Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Di Sini Masih Brengsek

Sengketa antara buruh dengan majikan PT. Dan Liris di Sukohardjo, Solo. Buruh yang diberhentikan dapat bekerja kembali dengan syarat tidak bergiat dalam serikat buruh. Sengketa ini ditengahi P4D dan P4P.(nas)

16 Juni 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIGABELAS bulan sudah ke 7 orang bekas buruh pabrik tekstil PT Dan Liris di Sukoharjo (Solo) luntang-lantung. Tuntutan agar mereka dipekerjakan kembali, tinggal selangkah lagi, diharapkan dipenuhi. Sebuah ketetapan eksekusi dari pengadilan boleh menghabiskan sengketa perburuhan yang sudah cukup larut. Tukiyat, Sunaryo, Hary Pujianto, Widadi, Sarjono, Sentani dan Wiranto kehilangan pekerjaannya. "Istilah pemecatan terasa kejam," kata Kabag Personalia Dan Liris, Martawi. Yang tepat katanya, "kami suruh mereka berhenti bekerja dan tak lupa diberi pesangon." Alasannya karena perusahaan kelebihan pegawai. Tapi menurut mereka bukan itulah soalnya. Yang sebenarnya, kata mereka, PT Dan Liris milik pengusaha Batik Keris itu tak menghendaki usaha beberapa orang buruhnya mendirikan SBTS (Serikat Buruh Tekstil & Sandang) di lingkungan pabriknya. Sengketa perburuhan antara majikan dan buruh diselesaikan oleh Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah dan Pusat (P4D dan P4P). Pihak buruh menang. Panitia memutuskan agar Dan Liris menerima kembali ke 7 orang bekas buruhnya bekerja kembali. Bahkan, baik bagi buruh, P4 juga mewajibkan perusahaan membayar gaji 50% kali sekian bulan selama "meliburkan" ke 7 buruhnya itu. Terhadap putusan P4 tersebut Dan Liris menerima sambil melemparkan syarat. Boleh saja ke 7 orang itu bekerja kembali, asal -- antara lain -- tidak bergiat dalam serikat buruh. Sebab, "pada prinsipnya saya menginginkan ketertiban dan ketenangan dalam perusahaan," kata pimpinan Dan Liris, Handoko. Syarat begitu memang mengesalkan -- karena baik putusan P4D maupun P4P tak menyebut segala macam syarat. Hal itu nanti dapat didengar dari putusan eksekusi pengadilan mengenai apa-apa yang harus dilaksanakan perusahaan terhadap buruhya. Bagaimana kalau perusahaan tak mematuhi? "Pengadilan punya hak untuk memaksa," ujar Ketua Pengadilan Negeri Sukoharjo, Bakir Mangunwasito SH. Putusan P4, walaupun sering disebut orang hanya sebagai "pengadilan semu" (karena tak disebut dalam UU Pokok Kehakiman), sebenarnyalah memang mempunyai kekuasaan mengadili. Kata putus dari sana, seperti kata advokat Syahniar Mahnida SH. "Harus dianggap final walaupun ada perlawanan dari majikan." "Sengketa perburuhan," lanjut Mahnida, yang pernah mengurus 600 perkara perburuhan selama bertugas di LBH Jakarta, "memang merupakan perkara perdata." Namun cara-cara majikan yang selalu cenderung mengulur waktu untuk memenuhi hak buruh, seperti diputuskan P4 daerah atau pusat, dapat dihadapi dengan tuntutan pidana. UU Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (UU No. 22/1957) menetapkan sanksi pidana. "Itulah segi hukum publik dari Hukum Perburuhan," kata Mahnida. Hanya saja, menurut Mahnida, tak mudah bagi buruh menghadapi majikan dengan cara begitu. "Jaksa belum tentu mau mengurusnya," katanya. Kalaupun diurus sebagaimana mestinya, lanjut advokat ini, "tak ada gunanya bila hakim hanya memutuskar hukuman denda paling tinggi Rp 10 ribu seperti yang ditetapkan undang-undang yang berlaku sekarang." Sebab, hingga kini memang belum pernah terdengar ada majikan dihukum 3 bulan kurungan, seperti ancaman lain dari undang-undang yang sama. Padahal hanya pada "pengadilan" perselisihan perburuhan itu saja tempat buruh menggantungkan harapannya. Sebab cara-cara mogok, yang sering dianggap alat ampuh kaum buruh, di sini hanya merupakan pisau tumpul. "Secara yuridis buruh memang boleh mogok," kata Dirjen Perwatan Oetojo Oesman. "Tapi hak mogok itu secara filosofis maupun sosio politis tidak ada." Sebab, menurut prinsip Hubungan Perburuhan Pancasila (HPP), perselisihan perburuhan baiknya diselesaikan secara musyawarah. Memang begitu. Sebab toh prakteknya tak ada peluang bagi buruh untuk mogok secara legal. Coba saja sebelum beraksi pihak SB harus memberitahukan rencananya kepada Ketua P4D. Yaitu setelah permintaan untuk berunding dengan majikan ditolak. Pemogokan, berikutnya, baru boleh dilaksanakan setelah diterima surat tanda penerimaan pemberitahuan dari P4D. Kapan mau mogok? Nanti dulu. Pihak majikan ternyata dengan mudah dapat melumpuhkan aksi sebelum segala sesuatunya mulai. Cukup dengan mengajukan perselisihan dengan buruhnya menjadi perkara ke P4D semuanya beres: tak ada pemogokan yang bisa dianggap syah bila sudah demikian. Dan lagi apa perlunya mogok? Dalam pidato pembukaan seminar HPP (1974) Presiden Suharto mengaturkan antara lain: Kalau HPP sudah dijalankan dengan baik, aksi mogok tidak perlu lagi. Cuma soalnya, seperti dipertanyakan seorang pimpinan SB, "apakah saat ini HPP sudah dijalankan dengan baik" Ketua DPD FBSI Jakarta, Rhany Soelaiman, ternyata menilai HPP di sini masih brengsek.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus