Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono
MENGAPA kita harus bicara kembali tentang Panca-sila? Ini pertanyaan fundamental yang mesti kita jawab- bersama. Kita merasakan, delapan tahun ter-akhir ini, terkadang kita kurang berani, menahan diri, untuk mengucapkan kata-kata semacam Pancasila, UUD 1945, NKRI, Bhinneka Tunggal Ika, wawasan kebangsaan, stabilitas, pembangunan, dan kemajemukan. Kita khawatir dianggap tidak reformis, tidak sejalan dengan gerak- reformasi dan demokratisasi.
Padahal reformasi itu hakikatnya adalah perubahan dan kesinambungan. Hal-hal yang masih baik, relevan, dan justru merupakan nilai, jati diri, dan konsensus dasar, harus terus kita lanjutkan. Sedangkan sesuatu yang tidak sesuai dan tidak tepat lagi dengan zamannya mesti bersama kita lakukan perubahan.
Transisi Kebangsaan
Sejak 1998, kita hidup dalam transisi, yang menimbulkan berbagai fenomena, kecenderungan, dan realitas baru. Kita rasakan, di sana-sini, dalam penggal waktu tertentu, muncul semacam disorientasi, penolakan, konflik, kegamangan, pesimisme, apatisme, demoralisasi, kekosongan, kemarahan, dan bahkan kebencian. Nilai dan tatanan lama kita tinggalkan, sementara nilai dan tatanan baru belum terwujud.
Sebagian sudah dapat kita lewati. Sebagian masih kita rasakan sisanya. Sebagian masih terasa mencekam dalam kehidupan kita dewasa ini. Orang sering berbicara lantang, kita mesti membangun Indonesia baru, remaking Indonesia, rebirth of a nation!
Transisi yang kita lakukan ini justru berada dalam lingkungan global yang juga terus berubah. Dunia menghadirkan gerak globalisasi dan universalisasi yang luar biasa dampaknya bagi semua bangsa di dunia, termasuk negara kita.
Terjadi gelombang de-ordebaru-isasi atas nama reformasi-. Tak terhindari dibuka kembali wacana ideologis prakemer-dekaan: debat tentang ideologi dan bangun negara. Feno-mena lain, runtuhnya tatanan politik otoritarian menjadi tatanan yang demokratis-egalitarian. Yang sentralistik kita bongkar menjadi desentralistik. Yang konsentrik kita geser menjadi dekonsentrik.
Begitu besar gerak perubahan itu. Tidak disadari, baik atau tidak baik, langsung atau tidak langsung, kekuasaan Pusat melemah. Kekuasaan Negara ikut pula melemah. Terjadi ketidakseimbangan, yang akhirnya memunculkan kondisi sosial dan politik yang labil, rawan, dan tidak stabil.
Sementara dalam upaya menata, mengawal dan meng-amankan proses penting ini, upaya Negara dan Pemerintah tidak mudah dilakukan dan sering disalahartikan. Sebagai contoh, menegakkan tatanan dan aturan main, termasuk rule of law, dianggap kembali ke rezim otoritarian. Meng-ingatkan konsensus dasar yang telah kita sepakati, Panca-sila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika, bisa di-anggap berlawanan dengan hak politik dan sema-ngat kebebasan yang kita usung bersama. Kepolisian negara me-negakkan aturan hukum agar masyarakat tidak main hakim sendiri, termasuk unjuk rasa yang merusak dan anarkis-, bisa di-anggap represif dan melanggar hak asasi manusia. Menata- kembali implementasi desentralisasi dan otonomi daerah, dalam rangka memantapkan sistem pemerintahan, bisa dianggap kembali kepada sentralisme kekuasaan.
Pengkritisan, penggugatan, pembongkaran, yang sejalan- dengan reformasi dan demokratisasi, memang menjadi agenda kita. Tetapi, ketika tak berkaitan dengan itu, kita perlu melakukan refleksi kritis dan penataan kembali, untuk mengamankan kerangka kehidupan bernegara yang baik. Hiruk-pikuk dan kegaduhan politik selama ini, kalau kita jujur, berakar dan berangkat dari hal-hal yang bersifat fundamental itu.
Karena itu, marilah kita semua, para penyelenggara negara, segenap komponen bangsa, melihat permasalahan ini secara jernih, meletakkannya dalam konteks yang benar, dan menatanya kembali dalam kerangka kehidupan negara yang sehat. Negara dan bangsa ini adalah negara dan bangsa kita sendiri. Kita semua yang mengkonstruksikan masa depan kita bersama, dengan dialog dan pembangunan konsensus.
Tentu saja apa yang kita tata dan bangun kembali ini tetap bertumpu dan merujuk serta mengacu pada nilai, jati diri, dan konsensus dasar kebangsaan, yaitu Pancasila, yang di-letakkan oleh para pendiri Republik. Pancasila adalah falsafah, dasar negara dan ideologi terbuka, dan bukan dogma yang statis dan menakutkan. Pancasila kita letakkan sebagai sumber pencerahan, menjadi sumber inspirasi, dan sekaligus sumber solusi atas masalah-masalah yang hendak kita pecahkan.
Jangan dilupakan, pada 1998, pada awal reformasi, Majelis Permusyawaratan Rakyat Indonesia telah mengeluarkan Tap MPR RI Nomor 18/MPR/1998 yang mencabut Tap MPR Nomor 2/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila. Secara eksplisit ditetapkan pula, Pancasila sebagai dasar negara. Dengan demikian, marilah kita sudahi perdebatan anak bangsa tentang Pancasila se-bagai dasar negara.
Refleksi Pancasila
Saya mengikuti jalan pikiran Bung Karno pada 1 Juni 1945. Dikatakan, kita mendirikan satu negara kebangsaan Indonesia, negara nasional, nation state. Suatu kebangsaan Indonesia yang bulat, bukan kebangsaan Jawa, bukan kebangsaan Sumatera, bukan kebangsaan Kalimantan, bukan kebangsaan Sulawesi, dan lain-lain.
Dalam alam reformasi ini, untuk kepentingan yang benar, kita melakukan desentralisasi dan otonomi daerah. Tapi pahami betul, proses yang penting itu tidak boleh menggoyahkan sendi-sendi NKRI, sendi-sendi kebangsaan, karena bisa mengoyakkan kerangka bernegara kita.
Nasionalisme kita bukan Chauvinisme dan bukan kebangsaan yang menyendiri. Kata Bung Karno, ”Internasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak berpijak dalam buminya nasionalisme, tidak berakar dalam dunia nasionalisme. Sebaliknya, nasionalisme tidak akan hidup subur jika tidak berada dalam taman sarinya internasionalisme.”
Ada pertanyaan kritis, bagaimana hubungan antara ikat-anikatan global dan ikatan yang serba nasional. Ada ikatan ke-Islam-an dunia, ada ikatan ke-Kristen-an dunia, ikatan ke-Tionghoa-an Indonesia, tetapi tetap ada ikatan kebangsaan Indonesia. Dalam perkembangan hak asasi manusia dan demokrasi global, ada ikatan komponen bangsa kita dengan komunitas internasional, tetapi tetaplah ada ikatan kebangsaan Indonesia.
Kita bertanya, tidakkah absurd, tidakkah ketinggalan, kalau kita bicara tentang nasionalisme dalam dunia yang berubah ini? Tidak! Nasionalisme yang positif, bukan narrow nationalism, tetap perlu. Andaikan masyarakat global ini sebuah perkampungan dunia, tetap kita memerlukan rumah, rumah kita sendiri. Rumah itulah nasionalisme kita.
Tentang mufakat atau demokrasi dengan kesejahteraan sosial: mari kita ingat kembali, semboyan kita: semua untuk- satu, satu untuk semua, artinya, ”semua untuk semua”. Karena itu, kapitalisme, terlebih fundamentalisme kapitalis-me yang tidak berwajah dan bernapaskan keadilan sosial, tidak akan menghadirkan keadilan yang sejati. Itu bukan pilihan bagi bangsa kita.
Kita bercita-cita tidak ada kemiskinan dalam Indonesia merdeka. Karena itu, kalau kita ingin mengaktualisasikan, merevitalisasikan nilai nasionalisme, ada definisi yang mudah: nasionalisme masa kini adalah membebaskan Indonesia dari kemiskinan dan keterbelakangan. Demokrasi harus bergandengan dan mesti hidup bersama dengan peningkat-an kesejahteraan rakyat dan peningkatan keadilan sosial.
Yang sangat penting adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam Indonesia yang berketuhanan, agama dijalankan dengan cara yang berkeadaban. Hubungan antarumat ber-agama, kegiatan beribadahnya, toleransinya, mesti kita kembalikan pada prinsip dasar itu.
Tantangan untuk Pancasila
Pancasila sering dilihat sebagai berhadapan dengan ”ideo-logi global”, seperti kapitalisme dan liberalisme. Pancasila sangat jelas, yang kita bangun adalah kesejahteraan bersama dan keadilan sosial. Tetapi kita hidup dalam globalisasi yang sarat dengan hukum dan kaidah kapitalisme, pasar bebas dan terbuka. Kita harus tetap kukuh dan kuat pada pendirian, bahwa semuanya itu tetap kita abdikan untuk kesejahteraan bersama, untuk keadilan sosial.
Bangsa yang cerdas dalam era globalisasi, bukan bangsa yang terus mengeluh, menyerah, dan marah, tetapi bangsa- yang mampu mengalirkan sumber-sumber kesejahtera-an yang tersedia di arena global itu. Teknologi, modal, atau infor-masi, semua kita gunakan dengan baik guna mening-katkan kesejahteraan dan kepentingan kita. Jangan mau jadi orang yang kalah. Mari kita menjadi pemenang dalam globalisasi ini.
Mengenai liberalisme, tidak ada kebebasan mutlak menurut- paham Pancasila. Itu ada dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia PBB, dalam UUD 1945, dalam sila ”Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”. Kebebasan dibatasi apabila bertentangan dengan kebebasan yang lain, nilai-nilai moral, kesusilaan, keamanan, ketertiban, dan lain-lain. Begitu bunyi UUD 1945 pasal 28 J. Agar kehidupan kita ini sehat, damai, rukun, maka dalam mengekspresikan kebebasan, sandingkanlah dengan kepatuhan pada toleransi dan aturan hukum.
Mari kita bangun dialog, mari kita bangun konsensus bersama, semua untuk semua. Tidak ada yang boleh memono-poli kebenaran. Konsensus bersama itu tetaplah dijiwai oleh semangat dan kesepakatan para pendiri Republik, ketika dulu mendirikan negara.
Kita tidak tahu kapan akhir dari reformasi besar ini. Adakah sepuluh tahun lagi usai? Apakah ini unfinished agenda? Yang penting, kita kelola dengan sebaik-baiknya. Dalam masa transisi ada kerawanan, ada tantangan, ada ancaman. Karena itu, mari kita semua, utamanya Negara, mengawal dan menciptakan kondisi yang kondusif untuk upaya besar itu. Negara dengan kewenangannya harus kembali menegakkan konstitusi, undang-undang, dan aturan main yang berlaku.
Proses besar reformasi, demokratisasi, dan rekonstruksi- tetap harus berjalan secara damai, tanpa kekerasan, secara tertib dan stabil. Hanya dengan demikianlah, kita akan mampu menata kembali kerangka kehidupan bernegara kita yang kita cita-citakan bersama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo