Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
APA yang harus dilakukan Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto untuk merebut jabatan Ketua Umum Partai Golkar?
Pertama, ia bisa menjual kehebatannya sebagai pemimpin yang disegani. Bayangkan, walaupun sempat mendekam dalam penjara selama hampir lima tahun, para pesaing tak mampu menghentikan laju perkembangan bisnisnya. Sukses itu mestinya diabadikan, misalnya, lewat sebuah buku yang bisa ia beri judul ”Kiat Jitu Mengelola Bisnis dari Penjara”. Jangan lupa, semua itu ia lakukan setelah Soeharto, sang bapak, tak lagi berkuasa.
Kedua, Tommy bisa menunjukkan bahwa pengaruhnya masih sangat kuat. Pada Agustus tahun lalu, PT Timor Putra Nasional, salah satu perusahaan miliknya, berhasil mengalahkan Bank Mandiri, yang dimiliki pemerintah. Mahkamah Agung menyatakan Timor Putra berhak atas uang senilai Rp 1,3 triliun.
Jika dua modal itu belum cukup, Tommy bisa menambah satu ”senjata” lagi: duit. Ia diyakini memiliki duit yang lebih dari cukup untuk maju bertanding. Dalam pemilihan orang pertama partai politik, terutama di Indonesia, bukan lagi rahasia bahwa faktor duit merupakan kunci sukses utama.
Soal ”gizi” yang pernah dikeluhkan Nurcholish Madjid ketika ikut konvensi Golkar beberapa tahun lalu, misalnya, jelas bukan masalah buat Tommy. Ia bahkan bisa menawarkan janji yang lebih wah ketimbang Aburizal, yang sanggup menyediakan dana abadi Rp 1 triliun. Tommy tak perlu serepot sang pesaing, yang sibuk menjelaskan asal-usul uang sebanyak itu, sementara ganti rugi korban lumpur Lapindo belum kunjung beres.
Mungkin para pesaing Tommy cemas, mungkin pula tidak. Yang jelas, calon seperti Aburizal Bakrie dan Surya Paloh, yang sama-sama punya duit, kini punya lawan yang setanding. Yuddy Chrisnandi, yang jelas berkantong lebih cekak, punya kompetitor yang sama-sama muda—Tommy kini 47 tahun, Yuddy 41 tahun.
Yuddy pernah menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Tommy dulu anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Tak bisa dilupakan pula, hanya berkat sang bapaklah partai ini lahir, besar, dan kuat. Selama 32 tahun, Golkar menjadi mesin penopang utama kekuasaan sang ayah. Begitu lamanya sehingga ketika kekuasaan berganti, partai ini tak siap menjadi oposisi. Mereka terus saja berusaha menumpang kekuasaan.
Politik memang bukan hanya soal uang dan balas jasa. Tapi di tempat yang tak memungkinkan kompetisi sehat berjalan, kepemimpinan tak ubahnya harta warisan, berganti ”kepemilikan” turun-temurun. Ketika Ketua Golkar Jusuf Kalla menyatakan bahwa Soeharto memiliki jiwa pemimpin, sementara ia ”tak kenal” Tommy, Kalla sebenarnya hendak mengatakan Tommy belumlah layak menjadi nakhoda Golkar. Tapi tak ada yang bisa memastikan bahwa pernyataan Kalla mewakili mayoritas suara Partai Beringin.
Barangkali banyak juga warga Golkar yang tak lagi peduli bahwa Tommy telah lebih dari sepuluh tahun meninggalkan Golkar. Mungkin tak lagi dianggap perlu mencatat bahwa Tommy absen dari politik antara lain karena menjalani hukuman di Nusakambangan setelah divonis sepuluh tahun penjara oleh Mahkamah Agung karena terlibat pembunuhan hakim agung Syafiuddin Kartasasmita. Jangan-jangan tak penting lagi kenyataan bahwa Tommy sama sekali belum pernah menjadi pengurus pusat seperti syarat yang diatur dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga partai itu.
Biarlah masalah pencalonan Tommy Soeharto ini dipikirkan Partai Golkar—partai yang kehilangan dukungan cukup banyak dalam pemilu lalu. Biar mereka yang memutuskan bangkit atau amblesnya partai warisan Soeharto itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo