Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Berita Tempo Plus

Matinya politik

Politik telah mati di indonesia. kongres partai demokrasi indonesia diwarnai kericuhan. satu sama lain berebut kuasa. baik-buruk, kini, tak relevan lagi.

7 Agustus 1993 | 00.00 WIB

Matinya politik
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
KETIKA politik mati, ia tidak mati iseng sendiri. Banyak hal terbawa ketika proses kematian politik berlangsung, seperti yang terjadi di Indonesia kini. Memang, ketika politik mati, tak ada teriakan akhir ajal. Kematian itu merayap pelan, tak pula lengkap, dan sebab itu tak sepenuhnya disadari. Kita baru agak menyadarinya di saat seperti sekarang: ketika sebuah partai politik dalam hal ini Partai Demokrasi Indonesia berhenti menjadi sebuah partai politik. Partai Demokrasi Indonesia mengadakan kongres. Kita tak tahu persis apa yang jadi pokok pertikaian sebelum dan selama itu, selain perkara Soerjadi-jadi-ketua atau Soerjadi-tak-jadi- ketua. Tak ada penjelasan apa akibatnya bila ia terpilih atau jatuh. Di kedua kubu yang berlawanan tak terdengar ada agenda untuk mengubah atau mempertahankan sebuah keadaan publik. Publik bahkan praktis berhenti menjadi faktor. Kongres panas dan kekerasan terjadi, tapi semuanya berpusar bukan pada soal pandangan tentang apa yang baik dan yang buruk bagi masyarakat. Bahkan buruk dan baik pun tak relevan lagi. Tokoh jadi lebih penting ketimbang pokok. Partai politik telah berubah menjadi klik. Politik mati ketika klik dan percaturan pribadi menjadi begitu sentral dan publik, sebagai faktor, disisihkan. Politik cuma jadi intrik: hantam-menghantam, di suatu arena nun jauh di luar wilayah orang ramai dan tak pernah dipertanggungjawabkan ke sana. Pada mulanya, tentu, politik mati karena masyarakat berubah. Kata ''pasar'' kini telah menggantikan kata ''massa'' yang dulu dipergunakan berkibar-kibar di tahun 1960-an. Apa yang disebut sebagai ''orang kebanyakan'' telah mengalami metamorfosa: dari status sebagai sumber kekuatan politik jadi sumber kekuatan marketing. Bukan maksud saya merindukan kembali tahun 1960-an. Di masa itu setiap hal dianggap politik, dan selebihnya hanya ilusi. Totalisasi pun terjadi. Kehidupan bersama jadi ibarat butir- butir beras yang diayak di atas tampah, kadya gabah den interi, kata orang Jawa, sebuah gerak sosial yang tak pernah reda. Di sana kisah pribadi tak dianggap penting. Aku bukan lagi manusia yang kongkret, yang beragam, punya nafsu, budi, mungkin pula perbedaan hati dan tubuh yang encok. Aku hanya sebuah rol. Aku hanya sebuah elemen. Aku bukan lagi aku. Aku bukan lagi aku: sering ada sesuatu yang indah di dalam perasaan ketika aku adalah sebagian dari sesuatu yang lebih agung baik itu ''tanah air'' atau ''keyakinan'' atau ''Revolusi''. Ada yang memikat dalam passion itu, dalam gelora hati yang bersemangat itu. Tetapi bisakah hidup selamanya demikian? Kita malah ingat betapa passion semacam itu membinasakan. Para pilot kamikaze Jepang, yang menabrakkan pesawat mereka ke kapal musuh 50 tahun yang lalu atas nama Tenno Heika, memang sebuah contoh heroisme yang memukau. Tapi dunia tak menjadi lebih baik karena itu. Maka, dari sebuah sejarah yang penuh kekerasan, yang dilangsungkan atas nama Tuhan dan tanah air, sejumlah pemikir Eropa pernah berharap lahirnya sebuah alternatif. Sebagaimana dipaparkan oleh Albert Hirschman dalam The Passions and the Interests, menjelang kemenangan kapitalisme di muka bumi, argumen politik yang terdengar ialah agar dorongan gelora hati, passion, diganti dengan dorongan kepentingan, interest, dan semangat pahlawan diganti oleh elan perniagaan. Bagi para pemikir Eropa ini, perdagangan merintis jalan ke dunia yang tanpa kekerasan dan destruksi. ''Akibat yang wajar perdagangan ialah ke arah damai,'' tulis Montesquieu di abad ke-18 yang ringsek dan robek. Bahwa dengan itu hasrat mengutamakan kepentingan diri sendiri menjadi lebih terasa, tak jadi apa. Adam Smith, bapak ide-ide kapitalisme itu, yakin bahwa nanti, setelah orang mengutamakan dirinya sendiri, kesejahteraan masyarakat akan lahir. Tapi toh bahkan Adam Smith sendiri tahu bahwa perkembangan ekonomi punya kemungkinan lain: suatu ''pemerintahan yang despotik'' bisa lahir. Pada saat orang pada sibuk dengan urusan masing-masing karena terdorong oleh kepentingan untuk kaya atau dapat posisi, masyarakat pun berangsur-angsur akan lepas dari proses politik yakni proses bersama untuk mengatur hubungan- hubungan kekuasaan yang bisa membentuk corak komunitas yang ada. Banyak hal kemudian hanya diserahkan kepada sejumlah ''juru atur'', pemegang kekuasaan negara alias spesialis aman dan tertib. Apatisme masyarakat pun meruyak, kesewenang- wenangan penguasa merayap, dan ketika politik mati, ia memang tidak mati iseng sendiri. Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus