Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Bukan Mogok, Kok Aksi Itu Mengundang Curiga

Sengketa perburuhan meningkat disebabkan keadaan sosial ekonomi. Sengketa antara buruh dan majikan, soal gaji. Penghasilan buruh pabrik sangat rendah, tapi takut untuk menuntut, karena takut dipecat.(nas)

16 Juni 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KERUMUNAN manusia di tempat-tempat pemberhentian bis kota itu makin membengkak. Yang ditunggu tidak juga muncul. Pagi, Kamis 7 Juni, bis-bis PPD yang ditunggu itu memang tidak keluar dari sarangnya. Ratusan karyawannya yang sejak subuh sudah hadir ternyata hanya duduk saja di luar pool Cipete dan Cililitan Jakarta. Mereka tetap saja nongkrong walaupun para petugas berulangkali menyerukan mereka segera bekerja. Dan suasana pun jadi hingar-bingar. Ratusan orang datang "menonton." Lalulintas macet. Polantas dan Hansip membunyikan peluit. Polisi Kodak Metro Jaya muncul. Disusul kedatangan petugas keamanan dari Laksusda Jaya. Bis-bis baru bisa keluar setelah puluhan sopir yang sedang ditatar untuk dikirim ke Timur Tengah dikerahkan, dibantu para anggota Resimen Mahasiswa sebagai kondektur dengan pengawalan petugas keamanan. Mengapa para karyawan PPD melakukan aksi "mogok"? "Kami menuntut gaji bulan ke 13. Tahun lalu waktu kami menuntut Tunjangan Hari Raya dikatakan sebagai pegawai negeri kami tidak dapat THR. Sekarang pegawai negeri dapat gaji ke 13, mengapa kami tidak?" kata beberapa karyawan yang ikut aksi. Baru siangnya ada penjelasan. Dirjen Perhubungan Darat Nazar Noerdin menerangkan pada mereka, pegawai PN PPD tidak sama dengan pegawai negeri. "Penggajian pegawai negeri diatur dalam PGPS sedang PN PPD diatur dengan PP no. 23/1967."Berarti tidak berhak gaji bulan ke 13." Nazar menganggap aksi ini bisa menimbulkan gangguan angkutan kota hingga para awak bis kota ini diserukannya segera bekerja kembali. Yang menarik, aksi karyawan PPD ini dilancarkan tatkala pemerintah tengah mendandani pengelolaan bis kota, dengan PPD sebagai "model". Pembayaran atau gaji yang diterima karyawan PPD dianggap terbaik dibanding 8 perusahaan bis kota lain yang diambil alih pengelolaannya. Tapi aksi karyawan PPD dianggap serius. Itu bisa dilihat dari tindakan cepat yang dilakukan aparat pemerintahdan keamanan untuk menanggulanginya. Ka Laksusda/Pangkopkamtibda hari itu juga mengeluarkan seruan agar semua karyawan PPD bekerja kembali. "Kalau ada persoalan hendaknya diselesaikan dengan semangat musyawarah dan saling pengertian," bunyi seruan itu. Sehari setelah itu, Jumat pekan lalu tak kurang dari Kaskopkamtib dan Kepala Bakin Letjen Yoga Sugama memanggil DPP Federasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (FBSI) untuk membicarakan aksi-aksi buruh yang belakangan ini dirasakan meningkat. Ini merupakan konsultasi kedua setelah awal Maret lalu Pangkopkamtib Laksamana Sudomo bertukar pikiran dengan DPP FBSI. "Hasilnya sangat bermanfaat," cerita seorang pimpinan FBSI. "Misalnya kami jelaskan pada pak Yoga, PPD bukan di bawah yurisdiksi FBSI. Sebab FBSI hanya bergerak di perusahaan swasta, sedang karyawan PPD masuk dalan KORPRI." Mengapa aksi-aksi buruh belakangan ini tampaknya makin meningkat? Beberapa bulan terakhir koran banyak memberitakan berbagai sengketa perburuhn. Bulan lalu sekitar 1500 buruh Bata di Jakarta berhenti melakukan kegiatan kerja sementara wakil mereka merundingkan perbaikan persyaratan kerja. Aksi serupa juga dilakukan para buruh pabrik Coca Cola di Jakarta disertai insiden pemukulan pimpinan Serikat Buruh (SB) setempat oleh anak sang Direktur. Puluhan lagi aksi yang sama dilakukan para buruh di banyak kota. Timbul pertanyaan: adakah latar belakang politis dari gerakan buruh ini? Bisa dimengerti. Tampaknya masih kuat melekat kenangan lama ketika di masa Orde Lama dulu gerakan buruh merupakan bagian terpenting dari suatu kekuatan politik. Gerakan buruh agaknya masih dilihat dengan kacamata prasangka dan kecurigaan. Tiap aksi buruh dicatat dengan tanda tanya siapa yang menggerakkan? Bahkan mogok dicap sebagai "cara-cara PKI". Banyak yang bahkan lupa menanyakan apa yang menggerakkan buruh hingga melakukan aksi itu. Orang cenderung melupakan bahwa kebijaksanaan majikan atau pengusaha lebih sering merupakan penyebab aksi buruh itu. Hingga sering buruh yang "mogok" buru-buru dituduh melakukan aksi menggagalkan produksi dan akhirnya meningkat ke tuduhan "tidak membantu usaha suksesnya pembangunan". Benarkah? "Kami tidak menemukan motif politik atau subversi," ujar Sekjen DPP FBSI Sukarno pekan lalu. Menghangatnya aksi-aksi buruh ini dianggapnya sebagai goncangan insidentil yang didorong sebab sosial ekonomi, yakni tuntutan untuk meningkatkan kesejahteraan buruh. Sebelum Kenop-15, perselisihan perburuhan memang sudah banyak terjadi, tapi "suhunya normal". Dengan adanya Kenop-15 dalam jangka pendek timbullah masalah. Buruh menuntut penyesuaian upah. "Goncangan insidentil yang terjadi disebabkan proses penyesuaian di beberapa tempat yang masih alot. FBSI sudah berbuat sebisa-bisanya, tapi toh di sana-sini masih ada letupan karena kesepakatan yang belum ditemukan," tutur Sukarno. Kali ini pendapat buruh sama dengan suara pemerintah. "Betul sengketa perburuhan yang terjadi karena motif ekonomi. Tapi masalahnya jangan dibesar-besarkan," kata Menteri Nakertrans Harun Zain pada wartawan TMPO Yunus Kasim sesaat sebelum bertolak ke Jenewa untuk menghadiri sidang tahunan ILO. Alasannya: "Kalau dibesar-besarkan yang lain akan ikut-ikutan mogok, menuntut ini itu. Akibatnya bisa menegelisahkan pengusaha yang sudah beroperasi di sini. Rencana mereka untuk memperluas investasinya mungkin diundurkan atau dibatalkan. Sedang yang bakal masuk pun akan berpikir-pikir dulu. Mungkin mereka akan pindah menanam modalnya ke tempat lain," kata Harun Zain. Kekhawatiran Harun Zain bahwa pemberitaan pers yang melebihi proporsi bisa menimbulkan kesan seolah-olah situasi Indonesia kurang baik untuk investasi bisa dimaklumi. Tapi dibanding negara lain, aksi buruh di Indonesia relatif kecil sekali. Sedang buat penanam modal faktor kepastian berusaha, penyediaan bahan baku, pasaran dan prasarana mungkin merupakan faktor yang lebih penting. Lagipula merupakan knyataan: buruh Indonesia belum sepenuhnya menikmati hak-haknya yang wajar (lihat Box). Hingga pertanyaan yang diajukan anggota DPR TAM Simatupang dari fraksi PDI terasa beralasan. "Apakah pemerintah juga sudah mencegah tindakan sewenang-wenang para investor asing yang mencekik buruh? Apa gunanya mereka diundang datang kalau di sini mereka justru mencelakakan bangsa kita sendiri," katanya pekan lalu. Menjaga kondisi usaha yang baik untuk pembangunan memang dianggapnya perlu, tapi untuk itu buruh jangan sampai "dikorbankan" secara tidak seimbang. Menurut catatan, gejolak keresahan buruh yang belakangan ini terjadi, hanya terdapat di 74 perusahaan. Sedang di Indonesia ditaksir ada 110.000 perusahaan. Tapi dari angka yang kecil ini, beralasankah untuk menganggap keresahan ini hanya menghinggapi sebagian kecil buruh Indonesia? Angkatan kerja Indonesia saat ini meliputi sekitar 50 juta orang. Lebih dari separuh ada di lapangan pertanian. Sepertiga dari angkatan kerja ini terdiri dari buruh. Menurut perhitungan 1971, penganggur penuh berkisar di sekitar 8-9% dari angkatan kerja. Sedang yang setengah menganggur atau bekerja kurang dari 32 jam seminggu berjumlah 13 juta. Tambahan tenaga kerja baru tiap tahunnya sekitar 1,4 juta. Penanaman modal Dalam Negeri sampai 1976 menyedot 753.807 orang sedang PMA menyerap 391.243 orang Indonesia. Tidakkah mungkin, keresahan buruh ini sebetulnya merata di antara sebagian besar buruh, tapi letupan-letupan yang muncul hanya terjadi di beberapa permukaan saja? DILIHAT dari angka-angka, jumlah sengketa buruh yang terjadi memang tidak melonjak, hingga Muslich Nitiamidjaja, Sekretaris Direktorat Perlindungan dan Perawatan Tenaga Kerja (Perwatan) Depnaker menyangsikan bahwa gejolak buruh belakangan ini memang disebabkan Kenop-15. Ia menyodorkan angka sengketa perburuhan yang masuk Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (P-4) Daerah: 1974/1975 jumlah kasus 2171 yang diselesaikan 1935 (89%) 1975/1976 jumlah kasus 1873 yang diselesaikan 1552 (82%) 1976/1977 jumlah kasus 1885 yang diselesaikan 1539 (81%) 1977/1978 jumlah kasus 2382 yang diselesaikan 1966 (82%) 1978/1979 (akhir Maret) jumlah kasus 2233 yang diselesaikan 1990 (80%). Sekitar 80% dari sengketa itu akibat dari pemutusan hubungan kerja (PHK) yang biasanya terjadi setelah berakhirnya kontrak kerja atau karena kemunduran perusahaan. Tapi tidak termasuk dalam jumlah itu adalah sengketa yang diselesaikan lewat perantara, yang jumlahnya jauh lebih besar. Lebih besar lagi adalah jumlah sengketa yang dapat diselesaikan secara intern antara buruh dan pengusaha Hingga Muslich menyimpulkan "sengketa perburuhan sudah lama ada". Benar. Bahkan tidak akan mungkin bisa dihilangkan. Bentrokan kepentingan antara buruh dan pengusaha selalu akan terjadi. Masalahnya adalah bagaimana memprtemukan dua kepentingan itu tanpa ada pihak yang merasa terlalu dirugikan: "Yang harus dicegah adahlh agar suasana tidak berkembang ke arah bentuk, peningkatan kontradiksi," kata Sukarno. Resep untuk itu sudah ada, dalam bentuk Hubungan Perburuhan Pancasila yang berlaku sejak 1975. Tapi banyaknya sengketa yang timbul menunjukkan HPP ini masih jauh dari terlaksana secara baik. Bahkan masih banyak pengusaha yang menghalangi terbentuknya serikat buruh di perusahaan mereka, walau hak buruh untuk berserikat dijamin oleh undang-undang. Saat ini sudah berdiri 8714 SBLP (Serikat Buruh Lapangan Pekerjaan) FBSI di seluruh Indonesia dengan anggota sekitar 2« juta orang. Belum semua perusahaan besar mempunyai Perjanjian Kerja Bersama (PKB/CLA) yang merupakan perwujudan HPP. Adanya PKB akan dapat menghindari atau menekan perselisihan perburuhan, karena PKB merupakan pedoman tentang hak dan kewajiban buruh dan pengusaha. Saat ini baru ada 1500 perusahaan yang mempunyai PKB. Bagaimana sikap pengusaha menghadapi meningkatnya kegelisahan buruh Ini? Dalam pernyataannya akhir Mei lalu PUSPI (Permusyawaratan Urusan Sosial-Ekonomi Pengusaha Seluruh Indonesia)/KADIN khawatir: kalau kegelisahan yang di beberapa tempat telah menjurus pada aksi/pemogokan tidak segera ditanggulangi, "maka akan terjadi situasi yang sulit dapat dikendalikan lagi, yang akhirnya nanti membuat situasi ekonomi lebih parah serta mengganggu stabilitas nasional." Dikemukakan juga, bahwa "tindakan-tindakan perlu dilaksanakan terhadap aksi-aksi sepihak yang berlawanan dengan asas musyawarah dan ketentuan-ketentuan yang berlaku." Diserukan juga agar semua pihak kembali pada Pernyataan Bersama Lembaga Kerjasama Tripartite Nasional 12 April lalu yang ditandatangani Menteri Nakertrans, DPP FBSI serta Ketua Umum KADIN dan PUSPI Pusat. Dalam pernyataan itu semua pihak sepakat untuk mengutamakan cara musyawarah dalam mengatasi masalah hubungan perburuhan, meningkatkan upah dengan memperhatikan kemampuan perusahaan. Secara bertahap pemerintah akan berusaha menciptakan iklim usaha yang lebih baik serta peningkatan pendapatan buruh. Bagaimana pun, banyak yang berpendapat pemerintah tampaknya lebih condong ke pihak pengusaha dibanding buruh. Menilai seruan Pangkopkamtib Laksamana Sudomo agar buruh tidak, melakukan pemogokan, Eddiwan, Ketua Komisi IV DPR yang membidangi ketenaga-kerjaan berpendapat pendekatan Sudomo terlalu mementingkan segi keamanan saja. "Kecuali buruh, hendaknya pengusaha juga diperingatkan," katanya. Sesuai dengan 8 jalur pemerataan, kesejahteraan buruh memang kudu diperhatikan. Tapi bukankah investor asing harus dibuat kerasan di Indonesia? "Mereka biasanya berasal dari negara kapitalis, mau cari untung besar dengan memberi upah rendah. Mereka tidak bakal cepat mengerti sistim perburuhan Indonesia yang sosialistis seperti HPP itu," kara Eddiwan. Ia juga tidak mengerti seruan pemerintah yang melarang buruh melakukan aksi mogok. "Mereka kan biasa menghadapi aksi mogok di negaranya. Mogok bukan barang baru bagi para investor. Alasan itu tidak kuat," ujarnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus