Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ngeri dan bergidik rasanya saat berada di ke Lhok Nga menyaksikan sendiri akibat terjangan gelombang tsunami. Perasaan yang sama muncul saat berada di daerah lain sepanjang garis pantai daerah bencana di Aceh. Bisa dimengerti mengapa korban yang selamat bereaksi negatif saat ditanya alamat asal mereka. Pertanyaan sepele ini akan mengingatkan kehidupan masa lalu yang lenyap dalam sekejap. Mereka bahkan tidak dapat mengenal lagi batas rumahnya karena perumahan itu telah menjadi rawa.
Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Collin Powell, dan Sekjen PBB Kofi Annan, yang sama sekali asing dengan daerah bencana, pun merasa miris melihat akibat petaka. Apalagi mereka yang telah puluhan tahun hidup di sana.
Cerita horor bagaimana para survivors lolos dari maut adalah bayangan kengerian yang lain. Keberhasilan menyelamatkan diri bukanlah kisah heroik, melainkan beban trauma yang luar biasa. Mereka gagal mempertahankan genggaman pada anak dan keluarga mereka, dan dengan tak berdaya menyaksikan sendiri sebagian atau seluruh keluarga kesayangan mereka ditelan gelombang raksasa. Tsunami juga menghilangkan komunitas dan dasar-dasar kehidupan, menyisakan kekosongan di mana-mana, termasuk dalam tiap jiwa mereka yang selamat.
Kini mereka tidak tahu lagi apa yang dirasakan. Kepribadian mereka berubah mengikuti perubahan total kehidupan mereka. Kesejukan dan kegembiraan hati yang terbangun dari keceriaan keluarga, dari kepuasan menikmati hasil kerja, kebahagiaan hidup dalam lingkungan sosial, telah lenyap. Seluruh bangunan jiwa mereka turut hancur dalam bencana ini. Korban yang selamat tidak mengerti lagi apa makna hidup. Apalah artinya kehidupan bila tanpa tempat untuk disinggahi, tanpa keluarga yang menyambut pulang, tanpa masyarakat tempatnya berdebat. Sebagian mereka merasa menyesal menjadi survivors dan mengangankan enaknya berada bersama dengan keluarga yang dicintai yang kini telah nyaman berada di surga.
Banyak penelitian yang menunjukkan satu peristiwa traumatis akan meningkatkan dua kali lipat jumlah penderita gangguan emosional. Bisa dibayangkan jika berbagai peristiwa traumatis terjadi sekaligus. Mereka lolos dari maut, tapi telah kehilangan keluarga tercinta, seluruh harta bendanya lumat, dan juga kehilangan masyarakat sosial dan mata pencaharian.
Peristiwa traumatis akan mempengaruhi keseimbangan kimiawi otak, terutama yang bertanggung jawab terhadap keadaan emosi. Susunan kimiawi, kadar hormonal, lintasan neuron, dan networking di antara neuron menjadi kacau. Diperlukan waktu untuk mengembalikan kekacauan ini ke kondisi semula.
Berapa lama? Untuk masyarakat Aceh, yang telah terbiasa berjuang dan menghadapi berbagai peristiwa traumatis dalam sejarah panjang kehidupannya, waktu pemulihan dipercaya akan lebih cepat. Ada yang mengatakan, dalam hitungan hari, orang Aceh akan segera bangkit, siap menjalani kehidupan normal. Kini ratapan atas kematian keluarga telah berkurang dan kehilangan harta benda telah diterima dengan legowo, namun sayang kehidupan normal tidak segera datang. Bahkan kini mereka menghadapi berbagai gelombang trauma lainnya.
Berada dalam pengungsian, berjejalan dalam satu tenda bersama orang yang tidak dikenal sebelumnya, dengan kapling yang sempit tanpa batas privacy, merupakan sumber stres baru. Keadaan emosi yang masih labil merupakan potensi konflik antarpenghuni posko pengungsian. Belum lagi keadaan fisik tempat pengungsian dengan sanitasi yang buruk dan memudahkan penyebaran berbagai penyakit, yang membuat mereka resah dan tidak merasa aman. Tidak mengherankan bila banyak survivors yang berusaha keluar dari daerah bencana mencari sanak keluarga jauh. Namun, jauh lebih banyak mereka yang tetap terpaksa tinggal dan tidak dapat melepaskan diri dari situasi penuh tekanan ini.
Bantuan total dari para relawan sangat membantu pada periode awal, saat fisik dan jiwa mereka ambruk. Namun, setelah beberapa waktu, saat sebagian pikiran dan tenaga mereka mulai pulih, sikap baik relawan dan bantuan total relawan bisa menjadi bumerang. Survivors terpaksa berperan pasif, peran yang berbeda dengan karakter mereka. Peran pasif ini juga dapat menurunkan kemampuan resiliensi survivors.
Perasaan tidak enak pada survivors dapat muncul dari simpang-siurnya informasi yang diterima. Tentang relokasi, misalnya, tidak ada berita yang jelas. Mereka tidak tahu sampai kapan berada di pengungsian dan akan ke mana setelah ini. Tentu mereka sendiri punya keinginan untuk masa depan. Sebagian ingin kembali ke tempat semula mereka berasal. Sebagian yang lain justru ingin memulai kehidupan baru, dan mengubur kehidupan mereka yang lalu. Hanya, masalah pekerjaan jadi kendalanya. Sebagian dari mereka adalah para nelayan, yang bergantung pada kehidupan laut. Bila tempat relokasi jauh dari laut seperti yang terdengar selama ini, akan menimbulkan masalah serius.
Kesemrawutan dalam organisasi bantuan berdampak menambah kebingungan dan ketidakpastian. Lambatnya bantuan yang diterima, ditambah lagi kecemburuan terhadap penduduk sekitar yang ikut mengambil keuntungan dari bantuan yang datang, menimbulkan stres baru. Potensi konflik mulai terasa di beberapa posko pengungsian. Para survivors mulai mengeluh. Contoh kecil, pengurus posko minum susu kotak dan makan ikan sarden, sementara pengungsi hanya mendapat aqua dan supermi. Pengungsi juga mulai terganggu dengan penduduk lokal yang ikut memanfaatkan bantuan. Beberapa penduduk lokal memang sering tampak memilih-milih pakaian yang sudah tidak diminati pengungsi. Penduduk lokal, yang mungkin juga membutuhkan, kadang ikut antre untuk memperoleh bantuan. Situasi ini dapat menimbulkan stres baru dan meruntuhkan bangunan psikologis yang baru saja kembali utuh.
Gelombang trauma lain adalah kecurigaan akan adanya korupsi dari bantuan yang diterima. Kecurigaan ini tidak dapat dihindari, mengingat informasi deras tentang menggunungnya bantuan yang terkumpul namun hanya jumlah sangat terbatas yang diterima survivors.
Kuatnya peranan agama dalam kehidupan sehari-hari di Aceh sering dimanfaatkan untuk becermin pada kehidupan moral yang dianggap telah menurun. Misalnya, ditemukannya banyak jenazah wanita tanpa pakaian dikaitkan dengan maraknya pelacuran, sehingga bencana ini dianggap hukuman yang wajar untuk mereka. Padahal, pakaian wanita seperti kain dan mukena lebih mudah terlepas dan mudah terkoyak digulung gelombang tsunami dibandingkan dengan celana panjang dan kaus yang dikenakan pria. Ada juga yang beranggapan bahwa mereka yang mengalami masalah emosi adalah mereka yang kurang kuat imannya. Anggapan moralis di atas sangat tidak bertanggung jawab, menyudutkan survivor, dan akan lebih memberikan tekanan psikologis bagi mereka. Anjuran pragmatis untuk bersabar dan menguatkan iman, tanpa memberi kesempatan untuk mengekspresikan kesedihan yang mendalam, hanya akan memperpanjang proses normal reaksi emosi yang harus dilalui.
Gelombang trauma sekecil apa pun akan membuat survivors yang baru mulai pulih kembali ambruk dan memunculkan problem emosional lagi. Karenanya, usaha terencana yang sistematis untuk mempercepat proses pemulihan ini harus juga disertai dengan usaha untuk mengurangi gelombang trauma lainnya.
Memberdayakan survivors merupakan langkah penting yang harus dilakukan secepatnya. Misalnya, segera memberi kepercayaan kepada mereka untuk berperan dan bertanggung jawab dalam menjalankan posko pengungsian. Termasuk melibatkan mereka dalam setiap proses pengambilan keputusan yang menyangkut hidup mereka. Program ini juga dapat dikaitkan dengan income generating. Dalam membersihkan permukiman, misalnya, daripada mendatangkan penduduk luar, lebih baik mempekerjakan mereka dan memberikan mereka imbalan yang sesuai. Selain akan menghidupi mereka, secara psikologis hal ini akan membangun rasa percaya diri.
Pendekatan yang berbasis masyarakat harus diutamakan, mengingat besarnya jumlah mereka yang mengalami gangguan serta terbatasnya sumber tenaga profesional. Caranya dengan memberi kesempatan kepada penduduk lokal menjadi pendamping-pendamping dan konsuler. Guru, petugas medis, pengurus masjid, dan pemimpin adat mempunyai potensi jadi pendamping. Mereka memerlukan sedikit pelatihan dan tambahan pengetahuan agar dapat berperan optimal. Pelatihan untuk menjadi konsuler inilah yang harus segera difasilitasi.
Patut disyukuri, penanganan masalah kesehatan mental pada korban bencana kali ini jauh lebih baik dan lebih cepat. Selain pemerintah, berbagai elemen masyarakat dan LSM telah masuk ke daerah bencana dengan berbagai program penanganan trauma. Keadaan ini harus diantisipasi agar tidak menimbulkan kesemrawutan baru yang dapat merugikan survivors.
Merujuk pengalaman di berbagai negara dalam penanganan bencana, Prof Benadeto Saraceno, Direktur Kesehatan Mental dan Penyalahgunaan Obat WHO, menganjurkan penguatan sistem pelayanan kesehatan mental yang ada dan menolak pendirian trauma center yang eksklusif. Alasannya, pemulihan mental memerlukan waktu yang tidak terbatas sehingga pendirian trauma center yang biasanya atas proyek jangka waktu tertentu tidak akan optimal. Adanya alternatif pelayanan pada trauma center yang eksklusif akan mengacaukan sistem kesehatan jiwa yang dibangun dengan susah payah.
Hanya, niat baik untuk menolong jangan dicegah. Karenanya, usaha membantu pemulihan kesehatan mental oleh berbagai lembaga sebaiknya berkoordinasi dengan sistem yang ada serta dapat mendukung sistem yang nyaris lumpuh ini untuk tumbuh menjadi kuat. Koordinasi, sesuatu yang belum tampak hingga saat ini, akan membuat bantuan lebih merata dan efisien.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo