Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Momentum ini Jangan Lewat Lagi

31 Januari 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Faisal Basri
  • Pengamat ekonomi

    Sampai sekarang pemerintah tak mengeluarkan suatu dokumen resmi yang berisikan program 100 hari. Yang kita ketahui sejauh ini, setiap menteri diminta oleh Presiden Yudhoyono membuat program "terapi kejut" dalam 100 hari pertama. Termasuk Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Mungkin artinya Bappenas diminta melakukan rekapitulasi atas program-program yang dibuat oleh setiap kementerian dan lembaga pemerintah lainnya. Bappenas juga mungkin diminta mensinergikan program tersebut secara utuh. Namun, sejauh ini kita tak tahu persis wujud dari program 100 hari tersebut. Lalu bagaimana kita menilainya? Mengapa kita menganggap perlu membuat penilaian selama 100 hari pertama pemerintahan SBY-Kalla?

    Secara ketatanegaraan tak ada keharusan bagi pemerintah untuk menyusun program 100 hari. Istilah ini lebih merupakan kemasan kampanye. Karena semasa kampanye hampir semua calon presiden mencantumkan langkah-langkah yang hendak mereka lakukan pada 100 hari pertama pemerintahannya kalau terpilih, mereka mengemban tanggung jawab moral untuk memenuhi janji kampanye jika mereka telah berkuasa.

    Apa sebetulnya makna dari program 100 hari? Sebagai materi kampanye, program 100 hari bertujuan meyakinkan calon pemilih bahwa pasangan calon presiden-wakil presiden memiliki visi yang berbeda dengan calon lainnya. Juga untuk meyakinkan bahwa mereka segera melakukan perubahan yang akan membawa bangsa kita jauh lebih baik daripada keadaan sekarang. Sejak reformasi bergulir, masyarakat tak merasakan perubahan hakiki, maka dipandang perlu menunjukkan bahwa pemerintahan baru mampu menghadirkan sesuatu yang nyata dalam waktu yang relatif singkat. Dengan begitu harapan masyarakat tidak memudar.

    Pendek kata, program 100 hari bisa menjadi awal dari terbangunnya keyakinan (confidence) di kalangan masyarakat dan juga pemerintah sendiri bahwa agenda perubahan jangka pendek hingga jangka panjang bisa terwujud. Jika dalam 100 hari pertama saja pemerintah gagal memenuhi janjinya dan gagal menghadirkan perubahan nyata, akan muncul kembali gelombang pesimisme seperti pada masa-masa sebelumnya.

    l l l

    Masalah terbesar yang dihadapi oleh perekonomian Indonesia ialah bagaimana bisa keluar dari perangkap pertumbuhan rendah. Kuncinya ialah memacu investasi dan meningkatkan daya saing yang sekaligus bisa menyerap tenaga kerja sebanyak-banyaknya agar tingkat pengangguran turun secara signifikan. Keberhasilan pemerintah dalam mengatasi tantangan terbesar ini jelas tak bisa dilihat dan dirasakan dalam jangka waktu yang sangat pendek. Apa yang bisa dilakukan pemerintah dalam 100 hari ialah membuat peta jalan (road map) dan peta permasalahan yang menunjukkan bahwa pemerintah tahu persis apa yang harus ditempuh untuk melakukan percepatan (pola nonlinear) sehingga tak tercipta kesan bahwa pemerintahan sekarang sekadar kelanjutan dari pemerintahan sebelumnya (pola linear).

    Berdasarkan peta permasalahan dan peta jalan, pemerintah memulai langkahnya. Sejauh ini kita telah menyaksikan langkah-langkah awal pemerintah dan hasilnya pun mulai terlihat. Puluhan investor di bidang migas telah menandatangani memorandum kesepakatan untuk melakukan investasi baru. Sementara itu buruknya kondisi infrastruktur telah ditangani dengan menyelenggarakan KTT Infrastruktur baru-baru ini. Sejumlah investor asing telah tertarik untuk membangun puluhan proyek besar yang ditawarkan pemerintah. Apakah komitmen yang telah ditunjukkan oleh investor asing ini akan terwujud dengan cara-cara yang patut? Itulah tantangan utamanya. Para investor nantinya tentu akan meminta berbagai syarat untuk menjamin dana yang mereka benamkan bisa aman dan memberikan hasil yang memuaskan. Sejauh ini pemerintah telah mengeluarkan seperangkat produk hukum untuk itu. Tentu saja penguatan kerangka regulasi ini akan mengurangi ketakpastian usaha. Namun kita juga berharap justru pemerintah menunjukkan langkah yang lebih nyata lagi dan sekaligus memenuhi janji yang telah berulang kali dinyatakan oleh Presiden sendiri di berbagai forum internasional, yakni menyelesaikan permasalahan ataupun perselisihan yang hingga kini masih menggantung dengan investor asing seperti kasus Newmont, Karaha Bodas, Exxon, dan Cemex. Mau ditaruh di mana "muka" Presiden dan pemerintah di mata internasional jika salah satu dari empat kasus besar ini tak bisa diselesaikan secara tuntas dalam 100 hari pemerintahan SBY-Kalla?

    Pemerintah juga telah memperbaiki iklim investasi dengan mendorong perbaikan di bidang perpajakan dan kepabeanan. Kedua instansi ini belakangan ini terlihat sibuk melakukan pembenahan. Dirjen Pajak tak henti-hentinya melakukan "terobosan" dan acara-acara "kolosal" untuk menunjukkan bahwa mereka telah bekerja keras. Sementara itu, jajaran bea cukai kelihatan semakin "galak" dengan mengetatkan pengawasan atas barang impor. Hasilnya, arus keluar-masuk barang secara ilegal menyurut. Salah satu indikatornya terlihat dari kenaikan harga beberapa jenis barang impor di pasar domestik, padahal selama ini harganya "miring" karena praktek pemasukan barang yang ilegal.

    Apakah perbaikan ini akan berkelanjutan? Kita pesimistis karena akar permasalahan belum disentuh. Petinggi di kedua instansi ini belum diganti, padahal mereka terkenal sangat kotor. Dengan mudah kita bisa mematahkan argumen Dirjen Pajak bahwa jajarannya telah bekerja keras dan siap mengamankan target penerimaan negara. Padahal fakta menunjukkan sebaliknya. Penurunan nisbah pajak (tax ratio)?persentase penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto?pada APBN 2005 dibandingkan dengan realisasi APBN 2004 nyata-nyata bertentangan dengan tekad Presiden untuk terus-menerus meningkatkan nisbah pajak hingga mencapai 19 persen pada akhir masa jabatannya.

    Jika diganti dengan orang dalam yang tahu peta persoalan dan jujur, dengan menutup mata saja pemerintah bisa menambah pemasukan pajak minimal Rp 30 triliun atau setara dengan jumlah komitmen pinjaman yang dijanjikan oleh CGI minggu lalu. Jika Menteri Keuangan dan Presiden mencermati dengan lebih seksama, mereka dengan mudah akan menemukan keganjilan pola penerimaan pajak serta dengan cepat pula bisa mengendus potensi sumber tambahan penerimaan pajak tanpa harus menambah beban masyarakat. Hal serupa juga berlaku untuk jajaran Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

    l l l

    Persoalan yang terus mengganjal gerak maju pemerintah ialah subsidi bahan bakar minyak (BBM). Kita menyayangkan berbagai pernyataan yang dilontarkan para pejabat berbeda satu sama lain, baik soal waktu maupun besarnya kenaikan. Kita sungguh sangat berharap bahwa pemerintahan yang sangat legitimate yang dipilih langsung oleh rakyat ini melakukan terobosan yang membuat kita semua tak terbelenggu oleh ketakutan atau bahkan mitos menyesatkan. Bagaimanapun penggelontoran subsidi puluhan triliun sangatlah tidak bertanggung jawab dan melanggar asas kepatutan.

    Sejak awal pemerintah sangat menyadari bahwa subsidi BBM harus dipangkas. Persoalannya tinggal pada kemampuan untuk menekan habis-habisan tambahan beban kenaikan BBM ini, misalnya dengan memerangi praktek ekonomi biaya tinggi, premanisme di jalan, dan berbagai pungutan yang sudah sangat menyesakkan dunia usaha. Pada saat yang bersamaan, pemerintah juga harus mampu meyakinkan masyarakat bahwa besarnya dana yang tak jadi dikucurkan secara sia-sia ini akan dialokasikan dengan lebih mengedepankan rasa keadilan. Dengan kata lain, kunci keberhasilan pemerintah agar bisa melepaskan diri dari perangkap kenaikan harga BBM ialah kemampuannya memberikan pemanis terlebih dahulu, yaitu sesuatu yang nyata dirasakan oleh masyarakat telah mengurangi beban hidupnya. Sebab, bagaimanapun kenaikan harga BBM merupakan sesuatu yang dipersepsikan sangat pahit di mata masyarakat kebanyakan. Dalam konteks inilah kita menunggu realisasi nyata dari slogan "perubahan" dan "bersama kita bisa" yang dikumandangkan oleh SBY-Kalla selama kampanye.

    Dalam hal penanganan korupsi pemerintahan SBY-Kalla lebih maju selangkah ketimbang pemerintahan sebelumnya. Presiden menunjukkan komitmen yang sangat kuat dan bahkan berkehendak memegang langsung komando dalam upaya pemberantasan korupsi. Pekerjaan rumah yang segera harus dituntaskan untuk menguji kuatnya komitmen tersebut ialah penanganan tanpa pandang bulu atas dugaan korupsi dalam proyek Karaha Bodas dan lelang gula ilegal. Berbeda dengan kasus korupsi yang sedang ditangani oleh aparat penegak hukum yang bersifat lokal dan tak melibatkan kekuatan politik yang sangat berpengaruh, kedua kasus ini betul-betul menjadi ujian berat bagi SBY karena ditengarai melibatkan jajaran anggota kabinetnya dan aparat penegak hukum sendiri serta orang-orang yang berpengaruh. Jika kedua kasus ini ditangani secara patut dan Presiden sendiri yang memerintahkan untuk mempercepat penyidikan, niscaya lembaran 100 hari pemerintahan SBY akan ditutup dengan tinta emas.

    Goresan tinta emas akan terus mengisi lembaran-lembaran kiprah pemerintahan seandainya Presiden mau membersihkan kabinetnya dari menteri-menteri yang tidak kredibel dan tak memenuhi syarat kepatutan sebagai pejabat publik, misalnya masuk ke daftar orang tercela, penerima suap, pengemplang utang, masa lalunya dikenal korup atau terlibat skandal korupsi, dan plagiator. Jika mereka tetap bertengger di kabinet, pemerintahan ini akan selalu terbebani. Menteri yang kredibel akan terkuras energinya karena harus menanggung sebagian tugas menteri yang bermasalah, sementara Presiden akan disibukkan bicara untuk membela dan melakukan klarifikasi. Dengan kabinet yang tak terbebani oleh kehadiran mereka, pemerintah bisa lebih berwibawa menghadapi DPR tanpa harus diperkuat oleh Wakil Presiden dan menteri-menterinya yang menjadi ketua umum partai.

    Ditambah dengan terus berlanjutnya perbaikan pada kebanyakan indikator makroekonomi dan pasar keuangan selama tiga bulan pertama sejak terbentuknya pemerintahan baru, kiranya pemerintah bisa lebih percaya diri untuk beranjak ke tahap selanjutnya, yakni transformasi yang lebih bersifat substansial agar perekonomian Indonesia memiliki landasan pijak yang kukuh dalam menghadapi lingkungan internasional yang semakin brutal. Momentum kali ini jangan sampai terlewatkan lagi.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus