Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perundingan putaran kelima antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan pemerintah Indonesia di Helsinki, Finlandia, pekan lalu memunculkan optimisme sekaligus kecemasan.
Optimistis karena inilah untuk pertama kalinya, setelah hampir 30 tahun mengangkat senjata, GAM mengakui Aceh sebagai bagian sah dari Republik Indonesia. Cemas karena reaksi Jakarta cenderung berlebihan terhadap permintaan GAM agar diizinkan mendirikan partai lokalsebagai sarana gerakan itu untuk menjalankan partisipasi politiknya di Tanah Jeumpa.
Reaksi keras datang dari parlemen. Ketua DPR Agung Laksono meminta pemerintah berhati-hati karena permintaan itu bisa menjelma menjadi ide negara dalam negara. Fraksi PDIP menolak karena menurut mereka partai lokal bertentangan dengan prinsip negara kesatuan. Ada pula kekhawatiran, partai lokal nanti akan dimanfaatkan GAM untuk menuntut pemisahan Aceh dari Indonesia.
Sekarang, mari kita berandai-andai. Katakanlah GAM mendirikan partai di Aceh setelah opsi partai lokal disetujui pemerintah. GAM akan bertarung dalam pemilu 2009 melawan partai lain berskala nasional yang telah punya infrastruktur dan pengikut di sana.
Mereka mungkin akan mendapat kursi di DPRDsedikit atau banyak. Tapi pelbagai aspirasi GAM akan dibahas, dibedah, didebat, sehingga tak pernah ada "aspirasi murni GAM" yang bisa sepenuhnya jadi kebijakan. Itulah hakikat demokrasi: kompromi, tawar-menawar, tarik-ulur.
Jikapun GAM menjadi pengumpul kursi terbanyak di DPRD, ia toh tak bisa begitu saja mengusulkan pemisahan Aceh dari Indonesia. Aturan dalam UU Pemilu, UU Partai Politik, dan UU Otonomi Khusus Nanggroe Aceh Darussalam menutup kemungkinan diceraikannya Aceh dari Indonesia.
Juga harap diingat, partai lokal tidak hanya untuk GAM tapi juga elemen masyarakat Aceh lainnya. Sederhananya, jika politisi Aceh atau Jakarta menganggap GAM akan macam-macam dengan partainya, buatlah partai lokal lain yang akan mengganjal GAM di parlemen. Konflik dengan demikian disalurkan di meja legislatif dan darah berhenti tumpah di Aceh.
Kendala bagi disepakatinya opsi partai lokal saat ini adalah UU Partai Politik. Undang-undang itu mensyaratkan partai harus punya cabang di minimal 50 persen provinsi dan kabupaten dan 25 persen kecamatan yang ada di Indonesia. Tak bisa lain, peraturan itu harus diamendemen.
Amendemen pasal itu tak hanya bermanfaat bagi diakhirinya konflik Aceh, tapi juga diserapnya aspirasi daerah dalam politik di daerah mereka sendiri. Masyarakat adat, misalnya, tak perlu mengemis-emis pada partai berskala nasional untuk memperjuangkan aspirasi mereka.
Partai lokal sebetulnya sudah dipraktekkan dalam Pemilu 1955. Beberapa partai kedaerahan antara lain Partai Persatuan Daya (Kalimantan Barat), Gerinda (Yogyakarta), Partai Rakyat Desa (Jawa Barat), dan Persatuan Indonesia Raya Nusa Tenggara Barat (NTB). Partai Persatuan Daya bahkan mendapat suara signifikan di Kalimantan Barathanya sedikit di bawah Masyumi sebagai pemenang pemilu di daerah itu. Tak ada tuntutan merdeka setelah itu. Pemilu 1955 bahkan dipuji sebagai salah satu pemilu demokratis dalam sejarah Indonesia.
Tak ada yang harus dikhawatirkan dari partai lokal. Di Aceh, juga provinsi lain di republik ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo