Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Miko Ginting
Pengajar Hukum Pidana Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kekerasan seksual kini jamak terjadi dan terus meningkat secara kuantitas. Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan mencatat 348.446 kasus kekerasan terhadap perempuan pada 2017. Angka ini melonjak drastis dari tahun sebelumnya sebanyak 259.150 kasus. Kasus yang paling menonjol adalah kekerasan dalam rumah tangga sebanyak 9.609 kasus (71 persen). Yang mencengangkan, 31 persen dari kasus itu adalah kekerasan seksual secara inses. Dari sisi pelaku, yang paling banyak adalah pacar, ayah kandung, ayah tiri, hingga suami.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Situasi itu tetap berlanjut hingga 2018. Kekerasan fisik menempati angka tertinggi sebanyak 3.982 kasus atau 41 persen, diikuti kekerasan seksual 31 persen, kekerasan psikis 15 persen, dan kekerasan ekonomi 13 persen. Kasus kekerasan seksual dengan hubungan keluarga masih menjadi kasus yang paling banyak dilaporkan, yaitu 1.210 kasus. Angka itu diikuti dengan perkosaan 619 kasus dan persetubuhan/eksploitasi seksual 555 kasus.
Data itu baru mencuplik kasus yang dilaporkan, diakui, atau terungkap, belum termasuk kasus-kasus yang dipendam sendiri oleh penyintas. Angka itu termasuk dark number, yang bila dibongkar akan makin menguatkan bahwa angka kekerasan seksual sangat tinggi di Indonesia. Sekali lagi, data di atas bukan sekadar angka, melainkan manusia yang-karena kekerasan seksual-menjadi korban berkali-kali.
Laju angka kekerasan seksual yang begitu tinggi ini menandakan ekosistem untuk mencegah dan merespons kasus kekerasan seksual tidak bekerja secara optimal. Salah satunya karena ketidaklengkapan regulasi.
Saat ini, kekerasan seksual diatur secara terpencar dalam beberapa undang-undang, yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Perlindungan Anak, Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, Undang-Undang Pemberantasan dan Pencegahan Tindak Pidana Perdagangan Orang, serta Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban. Selain itu, terdapat Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan yang Berhadapan dengan Hukum.
Pengaturan yang beragam itu memunculkan mekanisme yang beragam pula dan akhirnya berujung pada kesulitan dalam pengungkapan kasus. Salah satu contohnya adalah pengungkapan yang dilakukan melalui orang lain. Dari berbagai ragam regulasi itu, hanya Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga yang memungkinkan pengungkapan melalui kuasa (orang lain). Contoh lain, jaminan untuk tidak ditanya dengan pertanyaan menjerat hanya diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban.
Selain itu, ragam kekerasan seksual cukup ba-nyak dan tidak sebatas penetrasi penis ke vagina, sebagaimana yang sering diartikan. Karena itu, pengaturan dan pemberian ancaman sanksi terhadap berbagai ragam kekerasan seksual itu penting untuk segera dilakukan.
Maka, pengaturan kembali respons kekerasan seksual melalui Rancangan Undang-Undang Penghapusan Ke-kerasan Seksual adalah hal urgen. Ini untuk mendorong pengungkapan kasus kekerasan seksual sekaligus menguatkan hak penyintas untuk memperoleh keadilan. Perdebatan mengenai formula perumusan delik memang penting, tapi tidak boleh mengesampingkan tujuan untuk mendorong bekerjanya ekosistem pencegahan dan respons terhadap kekerasan seksual.
Pencegahan dan respons itu sama dengan menguatkan hak penyintas. Karena itu, perlu ada jaminan untuk mengungkap kejadian tanpa menimbulkan trauma baru dan penghukuman sosial terhadap penyintas, pemulihan, pemberian balasan yang setimpal kepada pelaku, kompensasi dan restitusi, hingga kekerasan seksual tidak berulang.
Jadi rancangan itu secara materiil harus menjamin sebanyak mungkin ragam kekerasan seksual diancam dengan sanksi dan penjeraan terhadap pelaku. Ia juga harus menjamin kemudahan pengungkapan dan pemberian hak prosedural kepada penyintas. Terlepas dari perdebatan materi di dalamnya, rancangan ini adalah momentum baru untuk membuat ekosistem anti-kekerasan seksual bekerja secara optimal.