Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Kusut Mawut Aceng Garut

Perilaku Aceng Fikri yang menabrak UU Perkawinan dan merendahkan perempuan itu jauh dari marwah pemimpin. Pilih mundur atau digusur.

9 Desember 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BETAPA eloknya jika Aceng Fikri memanfaatkan kelin­cah­annya untuk hal terpuji dalam memimpin Kabupaten Garut. Sayang, Aceng, yang kini "bintang" media massa, justru trengginas dalam perilaku aib. Menikahi gadis yang belum genap 18 tahun pada 14 Juli 2012, dia menceraikan remaja itu empat hari kemudian. Alasannya, sang mempelai sudah tak perawan dan ia habis uang banyak untuk pernikahan sekejap itu.

Kejadian ini mengumbar heboh publik, menerbitkan amarah kaum perempuan, dan meresahkan masyarakat Garut. Bekas istrinya mengadu ke Mabes Polri—meski kemudian dicabut dengan alasan tak cukup jelas. Aceng dituduh dengan empat pasal Kitab Undang-Undang Hukum Pidana: penipuan, perbuatan tidak menyenangkan, pencemaran nama baik, dan menikah tanpa izin istri sah.

Nikah siri sah di mata Islam. Tapi negara tak mengizinkannya—melalui Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974—karena jenis perkawinan ini merugikan istri dan anak-anak, yang haknya tak dijamin secara hukum. Khusus bagi pegawai negeri, harus ada pula izin atasan.

Majelis Ulama Indonesia berulang kali menyerukan perkawinan siri diakhiri. Mereka yang telanjur menikah siri disarankan mencatatkannya segera ke Kantor Urusan Agama serta Pengadilan Agama, agar status pernikahan "naik" menjadi isbat alias terjamin oleh ketetapan hukum. Aceng tak melakukan semua itu, malah dengan gagah menegaskan, "Perkawinan kan urusan privat."

Bupati Garut itu mungkin lupa berat bahwa dia pejabat publik. Setiap tindakannya yang buruk—dan melanggar undang-undang—segera menjadi urusan publik dan hukum. Kalau masih ingin disebut pemimpin, dia harus pula mampu menjadi teladan.

Kesempatan belum tertutup bagi Aceng untuk mencari solusi patut. Mundurlah dari jabatan bupati. Aceng tak perlu menunggu kerja panitia khusus DPRD Kabupaten Garut menelisik kasus ini. Dia juga tak perlu menanti keputusan Menteri Dalam Negeri, atasannya yang tertinggi. Mengapa? Terlalu panjang waktunya.

Usul pemecatan bupati mesti dibawa ke sidang paripurna yang dihadiri tiga perempat jumlah anggota Dewan. Dua pertiga dari mereka harus sepakat pada usul pemecatan sebelum tahap berikutnya: dibawa ke Mahkamah Agung untuk diperiksa dan diputuskan. Bila keputusan ternyata tidak favorable bagi dirinya, bisa saja si bupati menempuh jalan hukum.

Bayangkan betapa penduduk Garut bakal keteteran tanpa pemimpin—karena bos mereka sibuk mengurus "efek siri". Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi pun perlu menunggu dulu seluruh proses di DPRD dan Mahkamah Agung, sebelum tiba pada keputusan final. Betul bahwa Aceng telah mendatangi keluarga bekas istri mudanya untuk ber-"islah". Toh seremoni islah tak dapat menghapus proses hukum yang harus dia tempuh.

Aceng masih bisa memilih cara terakhir untuk menutup kusut mawut ini: mundur segera dari kursi bupati. Ini pasti bukan keputusan mudah, tapi—paling tidak—patut diambil untuk merespons tuntutan publik terhadap tanggung jawab Aceng kepada rakyat yang dipimpinnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus