Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anton Kurnia
Anggota Komite Buku Nasional
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tanggal 30 September diperingati sebagai Hari Penerjemahan Internasional. Tanggal ini diambil berdasarkan tanggal wafatnya Santo Jerome alias Eusebius Hieronymus (347-420), penerjemah Injil ke bahasa Latin yang hidup 16 abad silam dan dianggap sebagai "pelindung" para penerjemah. Peringatan Hari Penerjemahan Internasional ini mulai dilakukan sejak 1991, yang dipelopori oleh Federasi Penerjemah Internasional (FIT).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penerjemahan sesungguhnya tak sekadar alih bahasa suatu teks, tapi juga pengalihmaknaan wacana dari satu sistem budaya ke sistem budaya lain. Maka, kerja penerjemahan pada hakikatnya adalah satu bentuk diplomasi budaya sekaligus upaya membangun jembatan antarbudaya. Dengan demikian, kerja penerjemahan tak hanya penting dan perlu, tapi juga amat strategis.
Sosiolog terkemuka Cina, Fei Xiaotong (1910-2005), pernah menulis, "Ketika setiap orang menghargai keindahannya sendiri seraya menghargai keindahan orang lain, harmoni akan dapat dicapai di kolong langit." Untuk menghargai keindahan orang lain itu, kita butuh kesediaan mengenali budaya mereka, menghormati perbedaan, serta memaknai persamaan. Salah satunya bisa dilakukan melalui penerjemahan buku dari satu bahasa ke bahasa lain.
Dalam Indonesia International Book Fair di Balai Sidang Jakarta, September lalu, digelar acara bincang santai "Mendobrak Sekat Bahasa, Menembus Pentas Dunia" di stan Komite Buku Nasional. Acara ini menghadirkan beberapa pembicara, antara lain John H. McGlynn, Eka Kurniawan, dan Kartini Nurdin.
Dalam diskusi itu, mengemuka pentingnya penerjemahan buku-buku karya pengarang Indonesia ke dalam bahasa asing. Sebagai penulis yang karyanya telah diterjemahkan ke lebih dari 30 bahasa, Eka, yang baru saja diumumkan meraih Prince Claus Award dari Kerajaan Belanda, mengatakan penerjemahan karya ke bahasa asing amat diperlukan agar karya seorang penulis bisa dibaca lebih luas. Selain itu, diperlukan lembaga yang menyokong dana penerjemahan, seperti yang dilakukan oleh Komite Buku Nasional melalui program LitRI yang telah berjalan selama tiga tahun dan berhasil mendanai penerjemahan lebih dari 100 buku karya penulis Indonesia ke berbagai bahasa asing.
Saat ini, upaya penerjemahan buku-buku Indonesia di pentas dunia menemukan momen yang tepat dengan penunjukan Indonesia sebagai Negara Fokus Pasar di London Book Fair pada Maret 2019. London Book Fair adalah pekan buku antarbangsa terbesar di dunia setelah Frankfurt Book Fair, tempat Indonesia menjadi Tamu Kehormatan pada 2015.
Seperti dinyatakan John H. McGlynn, penerjemah senior sastra Indonesia ke bahasa Inggris, setelah tampil sebagai Tamu Kehormatan di Frankfurt, mata dunia terbuka terhadap buku-buku karya para penulis Indonesia, termasuk karya sastra. Dalam pameran buku tertua dan terbesar di dunia itu, Indonesia unjuk gigi memperkenalkan kekayaan intelektual dan merebut perhatian internasional. Kita membuka mata dunia bahwa Indonesia juga memiliki buku-buku yang bermutu dan layak disejajarkan dengan karya terbaik lainnya dari berbagai belahan dunia.
Bahkan, menurut data mutakhir Komite Buku Nasional, selama lima tahun terakhir, kita telah berhasil menjual setidaknya 1.100 hak terjemahan buku karya penulis Indonesia dari berbagai genre (fiksi, nonfiksi, buku anak, dan komik) ke berbagai negara dan diterjemahkan ke beragam bahasa. Yang lebih menggembirakan, grafiknya makin meningkat dari tahun ke tahun.
Sementara itu, jika dihitung dengan buku-buku yang diminati dan sedang dipertimbangkan pembelian hak terjemahannya oleh berbagai penerbit asing, dicapai angka 3.200 judul. Itu jelas satu kemajuan yang luar biasa. Apalagi jika diingat bahwa tujuh tahun silam, misalnya, kita bisa dibilang hanya menjadi konsumen di dunia perbukuan antarbangsa.
Dengan prestasi demikian, amat wajar jika Indonesia menarik perhatian dunia. Kehadiran Indonesia sebagai Fokus Pasar di London Book Fair tahun depan tentu akan menjadi angin segar bagi dunia perbukuan dan literasi kita. Diharapkan akan lebih banyak lagi buku karya penulis Indonesia yang dapat diterjemahkan ke berbagai bahasa asing, diterbitkan oleh penerbit di seantero dunia, serta dibaca dan dimaknai oleh lebih banyak orang.