Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebuah dongeng tentang dongeng.
Ada sebuah kota yang amat kecil di sebuah zaman yang amat hening di mana orang-orang ingin mendengar cerita Lubdaka. Tapi tak ada yang tahu kisah itu. Maka dewan kota meminta seorang brahmana mencarinya.
Ia dipilih karena ia pernah menemukan dua helai daun lontar yang tersimpan di Candi Lango; di helai pertama tertulis, "Sang Hyang ning Hyang amurti niskala". Di helai kedua, "Sthulakara sira pratisthita hanenghrdaya-kamala-madya nityasa". Ia tak mengerti arti kata-kata itu. Tapi penjaga candi itu mengatakan bahwa kedua kalimat itu memang bagian pembuka cerita Lubdaka. Dan sang brahmana percaya.
Maka ia pun berangkat memulai pencariannya bersama dua orang murid. Dengan sebuah biduk, mereka menyeberangi Danau Tamranga, dan tiba di sebuah biara dengan 17 rahib yang tak menyebutkan agama mereka. Di sana ekspedisi itu menemukan sebundel naskah cerita Lubdaka. Mereka menyalinnya selama seminggu. Tapi, pada akhir kerja mereka, pemimpin biara itu mengatakan, "Pergilah tuan-tuan ke pertapaan tua di Pulau Mahuli. Di sana ada cerita Lubdaka yang lebih lengkap."
Dan mereka pun berangkat, dan menemukan pertapaan itu, dan mereka diizinkan membaca naskah itu beserta terjemahannya. Tapi pendeta tertua di sana berkata, "Di seberang Danau Tamranga selalu ada cerita Lubdaka. Tapi salah jika ingin menemukan yang lengkap. Tuan-tuan sendiri yang harus melengkapkannya."
Sang brahmana dan murid-muridnya terkesima mendengar itu—dan dengan hati penuh mereka pun kembali ke kota yang mengutus mereka. Tapi kali ini mereka harus menembus sebuah padang pasir sebelum sampai ke tepi danau. Tiba-tiba badai gurun yang mengerikan melabrak. Ketika semua reda dan langit tenang kembali, kedua murid itu tak melihat lagi guru mereka di atas kuda. Sang brahmana lenyap, kedua murid itu jadi setengah buta, dan naskah yang mereka salin di atas kertas Cina robek-robek, hurufnya pudar.
Yang tersisa jelas hanya satu halaman yang terlepas, bertulisan "Sang Hyang ning Hyang amurti niskala...".
Tapi setidaknya mereka ingat beberapa fragmen cerita yang dicari. Dan itulah yang mereka sampaikan ke dewan kota.
Syahdan, dewan kota sedang sibuk. Maka diputuskan bahwa para anggota akan mendengarkan dongeng itu selama dua hari, fragmen demi fragmen. Semua akan direkam dan kemudian cerita akan disusun jadi utuh, lalu disebarkan ke seluruh penduduk.
Tapi, di ujung proses, ternyata ada dua versi cerita Lubdaka. Ini sinopsisnya:
VERSI I. Lubdaka seorang pemburu yang mencari hewan buruan untuk menghidupi keluarganya. Pada suatu hari ia tak bisa pulang cepat dari hutan. Malam tiba, dan ia takut dimangsa hewan. Maka ia naik ke sebatang pohon maja yang menjorok ke telaga kecil. Ia duduk di atas sebuah dahan. Cemas terjatuh bila ia tertidur, ia melawan kantuk dengan memetik daun maja satu-satu, lalu dijatuhkannya ke permukaan telaga untuk menyaksikan bulan yang terpantul di air itu seperti tersenyum kepada bumi. Adapun di danau itu ada sepotong batu panjang yang tegak, dan daun-daun itu sesekali jatuh di pucuknya. Itulah yang ia lihat di waktu pagi. Yang tak ia ketahui, Dewa Syiwa yang di kuil-kuil dilambangkan dengan sebuah lingga sangat senang melihat perbuatan Lubdaka. Syiwa mencatat si pemburu sebagai calon penghuni surga.
VERSI II: Lubdaka seorang pemburu yang mencari hewan buruan untuk menghidupi keluarganya. Pada suatu hari ia tak bisa pulang cepat dari hutan. Malam tiba, dan ia takut dimangsa hewan. Maka ia naik ke sebatang pohon maja yang menjorok ke telaga kecil. Ia duduk di atas sebuah dahan. Cemas terjatuh, ia berdoa sepanjang malam sambil menjalankan ibadat, yaitu menebarkan daun maja ke sepotong batu panjang yang ia lihat tadi di telaga itu; baginya batu itu lingga yang mewakili Syiwa. Maka Syiwa pun sangat senang akan perbuatan Lubdaka. Ia mencatat si pemburu sebagai calon penghuni surga.
"Versi mana yang benar?" tanya Ketua Dewan.
"Terus terang saya tak tahu, Tuan," jawab salah seorang murid sang brahmana yang hilang. "Kami berdua juga tak yakin bacaan kami. Kami setengah buta."
"Tapi logisnya versi kedua yang benar," jawab murid yang satunya. "Dewa mendengarkan doa Lubdaka sepanjang malam. Dalam versi ini, Lubdaka berbuat dengan niat yang jelas. Dewa tak akan mengaruniai seorang yang iseng karena takut mengantuk."
"Tapi niat itu pamrih. Dalam versi kedua, Lubdaka mengharap bantuan dewa, sedangkan dalam versi pertama, Lubdaka tak punya pamrih apa pun. Di atas pohon itu ia menciptakan imajinasi yang membuat bulan dan bumi saling bersahabat. Ia layak hidup bahagia yang kekal."
"Niat itu penting, kan? Tanpa niat, perbuatan hanya seperti air kali yang mengalir karena perbedaan tinggi tanah."
Dewan kota pun bingung. Maka diundanglah seorang penelaah kitab-kitab lama. Tapi orang ini pun tak bisa membaca tulisan pudar di kertas yang robek.
"Hanya kalimat ini yang saya mengerti," katanya menemukan kertas yang bertuliskan "Sang Hyang ning Hyang amurti niskala...". Baris ini bertaut dengan baris yang tersimpan di Candi Lango. Dalam tafsir saya, seutuhnya berarti, "Dewa dari segala dewa yang nir-bentuk di dunia yang tak kasatmata/sifatnya yang nir-bentuk mewujud serupa teratai yang mekar tanpa henti di hati manusia di dunia yang tampak."
"Itu kalimat Mpu Tanakung, dan agaknya versi I yang benar. Dengan bersahaja, Lubdaka terus-menerus menciptakan imajinasi yang baru di malam yang membosankan. Ia berbuat kebaikan. Ia ikuti gerak sang teratai yang tak henti-hentinya mekar kembali."
Dewan di kota yang sangat kecil itu masih bingung, tapi konon zaman tak seterusnya hening.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo