Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sekali disetujui, penggunaan anggaran negara untuk proyek kereta cepat Jakarta-Bandung bakal sulit dikendalikan.
Perubahan kebijakan ini menabrak komitmen awal Presiden Joko Widodo sendiri soal kemandirian pendanaan proyek tersebut.
Anggaran negara seharusnya tidak dipakai untuk mendanai proyek komersial yang perencanaannya tak akurat dari awal.
KEPUTUSAN pemerintah menggelontorkan anggaran negara untuk mendanai proyek kereta cepat Jakarta-Bandung sungguh penuh risiko. Selain melanggar komitmen awal Presiden Joko Widodo sendiri, jika tak dikelola dengan saksama, kucuran dana itu bisa berujung pada kerugian negara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketika diresmikan Presiden Joko Widodo pada Januari 2016, proyek pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung diperkirakan memakan biaya US$ 6,07 miliar atau sekitar Rp 87,6 triliun. Proyek diperkirakan selesai dan bisa digunakan publik pada 2019. Kini, selain waktu penyelesaian proyek yang molor, biayanya melar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Walhasil, Kementerian Badan Usaha Milik Negara tak punya pilihan selain merombak pelaksana proyek. Di bawah PT Kereta Api Indonesia (Persero)—pemimpin baru konsorsium PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia yang menguasai 60 persen saham PT Kereta Cepat Indonesia Cina atau KCIC—biaya proyek diperkirakan mencapai US$ 8 miliar. Itu sudah mencakup perubahan trase kereta dan desain sejumlah stasiun.
Karut-marut proyek ini memang dimulai sedari awal. Setoran modal dari Pilar Energi—konsorsium PT KAI, PT Wijaya Karya (Persero) Tbk, PT Jasa Marga (Persero) Tbk, dan PT Perkebunan Nusantara VII (Persero) atau PTPN VIII—tak kunjung dibayar karena buruknya perencanaan. Pemerintah semula berencana menyetor modal dalam bentuk lahan di sepanjang jalur kereta cepat. Rencana tak realistis ini ditolak Beijing Yawan, konsorsium beberapa perusahaan pelat merah Cina di PT KCIC, yang berkeras setoran modal harus berupa dana segar.
Kalaupun kini permintaan modal awal sudah bisa dipenuhi dengan kucuran Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, bukan berarti masalah kelar. Pembengkakan biaya proyek harus tetap ditutup para pemegang saham. Di sini ada potensi masalah baru. Kinerja keuangan keempat anggota konsorsium Pilar Energi belum begitu moncer.
Pada semester pertama tahun ini, PTPN VIII memang mencatat laba bersih Rp 1,45 triliun. Tapi itu terjadi setelah restrukturisasi utang Rp 41 triliun. Laba Jasa Marga yang naik drastis pada periode yang sama menjadi Rp 855,63 miliar juga lebih didorong oleh pelepasan investasi sebesar Rp 788,74 miliar. Artinya, kewajiban menyokong kesuksesan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung bisa menjadi beban keuangan tambahan untuk semua BUMN itu.
Semua masalah ini seharusnya tak terjadi jika sedari awal pemerintah serius mengkaji kesiapan BUMN yang terlibat. Akurasi data perencanaan dan asumsi pembiayaan dalam dokumen proyek pun seperti tak dihitung dengan cermat. Banyak suara kritis yang mempertanyakan kelaikan proyek sejak awal tak didengarkan. Tuntutan Dewan Perwakilan Rakyat yang meminta proyek ini diaudit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan sebelum anggaran dicairkan sudah tepat.
Apalagi estimasi keuntungan dari proyek ini belum terlalu jelas. Pemerintah mengambil risiko besar dengan menyetujui pelaksanaan proyek kereta cepat ketika kajian prospek bisnisnya masih berkabut. Kini KCIC harus berjibaku merombak sejumlah desain agar stasiun kereta cepat terkoneksi dengan kawasan yang berpotensi menjadi pengguna layanan mereka. Jangan sampai pemerintah dipaksa menggelontorkan subsidi untuk tiket kereta cepat jika kelak jumlah penumpang tak mencapai target dan biaya operasionalnya defisit.
Kini nasi sudah menjadi bubur. Proyek sudah berjalan 80 persen dan November 2022 diperkirakan rampung. Ada kabar Presiden Jokowi berencana mengundang Presiden Cina Xi Jinping untuk menggunakan kereta cepat itu seusai Konferensi Tingkat Tinggi G20 di Bali tahun depan. Publik hanya bisa harap-harap cemas jika pertaruhan besar proyek kereta cepat ini berakhir runyam.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo