Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
GUBERNUR Sumatera Barat Gamawan Fauzi mempunyai kebijakan yang layak ditiru instansi pemerintah. Ia melarang mobil dinas dibawa pulang pejabat daerahnya setelah jam kerja berakhir. Sebanyak 361 unit mobil itu hanya boleh dipakai jika pejabat ”pemilik mobil” bertugas. Keputusan itu efektif berlaku pada Senin pekan lalu.
Usaha memisahkan kepentingan dinas dan pribadi ini patut didukung. Mobil dinas seharusnya hanya dipakai menjalankan tugas pemerintah, karena bahan bakar dan biaya perawatannya dibayar pemerintah. Selama ini, seakan lumrah saja mobil dinas dipakai untuk rekreasi keluarga atau mengantar istri pejabat ke salon dan mal. Kalau sang pejabat merangkap fungsionaris partai, sudah sangat biasa kita saksikan mobil pelat merah ikut dipakai menunjang aktivitas partai. Pada zaman Orde Baru dulu, mobil dinas ”safari” para camat, misalnya di Jawa Timur, juga kebagian tugas ikut kampanye mendukung partainya pak camat.
Pemakaian mobil dinas di luar tugas pada dasarnya merupakan wujud lain korupsi. Maka, tepat tindakan Gamawan mengeluarkan larangan untuk pemakaian non-dinas—kecuali ada izin atasan untuk keperluan sangat urgen. Toh, para pejabat daerah tidak dirugikan, karena mendapat ganti biaya transpor Rp 2 juta sebulan. Sebelumnya pejabat daerah mendapat uang bensin Rp 1,25 juta plus biaya servis dan pembelian onderdil.
Namun ada catatan. Pepatah bilang, kalau mandi biarlah basah. Peraturan bagus itu masih dikecualikan untuk Gubernur dan wakilnya, Sekretaris Daerah, Ketua DPRD dan wakilnya. Andai saja diberlakukan tanpa kecuali, aturan ini akan dikenang sebagai suri tauladan yang sempurna. Itu juga akan jadi contoh bagi pejabat pemerintah di tempat lain. Siapa tahu, tiba-tiba Presiden dan Wakil Presiden ikut memarkir mobil dinasnya ketika menjalankan kegiatan pribadi atau partai—meskipun tetap perlu menjamin keselamatan dua pejabat VVIP itu.
Jangan pula diremehkan penghematan yang bisa didapat. Di Sumatera Barat sudah dihitung, dalam setahun anggaran daerah bisa dihemat Rp 4,7 miliar. Angka itu berasal dari penggantian biaya bahan bakar dan perawatan kendaraan setahun. Bukankah paling tidak sebuah puskesmas modern bisa dibangun dari dana sebesar itu. Masih ada ”biaya tak kelihatan” yang bisa diirit, misalnya usia pemakaian kendaraan yang pasti lebih panjang. Tapi yang terpenting, usaha ini sangat mendorong terciptanya sistem pemerintahan yang baik dan bersih.
Bukan hanya pemerintah yang bisa mewujudkan cita-cita good government dan clean governance ini. Di Surakarta, Jawa Tengah, dewan perwakilan rakyat daerah ikut andil dengan menolak permintaan pengadaan mobil dinas baru pemerintah setempat dalam rencana anggaran 2009. Kalau saja pejabat yang dimutasi mau tetap memakai mobil dinas lama, anggaran pembelian mobil itu bisa dipakai untuk keperluan melayani rakyat banyak.
Kesadaran menghemat anggaran negara ini mesti tumbuh di kalangan pegawai negeri, apalagi tahun ini kita sedang dirundung krisis ekonomi global. Sebenarnya, tidak perlu ”memaksakan” kesadaran tumbuh lewat razia seperti yang dilakukan Pemerintah Kota dan Dinas Perhubungan Palembang. Di daerah itu unit satuan lalu lintas polisi menggelar penggeledahan mobil dinas di jalan, tempat hiburan, pusat perdagangan, menjelang Lebaran yang lalu. Ternyata memang banyak yang terjaring.
Penyalahgunaan mobil dinas bukan perkara sepele. Mereka yang tak bisa membedakan kepentingan dinas dan pribadi boleh dibilang gagal ujian korupsi tingkat pertama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo