TIGABELAS bulan sudah ke 7 orang bekas buruh pabrik tekstil PT
Dan Liris di Sukoharjo (Solo) luntang-lantung. Tuntutan agar
mereka dipekerjakan kembali, tinggal selangkah lagi, diharapkan
dipenuhi. Sebuah ketetapan eksekusi dari pengadilan boleh
menghabiskan sengketa perburuhan yang sudah cukup larut.
Tukiyat, Sunaryo, Hary Pujianto, Widadi, Sarjono, Sentani dan
Wiranto kehilangan pekerjaannya. "Istilah pemecatan terasa
kejam," kata Kabag Personalia Dan Liris, Martawi. Yang tepat
katanya, "kami suruh mereka berhenti bekerja dan tak lupa diberi
pesangon." Alasannya karena perusahaan kelebihan pegawai.
Tapi menurut mereka bukan itulah soalnya. Yang sebenarnya, kata
mereka, PT Dan Liris milik pengusaha Batik Keris itu tak
menghendaki usaha beberapa orang buruhnya mendirikan SBTS
(Serikat Buruh Tekstil & Sandang) di lingkungan pabriknya.
Sengketa perburuhan antara majikan dan buruh diselesaikan oleh
Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah dan Pusat
(P4D dan P4P). Pihak buruh menang. Panitia memutuskan agar Dan
Liris menerima kembali ke 7 orang bekas buruhnya bekerja
kembali. Bahkan, baik bagi buruh, P4 juga mewajibkan perusahaan
membayar gaji 50% kali sekian bulan selama "meliburkan" ke 7
buruhnya itu.
Terhadap putusan P4 tersebut Dan Liris menerima sambil
melemparkan syarat. Boleh saja ke 7 orang itu bekerja kembali,
asal -- antara lain -- tidak bergiat dalam serikat buruh. Sebab,
"pada prinsipnya saya menginginkan ketertiban dan ketenangan
dalam perusahaan," kata pimpinan Dan Liris, Handoko.
Syarat begitu memang mengesalkan -- karena baik putusan P4D
maupun P4P tak menyebut segala macam syarat. Hal itu nanti dapat
didengar dari putusan eksekusi pengadilan mengenai apa-apa yang
harus dilaksanakan perusahaan terhadap buruhya. Bagaimana
kalau perusahaan tak mematuhi? "Pengadilan punya hak untuk
memaksa," ujar Ketua Pengadilan Negeri Sukoharjo, Bakir
Mangunwasito SH.
Putusan P4, walaupun sering disebut orang hanya sebagai
"pengadilan semu" (karena tak disebut dalam UU Pokok Kehakiman),
sebenarnyalah memang mempunyai kekuasaan mengadili. Kata putus
dari sana, seperti kata advokat Syahniar Mahnida SH. "Harus
dianggap final walaupun ada perlawanan dari majikan." "Sengketa
perburuhan," lanjut Mahnida, yang pernah mengurus 600 perkara
perburuhan selama bertugas di LBH Jakarta, "memang merupakan
perkara perdata." Namun cara-cara majikan yang selalu cenderung
mengulur waktu untuk memenuhi hak buruh, seperti diputuskan P4
daerah atau pusat, dapat dihadapi dengan tuntutan pidana. UU
Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (UU No. 22/1957) menetapkan
sanksi pidana. "Itulah segi hukum publik dari Hukum Perburuhan,"
kata Mahnida.
Hanya saja, menurut Mahnida, tak mudah bagi buruh menghadapi
majikan dengan cara begitu. "Jaksa belum tentu mau mengurusnya,"
katanya. Kalaupun diurus sebagaimana mestinya, lanjut advokat
ini, "tak ada gunanya bila hakim hanya memutuskar hukuman denda
paling tinggi Rp 10 ribu seperti yang ditetapkan undang-undang
yang berlaku sekarang." Sebab, hingga kini memang belum pernah
terdengar ada majikan dihukum 3 bulan kurungan, seperti ancaman
lain dari undang-undang yang sama.
Padahal hanya pada "pengadilan" perselisihan perburuhan itu saja
tempat buruh menggantungkan harapannya. Sebab cara-cara mogok,
yang sering dianggap alat ampuh kaum buruh, di sini hanya
merupakan pisau tumpul. "Secara yuridis buruh memang boleh
mogok," kata Dirjen Perwatan Oetojo Oesman. "Tapi hak mogok itu
secara filosofis maupun sosio politis tidak ada." Sebab, menurut
prinsip Hubungan Perburuhan Pancasila (HPP), perselisihan
perburuhan baiknya diselesaikan secara musyawarah.
Memang begitu. Sebab toh prakteknya tak ada peluang bagi buruh
untuk mogok secara legal. Coba saja sebelum beraksi pihak SB
harus memberitahukan rencananya kepada Ketua P4D. Yaitu setelah
permintaan untuk berunding dengan majikan ditolak. Pemogokan,
berikutnya, baru boleh dilaksanakan setelah diterima surat tanda
penerimaan pemberitahuan dari P4D.
Kapan mau mogok? Nanti dulu. Pihak majikan ternyata dengan mudah
dapat melumpuhkan aksi sebelum segala sesuatunya mulai. Cukup
dengan mengajukan perselisihan dengan buruhnya menjadi perkara
ke P4D semuanya beres: tak ada pemogokan yang bisa dianggap syah
bila sudah demikian.
Dan lagi apa perlunya mogok? Dalam pidato pembukaan seminar HPP
(1974) Presiden Suharto mengaturkan antara lain: Kalau HPP sudah
dijalankan dengan baik, aksi mogok tidak perlu lagi. Cuma
soalnya, seperti dipertanyakan seorang pimpinan SB, "apakah saat
ini HPP sudah dijalankan dengan baik" Ketua DPD FBSI Jakarta,
Rhany Soelaiman, ternyata menilai HPP di sini masih brengsek.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini