Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Larangan Ekspor Komoditas dan Potensi Balasannya

Pemerintah akan melarang ekspor hingga 21 komoditas sumber daya alam dalam bentuk mentah hingga 2040. Ada potensi pembalasan.

13 Maret 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Larangan Ekspor Komoditas dan Potensi Balasannya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pemerintah akan melarang ekspor 21 komoditas mentah hingga 2040.

  • Kesiapan dan kemampuan industri menyerapnya harus dipertimbangkan.

  • Ada potensi kebijakan balasan dari negara lain.

Rencana pemerintah melarang ekspor produk sumber daya alam dalam bentuk mentah berlanjut. Setelah larangan ekspor nikel, bauksit, dan tembaga, pemerintah berencana melarang ekspor emas mentah setelah Presiden Jokowi menyatakan Indonesia hanya menyimpan sedikit emas sebagai cadangan devisa negara, Februari lalu.


Ronny P. Sasmita

Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution

Pemerintah berencana terus melakukan penghiliran produk sumber daya alam dalam negeri untuk meningkatkan nilai tambah (added values). Karena itu, setidaknya akan ada total 21 komoditas yang dilarang diekspor dalam bentuk mentah hingga 2040.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menteri Investasi dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, Bahlil Lahadalia, mengatakan pemerintah sudah melarang ekspor nikel sejak 2020. Tahun ini pemerintah akan melanjutkan kebijakan itu dengan pelarangan ekspor bauksit dan tembaga. Sebanyak 21 komoditas yang nantinya dilarang diekspor berasal dari delapan sektor prioritas, antara lain mineral, batu bara, minyak, gas bumi, perkebunan, kelautan, perikanan, dan kehutanan. Bahlil sesumbar langkah tersebut merupakan strategi pemerintah untuk menambah pundi-pundi perekonomian melalui proses penambahan nilai produk.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hal itu telah terbukti, kata Bahlil, dari larangan ekspor nikel mentah pada 2020 yang memberikan nilai tambah yang terbilang sangat besar. Pada 2017, sebelum larangan diberlakukan, ekspor produk besi dan baja Indonesia hanya US$ 3,3 miliar. Setelah larangan ekspor diberlakukan, realisasi ekspor produk besi dan baja tercatat US$ 27,8 miliar alias meningkat sangat tajam pada 2022.

Pada prinsipnya, tentu kita bersepakat dengan visi masa depan pemerintah. Namun masih sangat banyak pekerjaan rumah pemerintah agar rencana tersebut tidak berdampak negatif dan tidak dinikmati secara manipulatif oleh segelintir pihak saja. Karena itu, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan oleh pemerintah dan para pihak yang terlibat dalam perumusan kebijakan strategis dalam mengakselerasi upaya penciptaan nilai tambah pada komoditas-komoditas andalan nasional.

Pertama, bagaimanapun, penghentian ekspor harus diimbangi dengan kapasitas daya serap industri pengolahan komoditas tersebut agar pasar ekspor yang terhenti mendadak bisa disubstitusi dengan pasar dalam negeri, yang semestinya tidak kalah atraktif. Jika tidak, harga jual dalam negeri dari komoditas itu akan ambruk karena pasokan domestik bakal mendadak melimpah. Risikonya, perusahaan-perusahaan tambang, terutama yang berkategori kecil, bisa berhenti beroperasi untuk membatasi pasokan dan menstabilkan harga.

Apakah pemerintah sudah menyiapkan pasar domestik penggantinya? Apakah sudah ada “stand by investor” yang akan menyiapkan industri pengolahan komoditas itu dengan daya serap yang sepadan? Apakah investornya sudah dilengkapi teknologi pengolahan yang sesuai dengan kebutuhan alias benar-benar investor yang tepat? Apakah para investor tersebut sudah mendapatkan komitmen pembiayaan investasi dari institusi perbankan, baik nasional maupun internasional? Dan, seterusnya.

Kedua, jika memang sudah disiapkan pasar domestiknya, bagaimana dengan komitmen harganya? Biasanya perusahaan-perusahaan tambang mengekspor komoditas mentah dengan harga internasional yang jauh lebih mahal dibanding harga domestik. Saat ekspor dihentikan dan komoditas itu diserap industri dalam negeri, harganya tentu akan menyesuaikan dengan hukum pasar domestik. Kemungkinan besar harganya akan turun.

Risiko semacam ini terjadi pada komoditas nikel, belum lama ini. Penambang mengabaikan imbauan pemerintah untuk menghentikan ekspor nikel mentah. Pasalnya, disparitas harga domestik dan harga internasional menanjak tajam sebagai imbas dari kenaikan harga komoditas global. Sebuah keputusan yang sangat rasional secara bisnis bagi perusahaan penambang untuk tetap mengekspor nikel mentah karena peluang keuntungan yang sangat besar.

Kesepakatan harga dalam negeri dengan perusahaan-perusahaan tambang sangat krusial sifatnya. Karena itu, bentuk aturan mainnya tidak sekadar kebijakan pelarangan ekspor dan komitmen dari perusahaan-perusahaan tambang, tapi juga harus dalam kesepakatan yang benar-benar saling mengikat dengan insentif/disinsentif serta sanksi yang ditetapkan secara detail dan jelas. Pasalnya, kondisi global, dari ekonomi sampai geopolitik, sangat tidak terduga. Ada kalanya harga internasional mendadak melambung tinggi karena satu dan lain hal, yang membuat perusahaan tambang tergiur untuk banting setir.

Ketiga, pemerintah harus memastikan bahwa kebijakan pelarangan ekspor komoditas-komoditas tersebut tidak berisiko melahirkan balasan dari negara yang sebelumnya menjadi tujuan ekspor komoditas tersebut. Bagaimanapun, penghentian ekspor akan membuat negara itu mendadak mengalami penghentian pasokan bahan baku. Boleh jadi risiko terpahitnya bisa berujung pada konflik dan perang dagang.

Misalnya, jika komoditas A sebelumnya diekspor ke Amerika Serikat atau Cina, lantas bagaimana jika Amerika dan Cina juga membalas dengan menghentikan ekspor beberapa produknya ke Indonesia atau menahan rencana investasi para investor dari kedua negara tersebut ke sini? Apakah pembalasan tersebut bisa diterima oleh pemerintah atau tidak? Apakah hal itu membahayakan ekonomi nasional atau tidak? Sisi resiprositas ini harus benar-benar diukur oleh pemerintah.

Keempat, kebijakan pelarangan ekspor biasanya akan membuka pintu penyelundupan karena kesenjangan harga internasional dan harga domestik. Boleh jadi bukan oleh perusahaan tambang, melainkan pelaku-pelaku baru yang melihat peluang untuk mendapatkan selisih harga tinggi. Jadi, potensi risiko semacam ini juga harus menjadi perhatian pemerintah.

Lalu, terkait dengan masa transisi, saya kira sebenarnya tak ada ketentuan waktu kapan harus memulai kebijakan pelarangan tersebut. Tentunya pemerintah seharusnya memberi prioritas pada komoditas yang memang siap diserap industri dalam negerinya, kesepakatan soal harganya sudah final, serta tentunya tak ada risiko geopolitik dan geoekonominya. Bila belum siap, sebaiknya disiapkan lebih dulu.

Secara pribadi, saya agak kurang sepaham dengan kebijakan pemerintah ini karena jalan terbaik sebenarnya adalah memposisikan Indonesia secara strategis dalam ekosistem global value chains untuk setiap komoditas tersebut. Pemerintah sering kali mengintervensi secara mendadak, menjual narasi nasionalisme ekonomi, dan tanpa memikirkan risiko balasannya bagi Indonesia. Kecenderungan sebagian negara besar terhadap kebijakan-kebijakan ekonomi nasionalistik belakangan ini semakin memperburuk performa ekonomi global yang risikonya juga akan kembali kepada kita di masa nanti. Kondisi ini akan membuat ekspor kita berisiko ditekan di negara lain, baik melalui kebijakan pelarangan impor dari Indonesia maupun pengenaan tarif tinggi atas ekspor, yang membuat produk ekspor kita menjadi semakin tidak kompetitif.

Pemerintah perlu melakukan diplomasi perdagangan dengan negara-negara yang menjadi tujuan ekspor komoditas-komoditas tersebut lebih dulu agar ada kesepahaman dan tidak mendapatkan “pembalasan” yang sama di kemudian hari. Pemerintah tidak bisa “main hajar” begitu saja karena kita adalah bagian dari komunitas internasional yang melakukan perdagangan dan kerja sama dengan banyak negara lain. Pada prinsipnya, visi pemerintah itu perlu diapresiasi dan tentu bila pemerintah bisa mengeksekusinya secara baik dan aman.


PENGUMUMAN

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Kirim tulisan Anda ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Ronny P Sasmita

Ronny P Sasmita

Analis Senior Indonesia Strategic and Economics Action Institution

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus