Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAK ada pilihan lain bagi Mohammad Iqbal setelah ia tertangkap tangan menerima suap Rp 500 juta dari Billy Sindoro, petinggi Grup Lippo: mundur dari jabatannya. Anggota Komisi Pengawas Persaingan Usaha itu melakukan perbuatan yang mencoreng nama institusinya. Jika mantan Ketua Komisi Pengawas ini ngotot mempertahankan kursinya, Presiden wajib turun tangan. Menurut Pasal 33 Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Presiden berwenang mencopot Iqbal. Seorang tersangka korupsi sangat tidak layak duduk di lembaga publik.
Terungkapnya kasus Iqbal membuktikan bahwa korupsi di negeri ini sudah kronis. Bibit korupsi tidak hanya subur di instansi besar, melainkan sudah menjangkiti lembaga pengawas yang baru seumur jagung seperti Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Ini memprihatinkan. Komisi Pemberantasan Korupsi layak dipuji karena keberhasilannya mengendus transaksi antara Billy dan Iqbal itu.
Suap yang diterima Iqbal diduga berkaitan dengan putusan Komisi Pengawas pada akhir Agustus lalu. PT Direct Vision dinyatakan tak bersalah dalam kasus penayangan Liga Inggris. Sebelumnya, tiga perusahaan—Telkomvision, Indovision, dan Indosat Mega Media—menggugat anak perusahaan Grup Lippo itu karena dituding memonopoli penayangan pertandingan sepak bola tadi. Olahraga paling populer itu ditayangkan hanya lewat Astro Nusantara, televisi berbayar patungan Direct Vision dengan Astro Malaysia.
Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha memang sangat menguntungkan Direct Vision. Selain menyatakan yang bersalah dalam hal ini Astro Malaysia dan ESPN Star Sports, Komisi juga memerintahkan All Asian Multimedia Networks, anak perusahaan Astro Malaysia, tetap mempertahankan kerja sama dengan Direct Vision dan tidak menghentikan pelayanannya kepada pelanggan.
Klausul terakhir yang tak ada kaitannya dengan gugatan monopoli inilah yang diduga berkait erat dengan fulus Rp 500 juta yang diterima Iqbal. Soalnya, ketika gugatan monopoli bergulir di Komisi Pengawas, kongsi bisnis Direct Vision-Astro Malaysia retak dan perusahaan negeri jiran itu mengancam menghentikan pasokan siarannya ke Direct Vision. Di sinilah diduga Direct lantas ”bermain mata” dengan anggota Komisi.
Komisi Pemberantasan Korupsi memang harus mengungkap ”skandal suap KPPU” ini. Jika suap itu berkaitan dengan putusan yang dijatuhkan Komisi Pengawas Persaingan Usaha, memang sulit membayangkan Iqbal bermain sendiri. Sebab, mekanisme pengambilan putusan di Komisi Pengawas bersifat kolektif. Setidaknya ada empat komisioner terlibat dalam pengambilan putusan kasus Astro. Mereka semuanya harus diperiksa.
Kasus Iqbal jelas sudah menggerus kredibilitas Komisi Pengawas Persaingan. Jika terjadi kesalahan dalam pengambilan putusan itu, Komisi harus berani mengoreksinya dan memberikan keterangan kepada masyarakat. Komisi perlu menciptakan mekanisme kontrol terhadap anggotanya, sehingga kasus seperti Iqbal tak terulang. Tapi, jika Komisi berkukuh bahwa putusan atas Astro itu bersih dari suap, pengadilan banding dan kasasi harus mempertimbangkan fakta terjadinya skandal suap ini.
Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi kelak juga harus menuntut Iqbal dan Billy dengan hukuman seberat-beratnya. Dijatuhkannya hukuman ”timpang” dalam kasus Artalyta dan jaksa Urip Tri Gunawan semogalah tidak terulang. Artalyta hanya diganjar hukuman lima tahun, sedangkan Urip 20 tahun penjara. Efek jera bagi penyuap diyakini tak terjadi. Dengan hukuman sama berat untuk penyuap dan yang disuap, dua pihak itu akan berpikir seribu kali untuk meneruskan aksi di ”jalur setan” itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo