TATKALA veteran long march, Chen Yun, mengemukakan gagasannya tentang suksesi, Deng Xiaoping terperangah. Reaksi pertama orang tua ini terasa defensif. Bukankah perkara suksesi urusan Kongres Nasional Partai untuk memutuskannya? Kenapa Chen Yun dan kawan-kawan dari kalangan veteran pejuang angkatan 34 itu mempersoalkan? Benar, Tentara Pembebasan Rakyat adalah sokoguru revolusi Cina. Dan veteran long march adalah eksponennya. Tetapi, merasa diri sebagai bapak pembaruan di Cina, Deng Xiaoping pun terpanggil untuk menanggapi seruan kawan-kawannya itu secara terbuka. Agar sikapnya diketahui secara luas oleh bangsa Cina, Deng Xiaoping pun memilih forum yang tepat. Dalam Kongres Nasional Partai ke-11, Deng mengemukakan tanggapannya soal suksesi. Tatkala menutup sidang pleno ke-6 kongres itu, tanggal 29 Juni 1981, Deng Xiaoping berpidato tentang capaian kongres yang utama: konsolidasi partai dan suksesi kepemimpinan nasional. Dua kader utama gerakan pembaruan Deng, masing-masing Hu Yaobang dan Za Ziyang, terpilih sebagai pemuka-pemuka utama Partai Komunis Cina. Bukankah itu bukti nyata suksesi kepemimpinan? "Saya mengacungkan kedua tangan, tanda setuju sepenuhnya atas usul kawan Chen Yun," katanya tiga hari kemudian, tanggal 2 Juli 1981, tatkala fungsionaris partai berkumpul selama dua hari untuk membahas usul Chen Yun tersebut. Dengan demikian, Deng pun sekali lagi membuktikan kemampuan berkelit dalam kancah percaturan politik di Republik Rakyat Cina. Dialah tetap sang maestro dan hanya dia yang boleh mengambil inisiatif kapan dan kepada siapa suksesi dilakukan. Para veteran perang pembebasan sesungguhnya menghendaki suksesi yang tulus dan tidak main kelit - berkelit. Liu Lanbo, misalnya, membuktikan ketulusan hatinya dengan meminta berhenti dari jabatan sebagai Menteri Tenaga Listrik, untuk diganti oleh tenaga yang lebih muda. Chen Yun mengusulkan agar secara sistematis yang tua-tua segera menyerahkan tongkat komando kepada tenaga muda dan terdidik, yang telah disiapkan dengan seksama. Bukankah itu sikap kejuangan tentara pembebasan rakyat, tempat Deng Xiaoping juga berasal? Tetapi Deng ternyata masih menghendaki memegang kendali dengan kukuhnya. Dari ucapan dan tindakannya, tampak sekali ia ingin mengendalikan jalannya suksesi. Maka, tatkala kadernya, Hu Yaobang, yang dipasang pada pucuk pimpinan partai, mulai melangkah terlalu jauh dari selera Deng, dia pun digeser. Begitu pula halnya dengan Zao Ziyang, yang merintis jalan ke arah keterbukaan dan demokratisasi, dia tergusur dan dituduh menempuh selera demokrasi yang berasal dari luar Cina. Demokrasi borjuis. Sikap dan langkah yang dipilih oleh Deng ini mengingatkan pada jejak yang ditinggalkan oleh Mao Zedong dalam soal yang sama. Tatkala itu, Liu Shaoqi, dan setelah itu Lin Biao, juga sudah dinyatakan secara terbuka sebagai pewaris pimpinan nasional. Tetapi tatkala putra mahkota itu masing-masing menempuh jalan yang tidak direstui Mao Zedong, mereka dengan mudah disingkirkan, bahkan dengan cara yang mengerikan. Demikianlah, Deng Xiaoping maupun Mao Zedong pada kenyataannya sampai usia yang sangat uzur masih ingin jumeneng. Kini Deng pun belum juga hendak menyerahkan tongkat kendali masalah kenegaraan dan partai kepada kadernya yang mana pun, selama ia masih bisa berdiri. Memperhatikan jejak kedua pemimpin Cina itu, orang bisa tercenung. Kebudayaan dan tingkat peradaban ternyata berpengaruh sangat menentukan terhadap tingkah laku politik. Cina pada dasarnya masih berperadaban feodal. Walaupun Deng Xiaoping berkali-kali mengatakan bahwa seseorang yang menunjuk sendiri calon penggantinya bukanlah seorang pemimpin yang baik. Karena, katanya, tindakan itu mencerminkan praktek seorang feodal. Tetapi jejak langkah kepemimpinan Deng Xiaoping jelas feodalistik. Memang, Deng selalu berpretensi memilih premis politik baku, yang konstitusional. Mekanisme partailah yang harus mengambil keputusan. Dan Kongres Nasional Partailah yang memilih calon pemimpin. Bukan veteran tentara pembebasan rakyat. Bukan pula eksponen angkatan long march yang tersisa. Tetapi dalam kenyataannya, baik Mao maupun Deng menggunakan manuver itu sebagai tabir kepemimpinan feodalnya. Keduanya secara kukuh ingin mengendalikan jalannya suksesi. Bila demikian adanya, siapa yang masih meragukan pilihan jalan yang ditempuh Deng dalam masalah perpolitikan di Cina? Bahkan tatkala Cina dilanda krisis seperti yang bisa kita baca dan ikuti dari kejadian-kejadian di Lapangan Tiananmen baru-baru ini, pemimpin-pemimpin yang muncul lewat "skenario konstitusional" itu pun akhirnya harus merujuk pada restu sang maestro, Deng Xiaoping. Perhatikan, siapa yang diajak berunding Li Peng, atau siapa yang memerintahkan penyerbuan Tentara Pembebasan Rakyat ke Tiananmen. Memperhatikan pergolakan politik di Cina, orang tidak boleh terkecoh oleh pernyataan resmi dan ucapan harfiah para pemimpinnya. Tengoklah latar belakang masalahnya, lihatlah segala langkah yang ditempuh pemimpin itu sebelumnya, dan kenali patron tindakan masa lalunya. Baru boleh meramal apa yang bakal terjadi dalam kancah pergumulan politik yang nyata. Mengulangi sejarah suksesi zaman Mao Zedong, sekarang pun dapat diperoleh kesan: selama Deng Xiaoping masih bisa berdiri, ia memilih tetap jumeneng.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini