Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pembatalan kenaikan tarif bea meterai menunjukkan pemerintah amburadul dalam merancang kebijakan. Sedianya kenaikan tarif itu diberlakukan pada Juli ini, tapi batal karena berbagai sebab. Selain revisi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai masih harus dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat, aturan itu diprotes masyarakat.
Setiap pungutan kepada masyarakat memang harus seizin DPR. Semestinya pemerintah mengajukan revisi ini jauh-jauh hari sebelumnya. Karena baru diputuskan masuk Program Legislasi Nasional 2015 pada akhir Juni lalu, paling cepat rancangan undang-undang ini akan dibahas pada September nanti. Maka mustahil tarif baru diberlakukan pada Juli ini.
Usul kenaikan ini sebetulnya sah-sah saja. Undang-Undang Meterai memang memberikan peluang bagi pemerintah menaikkan tarif meterai. Selain itu, tarif meterai saat ini sudah diterapkan sejak 15 tahun silam. Tapi usul tersebut agaknya tak pantas dilakukan sekarang, ketika ekonomi lagi susah. Setiap kenaikan, berapa pun besarnya, akan memberatkan masyarakat.
Dalam rancangan tersebut, ada dua hal yang penting: kenaikan tarif meterai tiga kali lipat (300 persen) dan perluasan obyek pajak. Meterai senilai Rp 3.000 akan menjadi Rp 10.000, dan Rp 6.000 menjadi Rp 18.000. Obyek pajak diperluas, dan salah satunya adalah jual-beli produk elektronik. Dalam aturan sebelumnya, transaksi produk elektronik tidak termasuk yang terkena bea segel atau meterai.
Sungguh aneh jika pemerintah memasukkan kebijakan ini sebagai bagian dari upaya ekstensifikasi-memperluas obyek pajak dan wajib pajak. Dalam transaksi produk elektronik, konsumen sudah membayar pajak pertambahan nilai (PPN), dan pada produk tertentu juga pajak penjualan barang mewah (PPnBM). Tentu saja berlebihan jika mereka masih dibebani bea meterai, meskipun nilainya tidak besar.
Lebih tidak masuk akal lagi jika kenaikan tarif meterai ini dimaksudkan untuk meningkatkan pendapatan pajak pemerintah. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2015, bea meterai ditargetkan menambah kas negara Rp 2,5 triliun. Angka ini memang naik dua kali lipat dibanding tahun lalu, tapi tetap saja sangat kecil dibandingkan dengan jenis pajak yang lain.
Angka tersebut jelas tak ubahnya seperti biji zarah dibandingkan dengan PPN atau pajak penghasilan (PPh). Dalam APBN Perubahan 2015, pemerintah menargetkan pendapatan dari PPN dan PPnBM Rp 576,5 triliun dan PPH nonmigas Rp 630 triliun. Apalah gunanya menaikkan tarif meterai jika jumlahnya terlalu kecil tapi efeknya akan berat dirasakan masyarakat, terutama kalangan menengah ke bawah.
Pemerintah semestinya memburu target pajak kakap. Seperti kerap diungkapkan para pejabat Direktorat Jenderal Pajak bahwa disinyalir ada banyak perusahaan pertambangan dan perkebunan yang membayar pajak jauh di bawah yang seharusnya. Efek dari upaya ini pasti akan jelas terasa dalam anggaran karena nilainya bisa mencapai triliunan rupiah.
Perluasan obyek pajak dan wajib pajak memang harus dilakukan pemerintah sebagai salah satu instrumen redistribusi pendapatan. Karena itu, wajib pajak atau obyek pajak yang bakal terkena perluasan haruslah sesuatu yang "bernilai", sehingga hasilnya bisa dimanfaatkan untuk kepentingan umum. Bea meterai semestinya tidak termasuk kategori itu karena pemerintah hanya akan mendapatkan remah-remah.
Pemerintah Presiden Joko Widodo sebaiknya juga memperbaiki proses pembuatan kebijakan. Kebijakan yang maju-mundur seperti ini, selain memperburuk citra, menunjukkan ketidakbecusan mereka menjalankan pemerintahan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo