Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Ada Tommy di Tenabang

18 Juli 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jika bank diibaratkan sebagai jantung sistem ekonomi, pasar adalah jaringan pembuluh darahnya. Bila pasar sehat, uang akan beredar ke seluruh lini ekonomi secara lancar, memfasilitasi semua pertukaran barang dan jasa yang dibutuhkan, dan membuat setiap pelaku pasar tumbuh dan berkembang.

Sebaliknya, bila pasar bermasalah, misalnya ada yang tak berfungsi, akan ada bagian tubuh yang terisolasi dari kegiatan ekonomi, sehingga tidak tumbuh seperti bagian yang lain. Bahkan, jika unit pasar yang besar dan vital yang terkendala, dampaknya akan fatal. Barangkali dapat ditamsilkan seperti terkena stroke bila aliran darah ke otak terhambat, atau serangan jantung bila ada pembuluh besar yang tersumbat.

Dalam analogi ini, Pasar Tanah Abang adalah pasar yang besar kendati mungkin tidak amat vital. Pasar tradisional yang dikabarkan terbesar di Asia Tenggara itu kini bermasalah. Pemerintah DKI Jakarta sedang merenovasi pusat bisnis yang satu bloknya sempat terbakar ini, tapi sebagian pedagang membangkang. Mereka bukan menolak upaya renovasi, tapi curiga bahwa proyek pembenahan itu hanya dalih untuk mengusir sejumlah pedagang lama dan memasukkan yang baru. Tentu dengan bumbu tudingan oknum pejabat yang terlibat dalam kegiatan ini akan meraup keuntungan pribadi.

Kecurigaan itu muncul karena pengalaman. Terutama di lokasi Blok A, yang terbakar dua tahun silam dan kini telah selesai direnovasi. Para pedagang lama yang ingin kembali berbisnis di tempat asal menjumpai kenyataan harus membayar harga kios yang selangit dan terletak di lantai empat ke atas alias dianggap tak strategis untuk berjualan. Jika ingin pindah ke lantai bawah, harus membayar jauh lebih mahal. Pengelola pasar juga memberikan batas waktu bagi mereka. Jika tenggat terlewatkan tanpa pembayaran, kios akan dijual ke pedagang baru dengan harga yang lebih tinggi, karena diskon yang diberikan untuk pedagang lama tak lagi berlaku. Kebijakan ini, menurut pengakuan sebagian pedagang lama, sama saja dengan pengusiran tak langsung bagi mereka.

Benar-tidaknya pengakuan ini masih perlu diteliti. Namun terdapat beberapa indikasi kuat yang menunjukkan tudingan itu perlu dipertimbangkan dengan serius. Antara lain kehadiran calon investor baru yang menjanjikan para pedagang lama akan mendapatkan lokasi awal dengan harga jauh di bawah yang sekarang ditawarkan pengelola pasar, PD Pasar Jaya. Investor itu Hutomo Mandala Putra alias Tommy, putra bungsu mantan presiden Soeharto, yang kini mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Nusakambangan.

Tommy Soeharto terlibat dalam persoalan Tanah Abang karena diajak oleh sekumpulan pedagang lama yang sudah setengah frustrasi karena terancam tergusur. Upaya mereka selama ini, untuk mendapatkan lokasi lama dengan harga yang dianggap wajar, dirasakan bagai membentur tembok tebal kekuasaan. Mereka merasa melawan oknum penguasa yang berkolusi dengan kekuatan hitam, oleh karena itu membutuhkan dukungan investor yang berani melawan kekuatan itu. Tommy Soeharto rupanya dianggap memenuhi persyaratan ini.

Ini keadaan rawan. Bila dibiarkan hingga konflik fisik meletup, apalagi sampai melibatkan pihak yang berbeda etnis dan agama, dampaknya dapat melebar ke seluruh penjuru Tanah Air. Itu sebabnya pemerintah pusat harus segera turun tangan. Proyek renovasi Pasar Tanah Abang sebaiknya segera diambil alih pemerintah pusat dan dijalankan dengan cara yang transparan. Para pedagang lama harus mendapatkan jaminan yang kredibel bahwa mereka akan mendapatkan kios setara di lokasi lama dengan harga terjangkau. Sisanya, yang diperuntukkan bagi pedagang baru, silakan dijual dengan harga komersial. Bila proses renovasi telah selesai dan diterima dengan baik, pengelolaan pasar dapat dikembalikan lagi ke Pemerintah DKI Jakarta.

Intervensi pemerintah pusat perlu dilakukan untuk menjamin tak ada "pengusiran" pedagang lama melalui kolusi kekuasaan dan kekuatan hitam. Juga agar pasar berfungsi sesuai dengan kodratnya: menjadi lokasi transaksi jual-beli yang menyenangkan kedua pihak.

Adalah tugas pemerintah untuk selalu mengupayakan tegaknya keadilan di masyarakat, termasuk di pasar (yang diyakini para ekonom tak ada yang sempurna). Kini Pasar Tanah Abang memerlukan peran pemerintah pusat. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono harus segera mengambil tindakan agar konflik ini tak menjadi awal kebinasaan kita semua.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus