Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Banyak cara mencetak bankir

Pembukaan cabang bank baru kian banyak. namun, sulit mencari tenaga ahli. lulusan stie perbanas tak mencukupi kebutuhan. mereka mencetak tenaga terampil dari sarjana semua jurusan, agar mampu jadi bankir.

24 Juni 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HAMPIR setiap hari belakangan ini ada berita sebuah bank membuka cabang baru. Tentu saja kebutuhan tenaga kerja di sektor ini semakin banyak. Namun, yang terjadi, bank-bank kesulitan mendapatkan tenaga yang terlatih, sehingga mereka mencetak sendiri tenaga-tenaga itu. Lulusan sekolah tinggi dan akademi perbankan belum siap memenuhi kebutuhan pasar. Menurut Thomas Suyatno, Sekjen Perbanas (Perhimpunan Bank Nasional Swasta), ketidaksiapan itu membuat bank memikirkan pendidikan intern. Semacam kursus yang lebih menekankan pada praktek. Bagaimana dengan STIE (Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi) Perbanas? Sama saja. "Para sarjana lulusan itu belum siap pakai," kata Thomas, yang juga Ketua STIE Perbanas. "Mereka baru siap tahu." Selain itu, jumlahnya tak memadai. Sebagai ilustrasi, Thomas menyebutkan, tahun lalu ada sebuah bank devisa di Jakarta yang membutuhkan 100 sarjana lulusan STIE Perbanas dengan Indeks Prestasi 2,3. "Ternyata, dari kebutuhan 100 orang itu, yang bisa diisi hanya 20 orang," katanya. Lippobank, misalnya, mulai awal bulan ini membuka kesempatan kepada mahasiswa yang memiliki IP minimal 2 (dengan surat rekomendasi dari perguruan tinggi yang bersangkutan) untuk bergabung dengan apa yang disebutnya sebagai Student Banker Program (SBP). "Tentu saja calon harus lulus seleksi," kata Laksamana Sukardi, 32 tahun, Direktur Pelaksana Lippobank. Setelah lulus seleksi, mereka diwajibkan mencari 10 nasabah Lippobank dalam bentuk apa saja: deposito, giro, ataupun tabungan. Jumlah dana yang masuk bank tidak ditentukan. Atau cara lain, yakni calon itu sendiri menyetorkan deposito Rp 10 juta. Nah, setelah itu terpenuhi, barulah mereka berhak mendapatkan kartu SBP. Mereka ini kemudian mengikuti kursus tentang produk-produk bank, foreign exchange, trade finance, asset liability, dan berbagai seluk-beluk perbankan. Peserta training ini tak cuma berada di dalam kelas, tetapi juga terjun langsung dan berurusan dengan calon nasabah. Setiap mahasiswa yang mendapatkan nasabah diberi bonus berdasarkan berbagai kriteria. Jika berhasil mengumpulkan perolehan bonus senilai Rp 10 juta, mereka berhak mengantungi sertificate of achievement. Dengan sertifikat ini, mahasiswa itu bisa menjadi karyawan Lippobank setelah menamatkan pelajarannya di perguruan tinggi asalnya. Kursus itu -- juga praktek di lapangan -- waktunya tleksibel tanpa mengganggu kuliahnya. Jadi, program SBP ini, seperti kata Laksamana, di samping untuk mencari bibit-bibit tenaga ahli perbankan, juga untuk membantu perkuliahan mahasiswa itu sendiri. Yang menarik adalah latar belakang mahasiswa itu tak harus berpendidikan ekonomi. Karena "kurikulum" yang disiapkan Lippobank sedemikian praktis. Pelajaran teori dasar bahkan berbentuk gambar -- persis komik -- dan mudah dipahami. Penyuluhan, diskusi, latihan praktek, dan kerja operasional bank dipimpin oleh staf Lippobank yang sudah profesional. Sampai pekan lalu, program pendidikan Lippobank ini masih dalam taraf perkenalan ke berbagai perguruan tinggi. Sudah dilakukan di Universitas Atmajaya, ASMI, Universitas Tarumanegara. "Tanggapan dari mahasiswa positif," kata Laksamana. Lain Lippobank, lain pula City Bank (CB). CB rajin menyurati mahasiswa-mahasiswa yang dianggapnya berprestasi, yang kini masih menempuh pendidikan di luar negeri. Tak peduli spesialisasi pendidikannya. Misalnya Sidik Badruddin, 24 tahun, mahasiswa University of Texas, AS. Suatu hari di bulan Mei lalu, mahasiswa teknik kimia ini mendapat tawaran bekerja di CB -- tentu setelah lulus. Surat serupa diterima juga mahasiswa asal India, Malaysia, Singapura, Hong Kong, Taiwan, dan Jepang. Sidik setuju. Ia lalu ditemui staf CB wilayah Asia-Pasifik yang berkantor pusat di Tokyo. "Mereka mengadakan interview mengenai minat dan kemampuan analisa saya," kata Sidik. Dan akhirnya, selama liburan musim panas, Juni hingga Agustus, Sidik pulang ke Jakarta dan dipersilakan praktek kerja di CB Jakarta. "Banyak pengalaman berharga yang saya dapat dari kerja praktek ini," katanya. Selama training ini, Sidik mendapatkan honor Rp 1 juta sebulan. Menurut seorang staf CB di Jakarta, jika orang punya kemampuan tertentu, cukup diberi pengetahuan dasar perbankan, dia akan mampu jadi bankir. Tak peduli asal pendidikannya. Yang penting adalah memberikan kesempatan berkembang dan lingkungan kerja yang nyaman. Lain lagi model "sekolah" yang diperkenalkan Bank Bali (BB). Bank ini memperkenalkan program pendidikan yang disebut Ofisial Development Program (ODP). Melalui proyek ini, BB berharap mendapat tenaga ahli perbankan sekitar 500 orang untuk keperluan 50 kantor cabang yang akan dibuka tahun depan. ODP yang baru dimulai di BB ini menggembleng 100 sarjana dari berbagai jurusan. Mereka dididik selama 9 bulan, dengan gaji Rp 500 ribu per bulan. Dan itu tidak mengikat. "Jika ada yang selesai ODP lantas tidak bekerja di Bank Bali, ya, silakan," kata D. Ramli, Dirut Bank Bali. Tak ada sanksi apa pun, walau setiap orang diperhitungkan menghabiskan Rp 10 juta selama ODP. "Untuk setiap angkatan, kalau 50% saja yang mau kerja di Bank Bali, itu sudah bagus. Kami investasi ratusan juta rupiah untuk program pendidikan itu," kata Ramli. Tak disebutkan bagaimana sistem pendidikan di ODP Bank Bali. Perbanas memang mendorong anggotanya agar bisa menciptakan pendidikan tersendiri guna memenuhi kebutuhan tenaga perbankan. Dalam keputusan yang dikeluarkan Perbanas Maret lalu, bank-bank swasta diminta supaya melaksanakan program pendidikan yang lebih konsepsional. Ini memang sebuah jalan pintas, karena lulusan sekolah tinggi perbankan, seperti kata Thomas, belum siap pakai.Agus Basri, Budiono Darsono, Moebanoe Moera, dan Sidartha Pratidina

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum