Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Setelah Tragedi Zakat Pasuruan

Penyaluran zakat perlu lebih manusiawi. Datanglah pada yang miskin, atau serahkan ke lembaga amil zakat.

22 September 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KALAU saja Haji Syaikhon mau meniru Khalifah Umar bin Khatthab, barangkali pembagian zakat yang membuat 21 orang tewas, Senin pekan lalu di pelataran Masjid Raudlatul Falah, Pasuruan, Jawa Timur, tidak perlu terjadi. Khalifah Umar, satu dari empat pemimpin Islam penerus Nabi Muhammad SAW, suatu ketika memanggul sendiri sekarung gandum untuk diberikan kepada seorang janda yang diketahuinya sedang merebus batu demi menenangkan anaknya yang lapar. Jika pembayar zakat rela mendatangi mustahiq (penerima zakat), bukan hanya korban tewas di Pasuruan itu saja yang bisa dicegah, melainkan juga korban kejadian serupa sebelumnya. Di Gresik, Jawa Timur, tahun lalu, seorang tewas, dan pada 2003 di Pasar Minggu, Jakarta Selatan, empat nyawa melayang.

Jumlah korban pembagian zakat di Pasuruan itulah yang terbesar sejauh ini. Sebagian besar menuding Haji Syaikhon, juragan kulit sapi yang kaya itu, sebagai dermawan yang tak bijak. Sudah banyak korban tewas, tapi Pak Haji masih memakai cara lama yang "berbahaya": mengundang orang miskin datang mengambil zakat. Bahkan ia mengiklankan niatnya membagi zakat-Rp 30 ribu untuk satu orang-melalui tiga radio swasta di Pasuruan. Sudah begitu, ia tak meminta bantuan pamong praja atau polisi setempat.

Yang terjadi mengerikan, di terik matahari, halaman masjid yang hanya mampu menampung 300 orang itu dijejali ribuan orang dari seluruh pelosok Pasuruan, Jember, Kediri, dan Malang. Petaka terjadi ketika ribuan manusia itu berdesakan tanpa ada yang mampu mengatur. Kaum perempuan-sebagian besar di atas 45 tahun-berteriak-teriak, terjepit tak berdaya. Dalam usaha menggapai uang yang jumlahnya besar bagi mereka itu, ada 21 orang terinjak-injak, kehabisan oksigen, dan dijemput maut seketika itu juga.

Haji Syaikhon jelas tak punya niat jahat. Ia pasti terdorong untuk mengeluarkan zakat sebagai sarana penyucian diri seperti ajaran agamanya. Tapi Haji Syaikhon mestinya juga tahu bahwa ada kewajiban bagi muzakki (pembayar zakat) agar pemberian zakat memperbaiki derajat kehidupan si penerima. Membiarkan penerima zakat dipanggang matahari sekian jam rasanya bukan cara yang bisa diterima agama, juga sangat tidak manusiawi.

Sayangnya, di negeri ini lembaga pengelola zakat belum berjalan efektif. Itu pasti salah satu alasan Syaikhon membagikan zakatnya secara langsung. Tindakannya tak bisa diharamkan, tapi ia perlu melihat sekeliling: saban tahun yang datang berebut zakat kian banyak-walaupun statistik mengatakan jumlah orang miskin menurun. Badan Amil Zakat Nasional mengabarkan, umat Islam di Indonesia memiliki potensi zakat senilai Rp 19,3 triliun per tahun. Tapi soalnya tetap klasik: tidak ada lembaga tunggal yang dipercaya muzakki untuk mengurus pemungutan dan penyaluran zakat seluruh umat. Pemungutan dilakukan banyak lembaga, tak maksimal, dan penye-baran tidak merata karena tak ada koordinasi antarlembaga pengumpul.

Zakat memang urusan keyakinan individu. Pengaturan yang ketat tak banyak berguna. Sebagian orang, termasuk Haji Syaikhon, lebih suka membagikan zakat dengan tangan sendiri. Barangkali terasa lebih afdol-walau tidak berarti benar secara syariat agama-namun pertimbangan utama seharusnya diletakkan pada keselamatan penerima zakat.

Belajar dari tragedi Pasuruan, para dermawan sebaiknya mendatangi tempat kaum miskin untuk menyerahkan zakat. Dengan kelebihan materi yang dimiliki, mereka pasti mampu melakukannya. Jangan biarkan kaum papa-yang mungkin tak punya ongkos untuk bepergian-datang berbondong-bondong dari tempat yang jauh untuk jumlah Rp 20-30 ribu. Pada saat-saat sulit ini, tantangan terberat adalah memastikan zakat sampai ke tangan penerima dengan aman, dan tidak diperebutkan dengan menyabung nyawa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus