KAPAN sebuah ekspansi moneter harus direm? Harus~kah dia direm dengan mendadak atau dengan pelan? ~Kapan harus dilonggarkan lagi? Ini adalah pertanyaan yang harus dihadapi para penguasa moneter di mana saja. Dalam permainan ini tak ada aturan yang pasti yang bisa dipakai oleh gubernur bank sentral. Putusan yang diambil lebih banyak didasarkan penilaian yang subyektif. Karena itu, gubernur bank sentral yang duduk dalam kursi kemudi dalam pengendalian moneter sering meleset. Pengetatan moneter sering dilakukan dengan cara terlalu drastis dan pada saat yang kurang tepat. Tak heran kalau gubernur bank sentral di negara industri sering menjadi sasaran kritik bila ekonomi mengalami resesi yang cukup parah. Pengalaman menunjukkan bahwa ekonomi bisa tumbuh dengan panas, atau mengalami resesi berkepanjangan, karena tindakan kurang tepat yang diambil bank sentral. Gubernur bank sentral (sekurangnya di negara industri) merupakan salah satu orang yang ikut bertanggung jawab terhadap siklus boom and bust ekonomi negaranya. Apa pun yang harus dilakukan, penguasa moneter harus mengetahui sejauh mana pertumbuhan ekonomi sudah cukup panas. Di sini, angka inflasi merupakan data penting. Namun, sejauh manakah angka inflasi resmi benar-benar mencerminkan keadaan sebenarnya? Angka inflasi yang digunakan bisa menimbulkan masalah kalau angka indeks ini tidak mencermin~kan bobot konsumsi masyarakat sebenarnya. Angka inflasi resmi di Indonesia didasarkan atas Indeks Harga Konsumen (IHK) yang mencatat kenaikan harga rata-rata beberapa komoditi dari 17 kota besar di seluruh Indonesia. Cara perhitungan ini sudah digunakan sejak 1979. Padahal, setelah 10 tahun lebih, kemungkinan besar pola konsumsi masyarakat sudah berubah. Bobot konsumsi untuk barang-barang seperti beras, ikan asin, garam, dan sayur-mayur sudah berkurang, dan mulai bergeser pada barang-barang lain. Kalau pergeseran pola konsumsi masyarakat belum ditangkap seluruhnya dalam indeks IHK, penggunaan IHK sebagai indeks resmi angka inflasi akan menjadi masalah. Sebab, bukan tidak mungkin, ketika inflasi masih menunjukkan angka 5% beberapa bulan lalu, inflasi sebenarnya sudah lebih besar dari 5%. Dan kalau inflasi sekarang mencapai 9%, siapa tahu bahwa, sebenarnya, inflasi di Indonesia sudah mencapai angka dua digit? Akibatnya, tindakan moneter bisa ketinggalan, dan terlambat. Pengetatan moneter dilakukan pada saat pertumbuhan ekonomi sudah sangat panas hingga pengetatannya harus dilakukan dengan sangat mendadak. Akibatnya, semua sektor kesakitan. Apalagi, pengetatan likuiditas seperti yang dilakukan BI baru-baru ini bersifat across the board tidak pandang bulu hingga setiap orang, besar dan kecil, kena. Padahal, sasarannya sebenarnya terbatas hanya pada pengendalian kredit konsumsi dan spekulasi real es~ate. Penyebab inflasi di Indonesia selama ini bukan saja berasal dari aliran uang dan kredit yang deras di masyarakat. Ada sebab lain yang lebih struktural. Selama ini arus barang di Indonesia masih banyak mengalami hambatan karena masih terlalu banyaknya peraturan. Adanya kelambatan dalam pemberian izin mendirikan pabrik cukup menghambat peningkatan kapasitas produksi dalam negeri. Adanya monopoli dan berbagai hambatan dalam perdagangan terutama impor juga menghambat aliran barang. Akibatnya, pada saat permintaan dalam negeri meningkat kapasitas produksi tidak cukup. Jangankan buat ekspor, untuk memenuhi permintaan dalam negeri saja tidak cukup. Di samping itu, beberapa peraturan yang mengarah pada monopoli menyebabkan terjadinya persaingan yang tidak wajar hingga harga yang terbentuk lebih tinggi dari sewajarnya. Inflasi struktural ini hanya bisa diatasi dengan penghapusan peraturan-peraturan yang menghambat. Tindakan deregulasi akan banyak membantu lancarnya aliran barang dan terbentuknya harga yang lebih wajar. Penanganan inflasi struktural seperti ini jelas tidak ada sangkut pautnya dengan pengetatan likuiditas. Ekonomi Indonesia yang terbuka dan sistem devisa bebas yang dianut juga akan mengurangi efektivitas pengetatan moneter dalam negeri. Dengan kekhawatiran terhadap devaluasi yang makin reda, dan dengan lebih murahnya dana di luar negeri, banyak perusahaan, terutama yang besar, kini banyak mengalihkan perhatiannya ke luar negeri. Yang besar dengan mudah akan mengatasi masalah likuiditas, sedangkan yang kecil, yang tak punya sumber kredit dari luar, akan menderita. Efek akhirnya adalah bahwa aliran dana yang didatangkan dari luar negeri akan bisa menetralisasi, sekalipun tidak seluruhnya, pengaruh pengetatan likuiditas di dalam negeri. Memang deregulasi pasar uang di seluruh dunia telah memberi dampak yang kurang mengenakkan, dalam arti kebijaksanaan moneter dalam negeri tidak selamanya bisa berdiri sendiri, dan dampaknya bisa dinetralisasi oleh tindakan pasar uang internasional. Inflasi Indonesia juga akan berasal dari merosotnya kurs dolar (dengan sendirinya rupiah) terhadap mata uang Eropa Barat dan Jepang, yang selama setahun ini sudah merosot sekitar 20%. Inflasi juga akan berasal dari sumber lain: naiknya harga minyak. Inflasi dunia yang terjadi ini akan menyusup ke Indonesia dalam bentuk cost push inflation, yang akan meningkatkan harga bahan yang diperlukan industri dalam negeri. Pada 1974, ketika harga minyak melonjak tiga kali, inflasi Indonesia mencapai 40%. Impor inflasi ini tidak bisa diatasi dengan pengetatan moneter, seperti yang dilakukan BI sekarang. Bahkan dengan diketatkannya likuiditas, ada risiko bahwa industri dalam negeri terjepit dari dua arah: pengetatan likuiditas dan naiknya harga impor. Bagaimana mengatasi inflasi yang ditimbulkan naiknya harga minyak? Sampai sekarang tak ada yang tahu bagaimana mengatasinya. Belum ditemukan senjata untuk melawan inflasi yang ditimbulkan Saddam Hussein, kecuali berdoa bahwa perang tidak jadi meledak di Teluk.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini