hidup di Amerika Latin yang miskin itu bukan saja melihat
betapa mahalnya ongkos pendidikan sekolah bagi sebuah negeri --
tapi juga betapa omong-kosongnya sistim sekolah itu untuk
menghilangkan jurang kemiskinan itu.
Dengan segera Illich jadi terkenal. Gayanya memang memikat dan
gertakannya membikin banyak orang merasa bersalah. Dan ia
membikin orang merenung-renung, lalu mencoba memperbaiki sistim
sekolah. Tapi tentu saja ia tak bebas dari kritik Illich. Sebab
setiap perbaikan sistim pendidikan sekolah hanya memperpanjang
sebab dasar yang buruk.
Benarkah Illich?
Entahlah. Tapi paling tidak ada yang menarik bila seseorang yang
pernah jadi murid membaca tentang "kurikulum tersembunyi".
Illich agak terlampau abstrak dalam mengutarakan persoalan
"kurikulum tersembunyi" itu, tapi paralelnya dapat diperoleh
dalam buku Teaching as a Subversive Activity dari Neil Postman.
Dalam "kurikulum tersembunyi", sikap menerima secara pasif lebih
disukai ketimbang kritik yang aktif kepada gagasan-gagasan. Di
sana sang murid juga dianggap tak bisa menemukan pengetahuan,
dan "menemukan" memang bukan urusannya. Prestasi intelektuil
terbesar adalah mengingat kembali, atau menghafal. Dalam
"kurikulum tersembunyi" itu juga diajarkan -- secara diam-diam
-- bahwa selalu ada jawaban yang Benar dan pasti dan tunggal
untuk setiap pertanyaan.
Orang memang tak usah berniat menumbangkan universitas dan
menghapus lembaga persekolahan, tapi agaknya harus diakui:
"kurikulum tersembunyi" yang mematikan jiwa itu sulit dilepaskan
dari sistim sekolah apapun. Bung Karno lima puluh tahun yang
lalu berbicara tentang bagaimana menjadi guru dalam masa
pembangunan, dan ia mengecam cara "mencekoki" murid, tapi
bagaimana cara itu bisa benar-benar hapus? Haruskah kita hanya
menyalahkan guru, dan tidak menyalahkan sistim tempat guru itu
bertaut?
Entahlah. Barangkali seperti yang ditulis oleh Ronald Gross
dalam After Deschooling, What?, yang perlu ditumbuhkan ialah
belajar bebas. Di situ otonomi orang atau anak yang belajar
dilindungi, juga prakarsa pribadinya untuk menentukan apa yang
akan ia pelajari, di samping haknya untuk belajar apa yang ia
sukai dan bukan apa yang bermanfaat bagi orang lain.
Namun untuk itu, diperlukan eksperimentasi Illich, sebagaimana
dikecam Postman, adalah seorang totalis, bukan seorang
eksperimentalis. Ia seorang perumus suatu keadaan sempurna, tapi
tak berbicara bagaimana utopia itu ditempuh dengan selamat dari
masa kini. Padahal tanpa jalan yang jelas, dan relatif selamat,
kita tidak bisa berbicara tentang jutaan anak yang berjubel dan
harus menghadapi masa depan.
Atau haruskah kita biarkan mereka memilih jalan sendiri ke sana?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini