H~ALAMAN Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FS UI) Depok sejak akhir bulan lalu tampak semarak. Deretan kios bazar bermunculan. "Noni Belanda" memakai baju khas, Volendam, menjaga kios Jurusan Sastra Belanda. Mereka mejeng di sudut - mereka sebut "Bar De Ster" - yang biasa dipakai untuk minum kopi. Ju~ga di kios Jurusan Sastra Prancis. Mahasiswa jurusan ini tampil dengan salon kecantikan "De Coffure", dengan gaya Paris yang keren. Semuanya memang tiba-tiba muncul di kampus Depok. Hadirnya gebyar-gebyar suasana budaya Eropa, Jawa, dan Asia di FS UI bukan tanpa sebab. Fakultas yang tergolong tertua di Indonesia itu sedang memperingati usianya yang setengah abad, tepatnya 4 Desember lalu. "Ulang tahun ke-50 ini kan tak main-main," kata Sapardi Djoko Damono, penyair, dosen yang sekaligus ketua pelaksana peringatan itu. Dengan munculnya pameran itu, kata Pembantu Dekan I FS UI, masyarakat supaya tahu apa yang sudah dikerjakan FS UI selama ini. Rentetan acara memang dibuat campur aduk. Ada lomba penulisan, resensi buku, seminar, pameran lukisan, temu warga FS UI, pergelaran seni, teater, dan ada pula film. Pucaknya digelar 4 Desember lalu. Sebuah pidato ilmiah disampaikan oleh Dr. A. Dahana, Ketua Jurusan Cina FS UI. Fakultas Sastra, hingga mencapai usia ke-50 ini, seperti sirkus keliling. Pernah punya kampus di Jalan Diponegoro, kemudian pindah ke Rawamangun. Terakhir di D~epok. Dahulu pernah ada anggapan bahwa fakultas sastra sebagai salah satu fakultas "buangan", untuk menampung mahasiswa yang tak diterima masuk fakultas favorit. "Pendapat itu sekarang sudah tak cocok lagi," kata Sapardi karena, katanya, dengan kemahiran berbahasa lulusan FS UI laku di mana-mana. Malah, menurut Prof. Achadiati Ikram Dekan FS UI, lulusan fakultas sastra jurusan asing banyak menempati pos penting di bank pemerintah, bank asing, swasta, hotel, dan instansi pemerintah. Yang bekerja sebagai dosen dan di lembaga penelitian, katanya, juga cukup banyak. Saat kelahirannya, FS UI hanya punya empat jurusan, yakni Sastra Indonesia, Sastra Belanda, Sastra Jawa, dan Arkeologi. Untuk tingkat S-1~ FS UI kini punya 14 jurusan. Namun, sejak dua tahun lalu untuk tingkat S-1 - Jurusan Filsafat ditutup, tak menerima mahasiswa lagi. Fakultas itu tahun depan siap menerima program master. "Sebab, setelah dievaluasi, untuk pendidikan tingkat S-1 mahasiswa masih sulit menerima ilmu filsafat itu," kata Dekan FS UI. Sejak 1977, FS UI juga membuka pendidikan program non-gelar atau diploma, yang kini punya sembilan jurusan. Fakultas itu juga sudah membuka program studi master dan doktor untuk tiga jurusannya. Fakultas yang punya jumlah mahasiswa terbanyak di UI itu sampai sekarang telah menghasilkan 2.131 sarjana, 62 doktor, dan 860 orang program diploma. Jurusan paling laris di FS UI yakni program studi sastra Inggris, Prancis, dan dalam tiga tahun terakhir - Jepang. Kemajuan ketiga jurusan itu sangat dipengaruhi pula oleh bantuan pemerintah Inggris, Prancis, dan Jepang. Negeri Belanda pun tak sedikit memberikan sumbangan bagi jurusan bahasanya. Bantuan berupa beasiswa, buku, dan tenaga pengajar. Namun, ada pula jurusan yang "tandus", seperti Cina dan Rusia. "Sebab, buku-buku sulit didapat. Pemerintah pun terlalu curiga, terutama untuk keperluan mengirim dosen tugas belajar ke kedua negara itu," kata sumber TEMPO di FS UI. Namun, setelah hubungan diplomatik kedua negara dibuka, diharapkan hambatan itu bisa dilewati. Peminat masuk FS UI tiap tahun semakin banyak. Namun, menurut Dekan FS UI, rata-rata setiap jurusan cuma mampu menampung 30 mahasiswa. Kini, FS UI punya sekitar 2.800 mahasiswa. FS UI juga punya proyek yang mendatangkan duit yakni lewat program Bahasa Indonesia untuk Peserta Asing (BIPA). Program itu rata-rata mampu mengundang 80 orang peminat yang sebagian besar dari Jepang. Biaya cukup mahal, yakni US$ 500 tiap semester. "Kami mau menaikkan lagi tarif ini karena terlalu murah untuk mereka," kata Sapardi. Tampaknya, tak semua mahasiswa pas dengan suasana FS UI yang dikenal santai. Misalnya, Linda Christanti. "Suasana kampus kurang hidup. Mahasiswa kurang gemar berdiskusi," kata mahasiswi yang pernah memenangkan lomba penulisan cerpen di harian Kompas itu. Demikian pula Narotama. Mahasiswa FS UI dan putra ketiga almarhum Nugroho Notosusanto, yang terakhir Menteri P dan K itu, merasa beruntung bisa belajar banyak seperti sosiologi, antropologi, atau filsafat. Orang luar yang mengincar lulusan FS UI pun mulai berdatangan. Untuk itu, Konsorsium Sastra dan Filsafat punya usul agar Pemerintah membolehkan penambahan mata kuliah yang sesuai den~an kebutuhan masyarakat. Misalnya kuliah pariwisata, penerjemahan, editing, dan kesekretariatan. "Pihak luar banyak yang menyarankan tentang kebutuhan itu," kata Sapardi. Program pengembangan itu memang perlu. Namun, kata Sapardi, masalah bahasa, kebudayaan, dan sastra tetap diutamakan. Dekan FS UI malah berharap agar nama Fakultas Sastra diubah saja menjadi Fakultas Budaya. "Sebab, Fakultas Sastra tak hanya mempelajari sastra, tapi sudah mencakup aspek sosial budaya yang lebih luas," kata Achadiati. Gatot Triyanto dan Linda Djalil (Biro Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini