Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Penegakan Hukum Korupsi

31 Januari 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mas Achmad Santosa
  • Koordinator Program Pembaruan Hukum & Peradilan, Partnership for Governance Reform in Indonesia.

    Sejak diresmikannya Kabinet Indonesia Bersatu pada 20 Oktober 2004, program penegakan hukum dalam memberantas korupsi menjadi agenda utama dalam 100 hari pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Program penegakan hukum kasus-kasus korupsi itu meliputi: (1) pemberantasan korupsi, terutama yang berpotensi mengembalikan aset/uang negara; (2) perhatian kepada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) mengenai kewenangan, personalia, dan pendanaan; (3) pembentukan Komisi Pengawas Kejaksaan.

    Agenda 100 hari tersebut kemudian ditegaskan dan dilengkapi dengan agenda-agenda yang harus dilaksanakan berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 5 Tahun 2004 (9 Desember 2004) tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Agenda-agenda tersebut antara lain: (1) pelaksanaan pelaporan, pendaftaran, pengumuman, dan pemeriksaan laporan harta kekayaan penyelenggara negara di lingkungan eksekutif; (2) menetapkan kinerja (performance indicator) oleh menteri dan pejabat setingkat menteri (seperti Jaksa Agung) untuk pejabat di bawahnya secara berjenjang; (3) mengoptimalkan upaya-upaya penyidikan dan penuntutan oleh Kepolisian dan Kejaksaan terhadap tindak pidana korupsi, menghukum pelaku dan menyelamatkan uang negara; (4) mencegah dan memberikan sanksi tegas terhadap abuse of power dari para penegak hukum (polisi dan jaksa).

    Apabila merujuk pada program 100 hari dan Inpres No. 5/2004, secara garis besar accomplishment pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) akan diukur oleh seberapa efektif pelaksanaan agenda-agenda: (1) penegakan hukum kasus-kasus korupsi besar (terutama yang mampu mengembalikan uang negara dalam jumlah yang signifikan); (2) memperkuat sistem pengawasan eksternal kejaksaan; (3) memberdayakan pengadilan khusus Tipikor; (4) menindak penegak hukum yang korup; dan (5) menetapkan performance indicator bagi para pejabat di instansi penegak hukum.

    Beberapa langkah nyata yang ditempuh oleh Jaksa Agung RI sampai dengan hari ini: (1) penyidikan dan penuntutan kasus-kasus korupsi; (2) penyusunan draf Perpres Komisi Kejaksaan; (3) pembentukan Task Force Penanganan Kasus Korupsi yang melibatkan aktivis, praktisi, dan akademisi hukum; (4) pembentukan tim percepatan pembaruan kejaksaan.

    Dari laporan Jaksa Agung di depan Komisi III DPR RI pada 29 November 2004, dari 178 kasus korupsi di seluruh Indonesia yang sedang dilakukan penyidikan, 62 kasus di antaranya akan dilimpahkan ke pengadilan pada 100 hari pertama ini. Pengajuan sejumlah kasus ini akan memberikan pesan penjeraan (deterrent effect) yang luar biasa apabila memenuhi 2 (dua) syarat: (1) 62 kasus yang diprioritaskan ini adalah kasus-kasus menyangkut dan merugikan hajat hidup orang banyak; mendapatkan sorotan yang luas dari masyarakat; serta kasus yang mampu mengembalikan aset/uang negara; (2) kasus-kasus ini merupakan strong case yang didasarkan pada dakwaan yang baik/cermat dan bukti yang kuat, sehingga tidak meninggalkan loop holes yang akan dimanfaatkan oleh terdakwa, advokat, maupun hakim.

    Peran Task Force Penanganan Kasus Korupsi Kejaksaan Agung, yang baru diumumkan tanggal 19 Januari 2005 yang lalu, menjadi sangat penting dalam menjalankan fungsi-fungsi sebagai berikut: (1) menyediakan expert's second opinion; (2) menjalankan fungsi saling kontrol sehingga mampu membangun akuntabilitas; (3) realisasi dari transparansi dalam penanganan kasus-kasus korupsi.

    Namun, task force yang terdiri dari pakar-pakar hukum dan praktisi hukum kritis ini hanya dapat berfungsi efektif apabila jajaran Jampidsus (Jaksa Agung Muda bidang Tindak Pidana Khusus) bersikap kooperatif dan menerima mereka dengan tangan terbuka.

    Mengenai Komisi Kejaksaan, Jaksa Agung telah menyelesaikan draf Perpres (yang siap diberikan kepada presiden) pada 25 Desember 2004 lalu, namun tertunda disampaikan karena musibah tsunami di Aceh. Draf tersebut kini telah mendapatkan tanggapan dari Menteri Hukum dan HAM, Hamid Awaluddin, pada minggu ketiga Januari 2005.

    Diharapkan, Jaksa Agung RI dapat secepatnya memberikan perbaikan draf kepada presiden, sehingga akhir Januari 2005 Perpres tentang Komisi Kejaksaan sudah dapat diterbitkan. Beberapa hal positif dari draf Perpres yang diajukan Jaksa Agung adalah: (1) cakupan kewenangan yang tidak terbatas pada policy recommendation, tetapi juga pengawasan disiplin dengan kewenangan pemeriksaan; (2) kewenangan Komisi dirancang agar tidak duplikatif dengan pengawasan internal kejaksaan, karena fungsi Komisi adalah menjalankan fungsi supervisi/oversight terhadap kerja pengawasan internal; (3) proses seleksi anggota Komisi dilakukan oleh panitia independen yang dilakukan secara transparan dan terbuka.

    Sejalan dengan penerbitan Perpres Komisi Kejaksaan, presiden diharapkan segera menerbitkan keppres tentang panitia seleksi anggota Komisi Kejaksaan sehingga kerja Komisi tidak mengalami penundaan.

    Mengenai pembentukan Tim Percepatan Pembaruan Kejaksaan, momentumnya sangat tepat karena Kejaksaan memerlukan gerak cepat dalam melaksanakan rekomendasi-rekomendasi pembaruan yang telah disepakati dalam cetak biru Governance Audit on Public Prosecution Service, Law Summit III, Inpres No. 5/2004, maupun Rencana Aksi Nasional (RAN) tentang Pemberantasan Korupsi, yang kini penyusunannya sedang dikoordinasikan oleh Bappenas.

    Upaya-upaya dan kebijakan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh sangat penting dan terkait satu dengan yang lainnya. Kinerja Kejaksaan akan ditentukan oleh efektivitas program-program percepatan pembaruan dan keberadaan Komisi Kejaksaan yang tangguh. Sedangkan efektivitas penanganan dan kaji ulang SP3 (surat perintah penghentian penyidikan) kasus-kasus korupsi sangat ditentukan oleh kemampuan task force dalam menelaah dan memantau proses penegakan hukum kasus-kasus korupsi agar sesuai dengan harapan masyarakat.

    Terdapat beberapa pekerjaan tersisa yang belum sempat dilakukan oleh pemerintah dalam masa 100 hari ini: (1) penyelesaian pendanaan/gaji hakim-hakim pengadilan khusus Tipikor; (2) penindakan terhadap aparat penegak hukum yang melakukan penyimpangan dalam menjalankan tugasnya.

    Hakim-hakim ad hoc Tipikor (tingkat pertama, banding, dan kasasi) yang berjumlah 9 orang sampai dengan saat ini (telah berlangsung 7 bulan) sejak mengikuti pelatihan-pelatihan belum mendapatkan gaji. Mereka (termasuk hakim ad hoc yang sedang mengadili perkara Puteh) terpaksa harus menghidupi diri dan keluarganya selama menjalankan tugas dengan cara berutang. Suatu perbuatan yang memalukan dan tidak konsisten dari pemerintah dalam mendorong dan membentuk island of integrity di kalangan penegak hukum. Bappenas sebagai pemrakarsa cetak biru pengadilan khusus Tipikor dan perencana pembangunan, Mahkamah Agung sebagai administrator para hakim, dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara yang berwenang menetapkan kebijakan-kebijakan pemberian fasilitas pejabat negara adalah pihak-pihak yang bertanggung jawab atas kelambanan ini.

    Pekerjaan lainnya yang belum tampak geliatnya adalah penindakan aparatur penegak hukum yang melakukan penyelewengan dalam menjalankan tugasnya. Perlu ada revitalisasi dalam sistem, mekanisme, serta aparatur pengawasan di Kejaksaan dan Kepolisian. Laporan pengaduan terhadap aparatur Kejaksaan selama 2004 berjumlah 912. Dari jumlah tersebut, hanya 197 (20 persen) yang dapat diselesaikan. Hukuman disiplin yang dijatuhkan selama tahun 2004 terdiri dari 8 hukuman disiplin berat, 1 hukuman disiplin sedang, dan 3 hukuman teguran tertulis. Dari 8 orang yang diberhentikan tidak dengan hormat, sebanyak 6 orang pegawai tata usaha dan 2 orang jaksa. Kelemahan sistem pengawasan internal inilah yang kemudian memicu munculnya gagasan Komisi (Pengawas) Kejaksaan. Efektivitas pengawasan internal di kepolisian juga bernasib sama sehingga memicu gagasan pembentukan Komisi Kepolisian Nasional (KKN), yang kemudian dalam Undang-Undang Kepolisian fungsinya dibelokkan ke fungsi pemberian nasihat (advisory role).

    Pengawasan aparatur penegak hukum juga dapat dilakukan dengan penetapan kinerja berikut tolok ukur pencapaian buat para eselon 1 (satu) yang dilakukan secara berjenjang ke bawah. Penetapan kinerja sebagaimana diperintahkan oleh Inpres 5/2004 belum dilaksanakan oleh Jaksa Agung dan Kapolri. Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh dalam penyampaian makalahnya di konferensi Consultative Group on Indonesia (CGI) pada 19 Januari 2005 yang lalu menyatakan penetapan kinerja bagi para eselon 1 (satu) sedang dipersiapkan. Kita belum mengetahui apakah Kapolri me-lakukan hal yang sama terhadap para deputinya.

    Pekerjaan yang tersisa lainnya yang harus dilakukan dalam masa 100 hari dan setelah itu (namun masih dalam target jangka pendek) adalah membuka diri kepada masyarakat tentang perkembangan kasus-kasus korupsi atau kaji ulang (review) SP3 yang sedang ditangani oleh Kepolisian dan Kejaksaan. Apakah kasus-kasus korupsi tersebut betul-betul memenuhi persyaratan sebagai kasus-kasus signifikan dan strong case, ataukah hanya kasus-kasus kelas teri dan bernuansa "kejar setoran" dengan mengabaikan kekuatan pembuktian.

    Jangan lupa kasus-kasus korupsi big fish seperti kasus Puteh yang lain (Rp 1,3 triliun), Bank Pesona Kridayana (Rp 2,09 triliun), Bank Pacific (Rp 2,1 triliun), Taspen, Texmaco, Hokindo, dan kasus-kasus yang terkait dengan Pertamina belum ditangani dengan sungguh-sungguh walaupun kerugian negara terhitung sangat besar. Di sini peranan task force yang terdiri dari akademisi dan praktisi hukum kritis dan berintegritas diperlukan segera bekerja. Task Force Penanganan Kasus Korupsi seperti yang dibentuk di Kejaksaan juga perlu segera dibentuk di Kepolisian.

    Tentu, penindakan hukum terhadap koruptor tidak bisa hanya mengandalkan Kepolisian, Kejaksaan, dan pengadilan. Peranan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan fungsi penindakan dan supervisi masih perlu diberdayakan. Peranan BPK, BPKP dan PPATK, dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara perlu didorong sebagai pendukung utama penindakan hukum para koruptor. Rencana Aksi Nasional (RAN) Pemberantasan Korupsi, yang kini sedang disiapkan Bappenas, menjadi sangat relevan untuk menyusun program aksi bersama yang komprehensif dan lintas sektor dengan dukungan masyarakat luas.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus