Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada suatu hari, tahun 1968, saya mengunjungi Lempad di rumahnya. Perupa jenius dari Ubud itu menemui saya sambil berdiri di antara patung-patung batu yang disusunnya secara acak di beranda. Usianya sudah sekitar 100 tahun. Tanpa baju, kulit tubuh bagian dadanya tampak mengeriput. Rambutnya menipis putih hampir gundul.
Ia menunjukkan satu bundel gambar. Dan saya terpesona.
Di lembar-lembar kertas itu Lempad menghidupkan kembali cerita sedih Jayaprana dan Layonsari. Sejak kecil saya mengenal nasib pasangan itu: anak angkat Raja Wanakeling Kalianget yang dibunuh baginda sendiri, ketika orang tua itu ternyata jatuh cinta kepada menantunya, Layonsari. Syahdan, Jayaprana rela dibunuh, Layonsari bunuh diri.
Yang mempesona dari karya hitam-putih Lempad ialah garis dan guratan penanya yang bergetar, spontan, tapi mantap menangkap apa yang erotis dalam adegan percintaan Jayaprana-Layonsari. Kain yang tersingkap di atas ranjang. Peluk yang geregetan tapi halus. Gerak yang bergairah tapi elegan….
Karya itu tak pernah saya lupakan—dan tak pernah saya jumpai kembali. Beberapa tahun kemudian saya mencarinya di antara kertas-kertas gambar Lempad yang dikoleksi seorang penatah perak, tapi tak saya temukan. Di Museum Neka, Ubud, saya dapatkan karya-karya sang empu lebih lengkap, tapi tak ada Jayaprana-Layonsari.
Buku monumental yang baru terbit, Lempad, buah tangan bersama Jean Couteau, Ana Gaspar, dan Antonio Casanovas, juga tak menampilkannya—meskipun kita beruntung mendapatkan jejaknya. Dalam buku ini bisa kita temukan goresan pensil tentang malam pengantin dari cerita Arjunawiwaha dan adegan sanggama Sasarata dan Kekayi, misalnya—dan kita bisa beroleh sekilas kesan betapa ulungnya Lempad dalam mewujudkan apa yang erotis dengan puisi yang diam.
Jika kita lihat kembali kini, ada sesuatu yang sederhana tapi berarti di gambar itu. Kini, di Indonesia, orang sedang menampik ekspresi tentang tubuh dalam gairah dan percintaan. Indonesia telah jadi masyarakat yang takut runtuh karena pornografi. Di saat seperti ini, karya Lempad bisa menunjukkan yang lain.
Besar beda antara yang erotis dan yang pornografis. Pornografi hanya menarik perhatian orang kepada alat-alat kelamin dan hasrat seksual. Ia tak beranjak jauh dari satu tempat dan kita sudah tahu ujungnya. Yang erotis lain: ia menghadirkan suasana, konteks, dan perasaan yang tak terlukiskan dan, terutama dalam gambar-gambar Lempad, seakan-akan tak sepenuhnya bagian dari kehidupan sehari-hari.
Sebagian besar karyanya memang tak hendak menghadirkan kembali—merepresentasikan—kehidupan biasa. Pengaruh realisme dari seni rupa Eropa membekas hanya pada patung-patungnya. Sahabatnya, Walter Spies, tamu yang baru datang dari Eropa, membuatnya tak hanya tertarik menggambar dari adegan dongeng, atau Mahabharata, atau Ramayana. Gambar-gambar Lempad dari tahun 1930-an melukiskan perempuan menumbuk padi, lelaki menyembelih babi, bahkan adegan wanita melahirkan dengan bantuan paraji pria. Tapi wajah orang-orang itu, gerak tubuh mereka—yang selalu mengandung sesuatu yang grotesque sebagai lazimnya karya seni rupa Bali yang akrab dengan hantu, raksasa, dan makhluk ajaib lain—sama sekali bukan sekadar bagian realitas yang diulang dalam gambar. Juga latar kosong yang seakan-akan jadi ruang hidup itu seperti dipetik dari mimpi.
Bahkan ketika ia menggambarkan kehidupan Pan Brayut, istri, dan kedelapan anaknya, dengan sentuhan humor dan olok-olok, tetap terasa ada yang tak-berasal-dari-dunia-ini di tengah-tengah kehidupan orang Sudra yang melarat itu: sesuatu yang berbeda, dengan detail dan arah yang tak terduga-duga. Jean Couteau mengungkapkannya dengan bagus: dalam seri gambar tentang Pan Brayut, pena Lempad tak dibimbing penyusunan pola. Pena itu bergerak sendiri seraya menemukan-dan-menciptakan yang baru, beraneka-ragam, tak henti-hentinya, "not guided by patterning but by infinitely varied inventiveness".
Agaknya itulah yang menyebabkan karya seni berarti. Karya seni sering tak dimengerti bahkan tak diakui, tapi ia mampu mengembalikan pesona ke dalam dunia kita. Di zaman ini pesona itu telah terkikis; manusia sibuk menyusun pola-pola, merumuskan identitas-identitas, mengatur perbedaan dengan konsep dan klasifikasi. Karya seni mencoba menangkis proses itu dengan merayakan perbedaan yang tak disusun konsep apa pun—différence sans concept, kata Deleuze.
Maka selalu ada yang bergerak berbeda dalam tiap karya seni rupa yang bagus, puisi yang menyentuh, novel yang memukau, musik yang menghanyutkan rasa.
Bukan kebetulan bila gerak juga terasa sebagai inti karya-karya Lempad. Setahu saya Lempad sedikit sekali melukis alam benda. Yang ramai dalam karyanya adalah orang-orang yang bekerja, bercakap-cakap, menari, melukis. Gerak selalu terasa dalam karya Bali yang luar biasa ini, yang menciptakan gambar-gambar minimalis, dengan bidang yang tak pernah diisi penuh. Semangat kreatifnya adalah gerak—dan itu juga berarti gerak yang tak berkesudahan.
Lempad menunjukkan apa yang pernah saya sebut sebagai "estetika jeda": karyanya memberi kesan sebagai karya yang tak rampung. Ia seperti selalu sampai pada saat jeda, hanya berhenti sejenak. Ada kutipan yang menarik dalam Lempad, mungkin kata-kata sang empu sendiri: "Ingatlah debu: betapa seringnya pun kita sapu lantai, selalu akan ada sisa yang harus disapu lagi."
Tiap karya seni dimulai dengan gelora, berakhir dengan istirahat dan mungkin kerendahan-hati.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo