KALAU harga minyak bisa melonjak karena diatur dengan kuota, kenapa batu apung tidak? Ilham itu pun menancap ke dalam benak Gubernur NTB. Maka, terhitung Februari lalu, menggali dan menjual batu apung tak boleh seenaknya. Sekarang semua diatur melalui SK Gubernur. Setiap pengusaha -- di NTB ada 61 pengusaha batu apung tidak boleh menggali dan menjual batu apung melebihi kuota. Selain itu, 80% batu apung yang digali harus langsung dilempar ke pasar ekspor. Nah, ini berat. Para pengusaha tak lagi boleh menjual kepada pembeli dalam negeri, lebih dari 20% total produksinya. Kenapa? Alasan Pemda NTB: selama ini hasil ekspor batu apung lebih banyak dinikmati oleh daerah lain, yang bukan produsen. Lihat saja, angka produksi tahun lalu 57 ribu ton, tapi yang diekspor langsung dari NTB hanya 12 ribu ton. Nah, agar devisa yang mengalir lebih deras, selain menetapkan jumlah ekspor, Pemda juga menetapkan harga dasar ekspor batu apung, yakni 1.400 dolar Hong Kong (Rp 320 ribu) per ton. Kini pengusaha diam-diam mengeluh atau menjerit. Ada yang karena kuotanya dirasa terlalu sedikit. Ada yang bingung karena telanjur menumpuk batu apung di gudang, padahal belum mempunyai jalur ekspor. Maklum, dari 61 pengusaha, baru 8 yang sudah terbiasa ekspor langsung. Sisanya, ya, mengekspor juga, tapi cuma sampai Jakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini