KERUMUNAN manusia di tempat-tempat pemberhentian bis kota itu
makin membengkak. Yang ditunggu tidak juga muncul. Pagi, Kamis 7
Juni, bis-bis PPD yang ditunggu itu memang tidak keluar dari
sarangnya. Ratusan karyawannya yang sejak subuh sudah hadir
ternyata hanya duduk saja di luar pool Cipete dan Cililitan
Jakarta. Mereka tetap saja nongkrong walaupun para petugas
berulangkali menyerukan mereka segera bekerja.
Dan suasana pun jadi hingar-bingar. Ratusan orang datang
"menonton." Lalulintas macet. Polantas dan Hansip membunyikan
peluit. Polisi Kodak Metro Jaya muncul. Disusul kedatangan
petugas keamanan dari Laksusda Jaya. Bis-bis baru bisa keluar
setelah puluhan sopir yang sedang ditatar untuk dikirim ke Timur
Tengah dikerahkan, dibantu para anggota Resimen Mahasiswa
sebagai kondektur dengan pengawalan petugas keamanan.
Mengapa para karyawan PPD melakukan aksi "mogok"? "Kami menuntut
gaji bulan ke 13. Tahun lalu waktu kami menuntut Tunjangan Hari
Raya dikatakan sebagai pegawai negeri kami tidak dapat THR.
Sekarang pegawai negeri dapat gaji ke 13, mengapa kami tidak?"
kata beberapa karyawan yang ikut aksi.
Baru siangnya ada penjelasan. Dirjen Perhubungan Darat Nazar
Noerdin menerangkan pada mereka, pegawai PN PPD tidak sama
dengan pegawai negeri. "Penggajian pegawai negeri diatur dalam
PGPS sedang PN PPD diatur dengan PP no. 23/1967."Berarti tidak
berhak gaji bulan ke 13." Nazar menganggap aksi ini bisa
menimbulkan gangguan angkutan kota hingga para awak bis kota ini
diserukannya segera bekerja kembali. Yang menarik, aksi
karyawan PPD ini dilancarkan tatkala pemerintah tengah
mendandani pengelolaan bis kota, dengan PPD sebagai "model".
Pembayaran atau gaji yang diterima karyawan PPD dianggap terbaik
dibanding 8 perusahaan bis kota lain yang diambil alih
pengelolaannya.
Tapi aksi karyawan PPD dianggap serius. Itu bisa dilihat dari
tindakan cepat yang dilakukan aparat pemerintahdan keamanan
untuk menanggulanginya. Ka Laksusda/Pangkopkamtibda hari itu
juga mengeluarkan seruan agar semua karyawan PPD bekerja
kembali. "Kalau ada persoalan hendaknya diselesaikan dengan
semangat musyawarah dan saling pengertian," bunyi seruan itu.
Sehari setelah itu, Jumat pekan lalu tak kurang dari
Kaskopkamtib dan Kepala Bakin Letjen Yoga Sugama memanggil DPP
Federasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (FBSI) untuk
membicarakan aksi-aksi buruh yang belakangan ini dirasakan
meningkat. Ini merupakan konsultasi kedua setelah awal Maret
lalu Pangkopkamtib Laksamana Sudomo bertukar pikiran dengan DPP
FBSI. "Hasilnya sangat bermanfaat," cerita seorang pimpinan
FBSI. "Misalnya kami jelaskan pada pak Yoga, PPD bukan di bawah
yurisdiksi FBSI. Sebab FBSI hanya bergerak di perusahaan swasta,
sedang karyawan PPD masuk dalan KORPRI."
Mengapa aksi-aksi buruh belakangan ini tampaknya makin
meningkat? Beberapa bulan terakhir koran banyak memberitakan
berbagai sengketa perburuhn. Bulan lalu sekitar 1500 buruh Bata
di Jakarta berhenti melakukan kegiatan kerja sementara wakil
mereka merundingkan perbaikan persyaratan kerja. Aksi serupa
juga dilakukan para buruh pabrik Coca Cola di Jakarta disertai
insiden pemukulan pimpinan Serikat Buruh (SB) setempat oleh anak
sang Direktur. Puluhan lagi aksi yang sama dilakukan para buruh
di banyak kota.
Timbul pertanyaan: adakah latar belakang politis dari gerakan
buruh ini? Bisa dimengerti. Tampaknya masih kuat melekat
kenangan lama ketika di masa Orde Lama dulu gerakan buruh
merupakan bagian terpenting dari suatu kekuatan politik. Gerakan
buruh agaknya masih dilihat dengan kacamata prasangka dan
kecurigaan. Tiap aksi buruh dicatat dengan tanda tanya siapa
yang menggerakkan? Bahkan mogok dicap sebagai "cara-cara PKI".
Banyak yang bahkan lupa menanyakan apa yang menggerakkan buruh
hingga melakukan aksi itu. Orang cenderung melupakan bahwa
kebijaksanaan majikan atau pengusaha lebih sering merupakan
penyebab aksi buruh itu. Hingga sering buruh yang "mogok"
buru-buru dituduh melakukan aksi menggagalkan produksi dan
akhirnya meningkat ke tuduhan "tidak membantu usaha suksesnya
pembangunan". Benarkah?
"Kami tidak menemukan motif politik atau subversi," ujar Sekjen
DPP FBSI Sukarno pekan lalu. Menghangatnya aksi-aksi buruh ini
dianggapnya sebagai goncangan insidentil yang didorong sebab
sosial ekonomi, yakni tuntutan untuk meningkatkan kesejahteraan
buruh. Sebelum Kenop-15, perselisihan perburuhan memang sudah
banyak terjadi, tapi "suhunya normal". Dengan adanya Kenop-15
dalam jangka pendek timbullah masalah. Buruh menuntut
penyesuaian upah. "Goncangan insidentil yang terjadi disebabkan
proses penyesuaian di beberapa tempat yang masih alot. FBSI
sudah berbuat sebisa-bisanya, tapi toh di sana-sini masih ada
letupan karena kesepakatan yang belum ditemukan," tutur Sukarno.
Kali ini pendapat buruh sama dengan suara pemerintah. "Betul
sengketa perburuhan yang terjadi karena motif ekonomi. Tapi
masalahnya jangan dibesar-besarkan," kata Menteri Nakertrans
Harun Zain pada wartawan TMPO Yunus Kasim sesaat sebelum
bertolak ke Jenewa untuk menghadiri sidang tahunan ILO.
Alasannya: "Kalau dibesar-besarkan yang lain akan ikut-ikutan
mogok, menuntut ini itu. Akibatnya bisa menegelisahkan
pengusaha yang sudah beroperasi di sini. Rencana mereka untuk
memperluas investasinya mungkin diundurkan atau dibatalkan.
Sedang yang bakal masuk pun akan berpikir-pikir dulu. Mungkin
mereka akan pindah menanam modalnya ke tempat lain," kata Harun
Zain.
Kekhawatiran Harun Zain bahwa pemberitaan pers yang melebihi
proporsi bisa menimbulkan kesan seolah-olah situasi Indonesia
kurang baik untuk investasi bisa dimaklumi. Tapi dibanding
negara lain, aksi buruh di Indonesia relatif kecil sekali.
Sedang buat penanam modal faktor kepastian berusaha,
penyediaan bahan baku, pasaran dan prasarana mungkin merupakan
faktor yang lebih penting. Lagipula merupakan knyataan: buruh
Indonesia belum sepenuhnya menikmati hak-haknya yang wajar
(lihat Box). Hingga pertanyaan yang diajukan anggota DPR TAM
Simatupang dari fraksi PDI terasa beralasan. "Apakah pemerintah
juga sudah mencegah tindakan sewenang-wenang para investor asing
yang mencekik buruh? Apa gunanya mereka diundang datang kalau di
sini mereka justru mencelakakan bangsa kita sendiri," katanya
pekan lalu. Menjaga kondisi usaha yang baik untuk pembangunan
memang dianggapnya perlu, tapi untuk itu buruh jangan sampai
"dikorbankan" secara tidak seimbang.
Menurut catatan, gejolak keresahan buruh yang belakangan ini
terjadi, hanya terdapat di 74 perusahaan. Sedang di Indonesia
ditaksir ada 110.000 perusahaan. Tapi dari angka yang kecil ini,
beralasankah untuk menganggap keresahan ini hanya menghinggapi
sebagian kecil buruh Indonesia?
Angkatan kerja Indonesia saat ini meliputi sekitar 50 juta
orang. Lebih dari separuh ada di lapangan pertanian. Sepertiga
dari angkatan kerja ini terdiri dari buruh. Menurut perhitungan
1971, penganggur penuh berkisar di sekitar 8-9% dari angkatan
kerja. Sedang yang setengah menganggur atau bekerja kurang dari
32 jam seminggu berjumlah 13 juta. Tambahan tenaga kerja baru
tiap tahunnya sekitar 1,4 juta. Penanaman modal Dalam Negeri
sampai 1976 menyedot 753.807 orang sedang PMA menyerap 391.243
orang Indonesia. Tidakkah mungkin, keresahan buruh ini
sebetulnya merata di antara sebagian besar buruh, tapi
letupan-letupan yang muncul hanya terjadi di beberapa permukaan
saja?
DILIHAT dari angka-angka, jumlah sengketa buruh yang terjadi
memang tidak melonjak, hingga Muslich Nitiamidjaja, Sekretaris
Direktorat Perlindungan dan Perawatan Tenaga Kerja (Perwatan)
Depnaker menyangsikan bahwa gejolak buruh belakangan ini memang
disebabkan Kenop-15. Ia menyodorkan angka sengketa perburuhan
yang masuk Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (P-4)
Daerah:
1974/1975 jumlah kasus 2171 yang diselesaikan 1935 (89%)
1975/1976 jumlah kasus 1873 yang diselesaikan 1552 (82%)
1976/1977 jumlah kasus 1885 yang diselesaikan 1539 (81%)
1977/1978 jumlah kasus 2382 yang diselesaikan 1966 (82%)
1978/1979 (akhir Maret) jumlah kasus 2233 yang diselesaikan 1990
(80%).
Sekitar 80% dari sengketa itu akibat dari pemutusan hubungan
kerja (PHK) yang biasanya terjadi setelah berakhirnya kontrak
kerja atau karena kemunduran perusahaan. Tapi tidak termasuk
dalam jumlah itu adalah sengketa yang diselesaikan lewat
perantara, yang jumlahnya jauh lebih besar. Lebih besar lagi
adalah jumlah sengketa yang dapat diselesaikan secara intern
antara buruh dan pengusaha Hingga Muslich menyimpulkan "sengketa
perburuhan sudah lama ada".
Benar. Bahkan tidak akan mungkin bisa dihilangkan. Bentrokan
kepentingan antara buruh dan pengusaha selalu akan terjadi.
Masalahnya adalah bagaimana memprtemukan dua kepentingan itu
tanpa ada pihak yang merasa terlalu dirugikan: "Yang harus
dicegah adahlh agar suasana tidak berkembang ke arah bentuk,
peningkatan kontradiksi," kata Sukarno.
Resep untuk itu sudah ada, dalam bentuk Hubungan Perburuhan
Pancasila yang berlaku sejak 1975. Tapi banyaknya sengketa yang
timbul menunjukkan HPP ini masih jauh dari terlaksana secara
baik. Bahkan masih banyak pengusaha yang menghalangi
terbentuknya serikat buruh di perusahaan mereka, walau hak
buruh untuk berserikat dijamin oleh undang-undang. Saat ini
sudah berdiri 8714 SBLP (Serikat Buruh Lapangan Pekerjaan) FBSI
di seluruh Indonesia dengan anggota sekitar 2« juta orang.
Belum semua perusahaan besar mempunyai Perjanjian Kerja Bersama
(PKB/CLA) yang merupakan perwujudan HPP. Adanya PKB akan dapat
menghindari atau menekan perselisihan perburuhan, karena PKB
merupakan pedoman tentang hak dan kewajiban buruh dan pengusaha.
Saat ini baru ada 1500 perusahaan yang mempunyai PKB.
Bagaimana sikap pengusaha menghadapi meningkatnya kegelisahan
buruh Ini? Dalam pernyataannya akhir Mei lalu PUSPI
(Permusyawaratan Urusan Sosial-Ekonomi Pengusaha Seluruh
Indonesia)/KADIN khawatir: kalau kegelisahan yang di beberapa
tempat telah menjurus pada aksi/pemogokan tidak segera
ditanggulangi, "maka akan terjadi situasi yang sulit dapat
dikendalikan lagi, yang akhirnya nanti membuat situasi ekonomi
lebih parah serta mengganggu stabilitas nasional." Dikemukakan
juga, bahwa "tindakan-tindakan perlu dilaksanakan terhadap
aksi-aksi sepihak yang berlawanan dengan asas musyawarah dan
ketentuan-ketentuan yang berlaku."
Diserukan juga agar semua pihak kembali pada Pernyataan
Bersama Lembaga Kerjasama Tripartite Nasional 12 April lalu
yang ditandatangani Menteri Nakertrans, DPP FBSI serta Ketua
Umum KADIN dan PUSPI Pusat. Dalam pernyataan itu semua pihak
sepakat untuk mengutamakan cara musyawarah dalam mengatasi
masalah hubungan perburuhan, meningkatkan upah dengan
memperhatikan kemampuan perusahaan. Secara bertahap pemerintah
akan berusaha menciptakan iklim usaha yang lebih baik serta
peningkatan pendapatan buruh.
Bagaimana pun, banyak yang berpendapat pemerintah tampaknya
lebih condong ke pihak pengusaha dibanding buruh. Menilai
seruan Pangkopkamtib Laksamana Sudomo agar buruh tidak,
melakukan pemogokan, Eddiwan, Ketua Komisi IV DPR yang
membidangi ketenaga-kerjaan berpendapat pendekatan Sudomo
terlalu mementingkan segi keamanan saja. "Kecuali buruh,
hendaknya pengusaha juga diperingatkan," katanya. Sesuai dengan
8 jalur pemerataan, kesejahteraan buruh memang kudu
diperhatikan.
Tapi bukankah investor asing harus dibuat kerasan di Indonesia?
"Mereka biasanya berasal dari negara kapitalis, mau cari untung
besar dengan memberi upah rendah. Mereka tidak bakal cepat
mengerti sistim perburuhan Indonesia yang sosialistis seperti
HPP itu," kara Eddiwan. Ia juga tidak mengerti seruan pemerintah
yang melarang buruh melakukan aksi mogok. "Mereka kan biasa
menghadapi aksi mogok di negaranya. Mogok bukan barang baru bagi
para investor. Alasan itu tidak kuat," ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini