Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Selamatkan Anggaran Negara, Segera

Saling silang pernyataan antar-menteri mengenai kenaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi membingungkan masyarakat. Presiden mesti segera membuat keputusan.

 

23 Agustus 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Beda Suara Kenaikan BBM

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Rencana kenaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi tak kunjung dieksekusi.

  • Saling silang omongan para menteri.

BEDA-beda omongan antar-menteri tentang rencana kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi menunjukkan ketidaksolidan di antara pembantu Presiden Joko Widodo. Selain membingungkan, pernyataan yang tidak satu suara itu meresahkan dan bisa memicu aksi spekulasi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sejak Menteri Investasi Bahlil Lahadalia melempar sinyal agar masyarakat bersiap menghadapi kenaikan harga BBM sewaktu-waktu pada 12 Agustus lalu, antrean di sejumlah stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) bertambah panjang. Terlebih setelah Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan --orang dekat Presiden—menyatakan pemerintah tidak mungkin mempertahankan harga bahan bakar murah, kepanikan pun meningkat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tiba-tiba Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto membuat pernyataan berbeda, pada pengujung pekan lalu, bahwa rencana kenaikan harga belum diputuskan. Ia bahkan memberi bocoran bahwa harga BBM tidak akan naik pada kuartal ketiga ini. Bukannya mengendurkan ketegangan, saling silang pernyataan tersebut malah membikin masyarakat semakin tidak tenang.

Tahun ini kuota BMM bersubsidi ditetapkan sebesar 23 juta kiloliter Pertalite dan 14,9 juta kiloliter solar. Per Juli 2022, kuota Pertalite hanya tersisa 6,2 juta kl dan solar bersubsidi tersisa 5,01 juta kl. Diperkirakan kuota tersebut akan habis pada September hingga pertengahan Oktober mendatang. Pemerintah harus segera memutuskan langkah yang tepat.

Jika Presiden Jokowi berkeras mempertahankan BBM murah, pemerintah mesti menaikkan alokasi subsidi energi yang saat ini sudah super-tinggi, mencapai Rp 502 triliun. Belum lagi faktor fluktuasi nilai tukar rupiah. Kebijakan tersebut jelas akan sangat memberatkan keuangan negara, di tengah kondisi perekonomian dunia yang tidak begitu bagus saat ini.

Pilihan lain, pemerintah bisa membatasi penjualan Pertalite dan solar seperti saran Menteri Keuangan Sri Mulyani. Langkah tersebut bisa menolong, tapi rentan menimbulkan keributan ketika ada yang mendapat pasokan BBM dan ada yang tidak. Di sisi lain, membatasi pemakaian BBM pada saat aktivitas masyarakat mulai pulih pasca-pandemi berisiko memukul perekonomian yang mulai bergeliat kembali.

Karena itu, pilihan yang paling masuk akal adalah menaikkan harga BBM. Opsi ini sebenarnya sudah diusulkan banyak pihak, termasuk kalangan internal kabinet, sejak beberapa bulan lalu, tapi tak kunjung dieksekusi. Bahkan Dana Moneter Internasional (IMF) bolak-balik menyarankan kenaikan harga. Memang ada risiko peningkatan inflasi akibat kenaikan harga bahan bakar. Tapi, sisi baiknya, penyesuaian harga akan menolong keuangan negara sekaligus menjamin ketersediaan BBM bagi masyarakat.

Data terakhir memperlihatkan subsidi BBM justru lebih banyak mengalir ke rumah tangga kelas menengah dan atas. Kelompok ini menggunakan 42 sampai 73 persen bensin bersubsidi dan sekitar 29 persen elpiji bersubsidi. Bila subsidi dihilangkan, pemerintah bisa menggunakan sebagian anggaran yang berhasil dihemat untuk secara langsung membantu masyarakat yang rentan terkena dampak inflasi karena kenaikan harga bensin.

Presiden Jokowi seyogianya secepatnya membuat keputusan. Semakin lama menunda, akan semakin banyak anggaran negara tersedot untuk subsidi BBM, dan hal tersebut jelas tidak baik bagi keuangan negara saat ini.

*

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Retno Sulistyowati

Retno Sulistyowati

Alumnus Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur. Bergabung dengan Tempo pada 2001 dengan meliput topik ekonomi, khususnya energi. Menjuarai pelbagai lomba penulisan artikel. Liputannya yang berdampak pada perubahan skema impor daging adalah investigasi "daging berjanggut" di Kementerian Pertanian.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus