Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ada sebuah teori tentang lantai.
Dalam teori ini, ada beda antara orang Eropa dan orang Amerika dalam hal memberi angka lantai sebuah gedung. Di Eropa, lantai paling bawah—yang setinggi jalan—diberi angka nol; artinya, lantai yang di atasnya itu yang disebut "lantai satu". Sementara itu di Amerika Serikat, lantai satu adalah yang terletak setinggi jalan.
Perbedaan ini "menunjukkan sebuah jurang ideologis yang mendalam", kata yang empunya teori. Orang Eropa sadar, katanya, bahwa sebelum hitungan dimulai—sebelum keputusan dan pilihan dibuat—harus ada dasar: sebuah lapisan yang sudah terbentuk jauh-jauh hari dan sebab itu tidak perlu lagi dihitung; ia disebut "0". Sementara itu di Amerika Serikat, "negeri yang tanpa tradisi sejarah yang sepatutnya", seseorang dapat langsung mulai bertindak dengan bebas—dan kebebasan itu disahkan oleh dirinya sendiri. Tidak ada kaitannya dengan dasar apa pun. Tak ada masa lalu.
Sebuah teori yang menarik—dan terlampau pintar. Yang mengemukakannya Slavoj Žižek, pemikir Slovenia yang terkenal ke mana-mana itu, yang sangat banyak menulis, sangat cemerlang, sangat polemis, dan sangat menjengkelkan berhubung dengan semua sifat tadi. Dan tak selamanya meyakinkan.
Kali ini Žižek berbicara tentang pemilihan Presiden Amerika 2012 di harian Inggris, The Guardian, beberapa hari setelah Obama dipilih buat kedua kalinya. Kali ini ia ingin menunjukkan bahwa "ideologi" konservatif Amerika telah mulai dijebol oleh Obama—tak secara radikal, tapi lumayan mengguncangkan. Program penyediaan layanan kesehatan oleh Negara—healthcare yang dijuluki Obamacare—telah "menyentuh satu saraf di inti bangunan ideologi Amerika: kemerdekaan memilih".
Dalam pandangan Žižek, Amerika harus belajar bahwa di bawah "ideologi" yang mengutamakan "kemerdekaan memilih" itu, ada dasar yang harus diperhitungkan. "Kemerdekaan memilih," kata Žižek, "hanya berfungsi bila ada satu jaringan yang kompleks yang menghubungkan kondisi legal, pendidikan, ethis, ekonomis, dan lainnya." Semua itu hadir sebagai "latar yang tak tampak bagi pelaksanaan kemerdekaan kita".
Tentu saja. Žižek hanya mengemukakan sesuatu yang begitu jelas kebenarannya hingga tak perlu dikemukakan lagi: tak ada kemerdekaan yang berada dalam ruang vakum. Tak ada kemerdekaan yang lahir dan jadi sah karena dirinya sendiri. Žižek juga hanya mengulang persangkaan lama orang Eropa terhadap orang Amerika. Bangsa yang lahir di abad ke-18 ini dianggap tak punya "tradisi sejarah yang sepatutnya".
Tapi apa sebenarnya tradisi yang "sepatutnya"? Sesuatu yang tak pernah ada. Atau sesuatu yang tergantung. Žižek tak menjelaskan, mungkin karena ia tak melihat bahwa tiap tradisi, sebagai bagian dari sejarah, adalah sesuatu yang diputuskan untuk ada tiap kali dibutuhkan. Ia bisa jadi sesuatu yang "sepatutnya" ketika sikap terhadapnya mengeras, terutama untuk memegangnya erat-erat. Dan itulah yang sebenarnya dilakukan orang Amerika dalam meneriakkan "kemerdekaan memilih".
Ketika mereka tak mau melepaskan hak memegang senjata api, misalnya, mereka tak melihat "ideologi" itu berangkat cuma dari lantai satu yang tanpa dasar. Akan mereka ingatkan bahwa Amerika dibangun orang-orang yang mempersenjatai diri: kaum patriot yang melawan kekuasaan Inggris, para pendekar dari The Wild, Wild West, penghuni kota besar seperti New York yang pernah dibayangkan penyair Subagio Sastrowardoyo dalam sebuah sajak di tahun 1960-an: kota di mana tiap orang jadi polisi sendiri.
Bertolak dari sejarah pula, lahir gerakan yang menyebut diri "Tea Party"—yang ingin peran Negara yang terbatas, dan sebab itu tak ingin memberikan pajak untuk membiayai langkah Negara yang bagi mereka berlebihan. Dengan nama itu mereka hendak menghidupkan apa yang dilakukan penduduk Boston dahulu kala sebelum Amerika jadi republik: menolak pajak yang diterapkan pemerintah kolonial Inggris yang menguasai kehidupan mereka.
Dengan mengacu ke masa lalu itu konservatisme berkembang dalam politik Amerika, terutama dalam Partai Republik: sikap yang hendak merawat apa yang kelihatan cantik di waktu dahulu, pandangan yang hendak menghormati yang tersimpan sebelum lantai pertama bangunan politik. Russell Baker dalam The New York Review of Books menggambarkannya dengan tepat dan tajam: "Partai Republik telah memperkerdil diri menjadi sebuah partai reaksioner yang marah kepada dunia modern."
Dan itulah yang membuat partai itu kalah. Kemarahan kepada dunia modern adalah kemarahan kepada perubahan yang makin cepat. Dengan kata lain, kepada sesuatu yang tak terelakkan. Gerakan "Tea Party" didukung oleh orang Amerika yang seakan-akan lahir dari gambar-gambar Norman Rockwell dalam majalah Saturday Evening Post tahun 1950-an: laki-laki berkulit putih, setengah baya, kelas menengah, tidak miskin.
Tapi kini tahun 2012. Demografi Amerika berganti rupa: makin beragam, makin banyak orang Latino, makin menajam kontras antara miskin dan kaya. Gentar kepada dunia yang seperti itu—yang tak terelakkan—konservatisme pun mengeras. Kemurnian ideologis pun didesakkan, seperti lazimnya ketika sebuah paham tengah terkepung: ada rasa takut kalau tercampur unsur "lain".
Tapi di zaman campur-aduk kini, tiap usaha pemurnian justru akan membawa ke keterpencilan. Dan tiap keterpencilan akan melihat ke bawah, ke lantai nol—lantai yang menandai dunia yang telah hilang atau, kalau tidak, menandai dunia tempat kita bisa mengurung diri. Konservatisme adalah nostalgia. Konservatisme adalah kecemasan.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo