INI kesan perjalanan ke Uni Soviet dengan rombongan turis, naik bis dari London. Banyak turis, terutama dari Amerika, tertarik melihat negara superkuat ini, yang sedang menjalankan perombakan sistem politik dan ekonomi yang akan berdampak besar pada perdamaian dan kesejahteraan dunia. Kehidupan di Uni Soviet sekarang ditandai oleh glasnost, perestroika, dan "demokratisasi". Peremajaan generasi juga sedang berjalan. Banyak pemimpin partai di atas tujuh puluh -- tahun diganti oleh yang muda. Gorbachev, yang baru saja dipilih sebagai Presiden merangkap Sekretaris Partai Komunis, tergolong generasi yang relatif muda dan pernah menjadi ketua Komsomol (organisasi pemuda komunis). Di Kongres (semacam MPR) yang baru saja bersidang, dan merupakan hasil pemilihan umum yang pertama kali sejak Revolusi 1917, banyak anggota muda muncul. Sidang Kongres merupakan pesta demokrasi bagi lebih dari dua ribu anggota, terutama bagi golongan yang muda dan radikal, walau mereka ini masih merupakan minoritas. Banyak deputi baru tak sabar untuk berbicara, melampiaskan kritik yang pedas, seperti peringatan Boris Yeltsin bahwa kepresidenan masih terlalu besar kekuasaannya, yang dapat menimbulkan kediktatoran baru. Perjalanan sidang disiarkan televisi sepanjang hari. Tata cara dibuat lebih demokratis. Dahulu, sidang hanya menyetujui apa yang disodorkan oleh pimpinan partai. Sebelum di Moskow, rombongan kami yang masuk lewat Leningrad, setelah mengagumi peninggalan sejarah tsar-tsar Rusia sejak abad ke- 18 (seperti Tsar Peter Agung), lebih banyak terkesan oleh kemelaratan yang mencolok sepanjang jalan Leningrad ke Novgorod. Kemiskinan ini terus terlihat sampai dekat Moskow, suatu daerah pertanian yang di kiri dan kanan jalan hanya menampilkan rumah-rumah petani sederhana, terbangun dari balok kayu tanpa dicat dengan atap yang reot. Di sisi rumah tampak tumpukan kayu untuk pemanasan di musim dingin, dan sumur dengan ember pada ujung bandulan seperti di Indonesia (walau listrik sudah masuk ke semua desa). Susah membayangkan betapa berat kehidupan di musim salju kalau suhunya turun sampai 0 derajat di bawah nol. Pemandangan di jalan-jalan besar di Leningrad, Novgorod Smolensk, bahkan juga di Moskow, dipenuhi oleh rakyat biasa terutama yang tua, yang pakaiannya sederhana, bahkan tampak gombal kalau dibandingkan dengan kota-kota besar di Eropa Barat (juga Berlin Timur). Toko-toko tidak menarik sama sekali dalam pajangan dan pilihan mata dagangannya. Servisnya, terutama di toko-toko untuk penduduk (orang asing bisa belanja di toko Berioza dengan valuta asing), lamban. Soalnya, karena untuk memilih, membayar, dan mengambil barang, orang harus antre setiap kali. Para pelayan toko sering tak acuh karena mereka pegawai perusahaan negara. Sering kelihatan antre yang panjang kalau ada barang yang langka ditawarkan. Uni Soviet terang bukan negara servis. Seorang penduduk menceritakan bahwa selama beberapa tahun ini jumlah barang bertambah langka, dan sistem ransuman bertambah banyak. Boris Yeltsin di Kongres juga terang-terangan mengkritik kemunduran ekonomi dalam beberapa tahun terakhir ini. Keadaan hotel-hotel yang disinggahi oleh turis asing juga tidak bisa dibandingkan dengan hotel-hotel di Eropa Barat dan Asia Timur bahkan kalah dengan hotel-hotel di RRC. Di kota kecil seperti Novgorod dan Smolensk, kualitas hotel terbaik masih di bawah hotel di kota provinsi di Indonesia. Kebersihan cukup dan semua fasilitas di kamar dan hotel berfungsi, tapi tak menarik untuk dipandang. Kota Minsk, ibu kota Republik Rusia Putih, dekat perbatasan dengan Polandia, merupakan pengecualian. Kota ini tampak baru sekali dan modern, karena kota lama hancur di Perang Dunia II. Penduduknya muda, dengan usia rata-rata hanya 35 tahun. Banyak industri modern ada di sekitarnya, sehingga penduduk yang tampak di jalanan kelihatan lebih makmur dan banyak yang berbusana modis. Lagi pula, banyak wanita muda berambut pirang, mata biru, dan cantik. Minks adalah kota yang lebih representatif bagi suatu negara superkuat yang modern walau, bagi wisatawan dari luar negeri, Leningrad dan Moskow lebih menarik karena adanya peninggalan sejarah Rusia yang megah sekali. Tapi, justru kemegahan dari tsar-tsar Rusia dari dinasti Romanov, dengan kekuasaan feodal yang mutlak, tuan-tuan tanah besar yang memeras petani, semuanya itu telah mencetuskan revolusi sosial sampai dua kali, pertama pada 1905 yang gagal, dan kedua kalinya oleh Lenin pada 1917. Dilihat dari kemiskinan dan keterbelakangan rakyat Rusia di zaman tsar, revolusi tahun 1917 sangat masuk akal, dan rezim baru telah membawa banyak kemajuan bagi rakyatnya. Tapi, setelah 70 tahun pembangunan di negara sosialis ini, tampak kelemahan-kelemahan pada sistemnya. Yang dipentingkan bukan kesejahteraan rakyat di atas garis batas kebutuhan hidup yang minimal, melainkan keunggulan sebagai benteng komunis di bidang pertahanan dan angkasa luar. Uni Soviet terang bukan negara yang nikmat bagi kaum konsumen. Bagi rakyat biasa, hidup masih berat. Consumerism di dunia Barat bisa dikatakan melewati batas, tapi kurangnya perhatian pada kepentingan konsumen di Uni Soviet juga tak beralasan kuat. Adalah rasional untuk membatasi tingkat konsumsi rakyat agar lebih banyak dana dan daya tersedia bagi pembangunan dan kcperluan pertahanan. Namun, sistem pengendalian dan sosialisasi ekonomi juga tidak memberi kesempatan bagi penambahan produksi oleh inisiatif perorangan dan perusahaan karena tidak diberikan insentif dan kesempatan. Insentif keuangan bagi individu dan perusahaan kurang mempunyai tempat pada ekonomi berencana seperti di Soviet. Marx tidak mau mengakui pengaruh motivasi ekonomi sebagai cambuk bagi pertumbuhan ekonomi dan pembangunan. Akibatnya, ekonomi dan masyarakat menjadi underutilized dalam potensi kreasi dan produksinya. Pekerja pada perusahaan kolektif berhenti bekerja pada akhir hari, karena tidak ada keuntungan baginya untuk bekerja lebih lama. Perusahaan perorangan secara swasta tidak diizinkan hingga jumlah toko, kios, dan kaki lima sangat minim. Akibatnya, timbul antrean panjang pada tempat-tempat penjualan yang ada. Perintah sangat mementingkan pembangunan perumahan untuk rakyat, tapi terbatas dalam dana yang disediakan, sehingga seorang muda harus menungggu sampai dua puluh tahun untuk mendapat giliran membeli. Tapi bagi pejabat partai waktu tunggu dapat diperpendek. Ideologi komunis sangat mementingkan pemerataan, tapi juga tidak dapat mengendalikan naluri manusia, sehingga kekuasaan atau pengatuh politik dapat meraih fasilitas dan kenikmatan hidup yang tidak tersedia bagi rakyat biasa. Semuanya ini sedang berubah. Tidak hanya di Uni Soviet, tapi juga di Polandia, Cekoslovakia, Hungaria, dan Bulgaria. Glasnost, perestroika, dan demokratisasi merupakan tiga sasaran yang kait-mengait. Di Uni Soviet, reformasi politik rupanya mendahului restrukturisasi ekonomi, walau banyak perusahaan negara sudah disuruh berdiri sendiri, dan koperasi sering menjadi usaha swasta kecil terselubung. Di Polandia (tur kami lewat Warsawa), swasta sudah lama mempunyai tempat di bidang ekonomi dan 88% dari pertanian adalah bebas. PMA 100% diperbolehkan di Polandia dan di Warsawa banyak nama hotel Barat. "Uang kedua" di Warsawa adalah dolar AS, artinya banyak jual-beli dilakukan dalam dolar tanpa melanggar peraturan. Ekonomi campuran di Polandia ini menghasilkan kemakmuran untuk rakyat yang lebih besar daripada di Uni-Soviet. Anehnya, Jerman Timur tidak mendukung glasnost dan perestroika, tapi tingkat hidup rakyatnya jauh lebih baik, terutama lima tahun terakhir ini. Tahun sembilan puluhan akan dikuasai oleh restrukturisasi ekonomi dan politik yang lebih lanjut. Hasil akhirnya belum dapat diramalkan. Tapi orang Polandia sudah dapat membayangkan Gerakan Solidaritas, dan bukan Partai Komunis, yang akan menang pemilu. Maka, pluralisme politik juga dapat berkembang di negara sosialis. Ada kemungkinan perkembangan politik di Eropa Timur akan mirip sosial-demokrasi seperti di Jerman Barat dan Skandinavia. Prosesnya akan penuh kesulitan, yang sudah tampak di Polandia dan Yugoslavia. Inflasi di Polandia kini mencapai 88% setahun dan di Yugo sekitar 200% setahun. Demokratisasi sistem politik tidak memudahkan restrukturisasi sistem ekonomi, karena penghapusan subsidi-subsidi besar, penyesuaian harga pada biaya produksi, dan pelepasan pengendalian harga bisa sangat tidak populer secara politis. Namun, kalau ini tidak dilaksanakan, masyarakat akhirnya harus membayar juga dengan menderita inflasi yang tinggi yang menggerogoti nilai gaji dan upah. Gaji rata-rata di Uni Soviet adalah 300 rubel sebulan, yang nilainya setara US$ 500 pada kurs resmi, tapi hanya sepersepuluhnya di pasar gelap. Di Polandia, gaji seorang guru 100.000 swoti sebulan, setara dengan US$ 120 pada kurs resmi, tapi hanya bernilai US$ 25 pada kurs "premium" yang baru-baru ini juga tersedia bagi orang Polandia yang memiliki valuta asing secara legal. Seorang dokter atau pengacara di Polandia bisa mengumpulkan honor beberapa juta swoti sebulan dengan praktek partikelirnya. Karena itu, di Polandia jumlah mobil pribadi jauh lebih banyak daripada di Uni Soviet. Namun, dengan sistem ekonomi-moneter yang sangat dualistis itu, ekonomi Polandia menjadi kacau. Jurang antara yang kaya dan miskin melebar. Ini merupakan salah satu kepahitan dari masa transisi selama restrukturisasi. Apakah Gorbachev dapat menyelesaikan tugas triloginya? Harapan cukup besar, tapi misinya sangat sulit. Yang hendak dicapainya adalah perombakan dari atas, dari pusat, dari dalam, dan secara bertahap. Anggota Kongres yang muda banyak yang kurang sabar. Di lain pihak, sebagian pemuda dari kalangan rakyat tidak percaya sistem bisa berubah karena, "Selama 50 tahun tetap sama", sehingga "kita tak ada harapan dalam sistem ini". Sementara itu, Gorbachev harus melawan dogmatisme dan vested inerest dari birokrasi dan pejabat yang hidup baik atas berbagai fasilitas. Anehnya, Gorbachev merasa harus mendahulukan glasnost dan demokratisasi daripada perestroika ekonomi. Kita di Indonesia lebih mudah melakukan perestroika ekonomi, sedang glasnost politik masih mencari bentuknya, dan perestroika politik masih menunggu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini