Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
GUGATAN Anwar Usman ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta memperlihatkan bahwa paman Gibran Rakabuming Raka itu memang tak punya rasa malu lagi. Ia mempersoalkan pemberhentian dirinya dari jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi dan pengangkatan Suhartoyo sebagai penggantinya. Padahal putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) sudah sangat terang menetapkan bahwa Anwar melakukan pelanggaran berat kode etik dan perilaku hakim.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Terbukti ada konflik kepentingan dalam keterlibatan Anwar Usman menangani perkara uji materi Pasal 169 huruf q Undang-Undang Pemilu. Ipar Presiden Joko Widodo itu memiliki hubungan keluarga dengan pihak yang diuntungkan dari uji materi tersebut, yaitu Gibran. Dia seharusnya tak ikut menangani perkara tersebut.
Putusan uji materi tentang batas usia minimal calon presiden dan wakil presiden tersebut memuluskan jalan Gibran menjadi calon wakil presiden pendamping Prabowo Subianto. Itu sebabnya MKMK memberi sanksi pemberhentian Anwar Usman dari jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi dan melarangnya menangani perkara perselisihan hasil pemilihan presiden 2024.
Bukannya mengaku bersalah dan meminta maaf kepada publik, tanpa rasa malu Anwar Usman malah berusaha mendapatkan kembali jabatannya. Di tengah riuh pemilihan presiden 2024, pada 24 November 2023, dia menggugat Surat Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 17 Tahun 2023 mengenai pengangkatan Suhartoyo sebagai Ketua MK masa jabatan 2023-2028 ke PTUN Jakarta. Anwar meminta hakim membatalkan dan mencabut surat keputusan pengangkatan Suhartoyo tersebut. Ia juga meminta hakim merehabilitasi namanya dan memulihkan kedudukannya sebagai Ketua MK.
Denny Indrayana serta Tim Pembela Demokrasi Indonesia dan Pergerakan Advokat Nusantara merespons gugatan ini dengan mengajukan permohonan intervensi. Mereka adalah pelapor pelanggaran etik Anwar Usman ke MKMK. Namun hakim PTUN Jakarta menolak permohonan intervensi tersebut pada 31 Januari lalu, yang putusannya muncul di situs web pengadilan pada dua hari lalu. Selanjutnya PTUN mengagendakan pemeriksaan Mahkamah Konstitusi sebagai pihak tergugat pada 21 Februari mendatang.
Manuver Anwar ini patut diwaspadai. Kita semua mesti mengawalnya agar hakim PTUN tidak keliru dalam memutus gugatan tersebut. Komisi Yudisial ataupun Badan Pengawasan Mahkamah Agung seyogianya mengawasi penanganan perkara ini dengan ketat. Dengan pengawasan dini oleh kedua lembaga tersebut, kita berharap hakim PTUN tidak gegabah dalam memutus perkara Anwar.
Gugatan Anwar Usman ini juga tidak boleh diperlakukan sebagai persoalan administrasi semata. Hakim mesti melihat bahwa ada unsur pelanggaran moral dan etika berat di balik perilaku paman Gibran tersebut. Tidak perlu terburu-buru memutuskan perkara ini dan lebih baik buka kesempatan bagi berbagai pihak untuk mengajukan permohonan intervensi.
Putusan MKMK sudah tepat dan penting untuk mengembalikan muruah Mahkamah Konstitusi yang dirusak Anwar Usman. Majelis hakim PTUN jangan sampai membatalkannya. Jangan memberikan ruang kepada pelanggar berat etika dan moral itu untuk bermanuver menggunakan celah urusan administrasi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo