Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Mudjair, Mukibat, dan Nasib Pemuliaan Tanaman

Harus ada upaya untuk memperkuat ketahanan pangan melalui pemuliaan jenis flora dan fauna, sekaligus menjaga harta paling berharga di Indonesia, yaitu benih lokal dan keanekeragaman hayati kita.

24 Juli 2023 | 08.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi sayuran. Unsplash.com/Inigo De la Maza

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mudjair dan Mukibat adalah dua nama yang berjasa dalam bidang pemuliaan hidupan liar. Dua orang awam yang berinovasi dan berkontribusi nyata. Empang dan sawah adalah laboratorium mereka. Mudjair dan Mukibat patut disebut sebagai ilmuwan rakyat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mudjair lahir di Kecamatan Kanigoro, Kabupaten Blitar, Jawa Timur pada 1890. Dia penemu dan pengembang ikan mujair. Biota laut yang diduga berasal dari Afrika Utara itu dia temukan di Pantai Serang, Blitar, pada 1936. Rasa penasaran membuatnya mengoleksi ikan-ikan liar tersebut di empangnya. Karena banyak ikan yang mati, Mudjair berinovasi memadukan air laut dan air tawar agar ikan beradaptasi. Pada percobaannya yang kesebelas, Mudjair berhasil memijah ikan di habitat baru dan mampu berkembang biak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lain lagi cerita Mukibat, penemu singkong raksasa dari daerah Ngadiloyo, Kediri, Jawa Timur, yang lahir pada 1903. Dia menerapkan inovasi budidaya dengan menyilang-sambungkan batang atas ubi kayu karet atau telo genderuwo (Manihot glaziovii) yang rasa umbinya pahit dan beracun dengan batang bawah ubi kayu, Manihot esculenta. Teknik penyambungan atau okulasi yang dilakukannya pada 1961 menghasilkan produksi umbi sebanyak tiga hingga enam kali umbi ubi kayu biasa.

Pemuliaan dan domestikasi hidupan liar telah menjadi langkah penting dalam menghasilkan jenis baru atau varietas unggul dengan karakteristik yang diinginkan seperti, memiliki daya tahan penyakit, tumbuh cepat, produksi tinggi, dan penampilan menarik. Memperbanyak jenis unggul ini dikembangkan secara komersil untuk memenuhi kebutuhan pasar sekaligus menjadi mata rantai pelestarian genetik atau jenis sehingga berkesinambungan.

Kini, kita semakin jarang menemukan keberhasilan pemuliaan jenis flora/fauna di tengah krisis hilangnya keanekaragaman hayati yang super cepat atau biodiversity loss akibat dampak perubahan iklim. Apa yang sesungguhnya yang terjadi? Benarkah pemuliaan benih di negeri megabiodiversity ini mandek?

Pemuliaan Tanaman Era Hindia Belanda

Kekayaan rempah-rempah di Jawa, Makassar, dan Maluku, menarik minat pedagang Eropa ke Nusantara. Rivalitas bangsa-bangsa Portugis, Belanda, dan Inggris dalam berniaga rempah-rempah mengakibatkan monopoli dan penguasaan dengan kekuatan senjata. Kalah berniaga “barang mewah” rempah-rempah dari negara seterunya-Inggris, Belanda berekspansi ke sektor lahan dengan komoditas kopi, tembakau, tebu pada akhir abad 18. Seabad kemudian diikuti jenis-jenis baru kina, teh, karet, dan kelapa sawit. 

Dikutip dari berbagai sumber, Belanda mendatangkan bibit introduksi dari luar Indonesia dan dibudidayakan dalam perkebunan (monokultur) serta membangun pabrik pengolahannya untuk tujuan ekspor. Kopi (Coffea sp) telah ditanam di Jawa sejak 1696 dan meluas ke Sulawesi pada 1750, hingga dikembangkan ke Sumatera Utara pada 1888 dan Gayo, Aceh pada 1924. 

Daun teh (Camellia sinensis) awalnya ditanam sebagai tanaman hias, kemudian biji-bijinya didatangkan dari Tiongkok dan dibudidayakan sejak 1728. Bibit kina (Cinchona) diselundupkan ahli botanis Franz Wilhelm Junghuhn dari India dan ditanam di Bandung Barat, Jawa Barat, pada 1830. 

Jenis-jenis liar dari hutan tropis juga didatangkan dan melalui pemuliaan tanaman. Karet (Hevea brasiliensis) dari hutan tropis Brasil dibudidaya di Sumatera pada 1864. Ada pula kakao dari Venezuela yang diboyong dan ditanam pada 1880 di Indonesia. 

Di bawah kepemimpinan Gubernur Jenderal Johanes van Den Bosch, 1830, politik cultuurstelsel atau tanam paksa untuk mengontrol lahan dan tenaga kerja secara sistmatis dilakukan birokrasi pemerintah kolonial sejak 1847. Upaya ini sekaligus mengukuhkan pembangunan perkebunan teh, kopi, tebu, dan kakao yang mewajibkan setiap desa menyisihkan 20 persen lahan untuk ditanami. 

Lebih jauh, politik tanam paksa juga menyiapkan strategi pemuliaan tanaman melalui pembangunan kebun uji coba untuk jenis-jenis baru yang diperkenalkan ke Indonesia. Dipimpin seorang ilmuwan botani dan kimia berkebangsaan Jerman, Prof. Caspar Georg Karl Reinwardt merintis herbarium bogoriensis dan Kebun Raya Bogor sebagai kebun koleksi dan uji coba yang diresmikan 18 Mei 1817. 

Kelapa sawit (Elaeis guineensis) adalah salah satu jenis yang diuji coba di Kebun Raya Bogor dan menjadi komoditas primadona hingga kini. Adalah Dr. D.T. Pryce yang membawa dua bibit dari Boubon, Mauritius, dan dua bibit jenis Dura dari Amsterdam pada 1848 yang ditanam sebagai tumbuhan koleksi. Setelah berhasil dibudidaya di Bogor, mulailah bibit kelapa sawit dikirim ke Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara, Maluku untuk uji multilokasi. 

Pada 1878, penanaman pertama kelapa sawit berhasil dikebunkan seluas 0,4 hektare di Deli Sumatera. Tanaman kelapa sawit tumbuh subur melebihi kondisi di habitat aslinya di Afrika Barat. Pada 1916, di Indonesia telah terdaftar 19 perusahaan perkebunan, dua pabrik pengolahan kelapa sawit, kemudian berturut-turut dibangun di Sungai Liput pada 1918 dan di Tanah Itam Ulu pada 1922. Hingga 2017, luas kebun kelapa sawit telah mencapai 14 juta hektare. Pada 1870 sebuah Undang-Undang Agraria disahkan di Belanda yang menghapus kerja paksa dan mengizinkan perusahaan swasta menyewa tanah di daerah yang jarang penduduk.

Tanaman “anggur" Papua dari keluarga Pandanaceae (Sararanga sinuosa) yang pertama kali dipublikasi secara ilmiah oleh peneliti Becarri pada 1875, dan Hemsley, 1894. Dikonfirmasi keberadaannya pada 2006 oleh peneliti LIPI Dr. Ary P. Keim di Desa Sarawandori, Serui, Yapen, Papua, sebagai jenis liar dan berpotensi dikembangkan sebagai buah-buahan nasional. Dok. Istimewa

Selanjutnya: Pasang Surut Pemuliaan

Kini, warisan politik tanam paksa itu telah menjadi komoditas beserta sistem pengolahan agroindustri penghasil devisa. Pemerintah menasionalisasi perkebunan-perkebunan Belanda melalui Undang-Undang Nomor 86 tahun 1958. Perbaikan pengelolaan kebun dan manajemen benih misalnya baru-baru ini dideklarasikan di Makasar dengan meluncurkan Program BABE BUN atau Bank Benih Perkebunan oleh Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo untuk pengadaan benih unggul perkebunan terutama kelapa sawit.

Menjelang usia 78 tahun kemerdekaan RI, pemerintah belum berhasil melahirkan sistem agroindustri komoditas baru seperti pada masa Hindia Belanda. Ini sungguh ironis mengingat Indonesia sebagai negeri mega biodiversity yang kaya sumber hayati, namun belum juga menjelma sebagai negera agro industri super dunia. 

Menelisik sejarah, pada awal 2006, pemerintah mencetuskan kebijakan Bahan Bakar Nabati (BBN) dengan komitmen mendorong diversifikasi sumber bahan baku nabati sebagai agro industri baru. Namun pengembangan tumbuhan asli Indonesia nyampung (Chalophyllum inophyllum) dan jarak pagar (Jatropha curcas) menjadi agro industri BBN tak kunjung terwujud. Agaknya kita sekarang berharap pada pengembangan kemiri sunan (Reutealis trisperma) yang tengah dikembangkan untuk industri biosolar.

Sementara dalam kelimpahan keanekaragaman hayati, nipah (Nypa frutican) dan sagu (Metroxylon sagu) belum tergarap menjadi aset agro industri nasional sebagai sumber pangan dan bioenergi. Sama nasibnya dengan lontar (Boraqssus flabellifer), gebang (Corypha), dan aren (Arenga pinnata) yang seratnya berpotensi mendukung industri tekstil dan gula. Ihau (Dimocarpus logan spp) dan Matoa (Pometia pinnata), buah dari hutan terbatas dicicipi warga lokal di Kalimantan dan Papua karena buahnya dipungut dari hutan setempat, dan belum dikembangkanbiakan secara luas. 

Nasib serupa untuk buah “anggur papua” dari keluarga Pandanaceae (Sararanga sinuosa) yang pertama kali dipublikasi secara ilmiah oleh peneliti Becarri pada 1875, dan Hemsley, 1894. Dikonfirmasi keberadaannya pada 2006 oleh peneliti LIPI Dr. Ary P. Keim di Desa Sarawandori, Serui, Yapen, Papua, sebagai jenis liar namun punya potensi dikembangkan sebagai buah-buahan nasional.

Buah "anggur" Papua dari keluarga Pandanaceae (Sararanga sinuosa). Keberadaan "anggur" Papua ini dikonfirmasi oleh peneliti LIPI Dr. Ary P. Keim pada 2006. Buah ini terdapat di Desa Sarawandori, Serui, Yapen, Papua, sebagai jenis liar dan berpotensi dikembangkan sebagai buah-buahan nasional. Dok. Istimewa

Tengkawang atau disebut illipe nut, tumbuhan hutan Kalimantan dan ditemukan juga di Sumatera (Shorea spp.) telah dibudidaya sejak 1881. Tanaman ini memiliki potensi lemak untuk bahan industri minyak nabati dan kosmetika. Mereka menanti dikembangkan agar manfaat ekonominya dapat dirasakan sebelum punah karena deforestasi. 

Keberadaan nipah, sagu dan tengkawang di habitatnya, sesungguhnya sangat mungkin dikembangkan sehingga dapat dikelola sebagai sistem agroforestri dengan manajemen agro-industri modern. Nipah dan Sagu juga merupakan jenis paladikultur yang dapat dibudidaya di lahan gambut, sehingga memberi nilai tambah bagi pengembangan komoditas itu secara ekologi dan ekonomi.

Sebaliknya, pemuliaan tanaman untuk orientasi pasar semata berpotensi menggerus kaya ragam jenis tanaman. Indonesia adalah pusat penyebaran durian (Durio zibeethinus) atau disebut center of origin. Namun akibat merespons peminat durian semata, pasar hanya menyediakan jenis-jenis tertentu yang sangat diminati, seperti durian montoung dan durian petruk. Akibatnya mengeliminasi keberadaan ragam jenis lokal durian nusantara. Kondisi ini juga terjadi pada mangga, jambu, duku, dan kedelei lokal.

Melalui Undang-Undang No 29 tahun 2000, pemerintah menjamin perlindungan varietas tanaman (PVT) meliputi varietas dari jenis species tanaman yang baru, unik, seragam, stabil, dan diberi nama. Perlindungan hukum atas PVT bagi pemulia tanaman di Indonesia diharapkan mendorong kreativitas hingga mendatangkan investasi di bidang penemuan varietas unggul dan mendukung industri perbenihan modern. 

Hingga Oktober 2019, sebanyak 748 permohonan hak PVT telah diajukan dan 470 di antaranya diterima atau ditetapkan sebagai varietas baru. Sebanyak 133 ditarik kembali dan 27 permohonan ditolak. Kebanyakan permohonan PVT tersebut adalah untuk komoditas padi, sayur-sayuran (timun, buncis, pare), dan buah-buahan seperti tomat dan melon. 

Kendati kepastian hukum atas pelepasan varietas baru telah dijamin pemerintah, banyak petani/pemulia tidak mengajukan perolehan hak PVT. Tercatat, hingga 2019 ada sebanyak 32 orang pemulia, 97 badan pemerintah, 15 perguruan tinggi, dan 286 perusahaan dalam negeri serta 40 perusahaan luar negeri yang memperoleh hak PVT.

Selanjutnya: Kendala Pemuliaan

Prof Mary Astuti dan Setyastusi Purwanti MS dari Fakuktas Pertanian dan Teknologi Benih Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, beruntung karena riset mendapatkan varietas kedelai hitam Malika disambut kerja sama Unilever pada 2001. Dukungan dana pengembangan benih kedelai hitam itu memungkinkan ia dan tim nya melakukan uji multilokasi dan uji DNA serta melepas varietas Malika melalui Kementerian Pertanian pada 2007.

Cerita berbeda datang dari peneliti Crop Center Universitas Padjadjaran, Jatinangor, Jawa Barat. Mansyur dan Dedi Ruswandi adalah peneliti yang harus berjuang mencari dana riset untuk melepas varietas hasil inovasi pemuliaan tanaman di laboratorium mereka. 

Mansyur menuturkan dibutuhkan sedikitnya Rp 500 juta untuk melakukan uji multilokasi guna melepas varietas baru di sepuluh lokasi eksistem agro yang berbeda sebagai persyaratan pemerintah. Dana untuk uji multilokasi saat ini tak mudah didapatkan dari pemerintah, sementara sumber dana lainnya belum tersedia. Dia harus merelakan tujuh calon varietas baru hasil inovasi pemuliaannya hilang sebelum dikembangbiakkan karena terkendala dana uji rilis varietas. 

Merilis varietas baru adalah cara mempertahankan jenis dan ekspresi genetik suatu tanaman dari laboratoruim ke pasar sehingga bersinambungan dan lestari. Kalaupun dana uji multilokasi berhasil diperoleh, varietas pembanding sebagai kontrol terhadap calon varietas baru tak tersedia lagi, sehingga upaya rilis varietas baru tak dapat dilakukan. 

Dedi Ruswandi menambahkan, "ada hukum positif berlaku, bahwa peneliti atau petani pemulia benih yang melakukan inovasi pemuliaan tanaman yang melibatkan pengkayaan genetik/kawin silang harus melakukan uji multilokasi sebelum dirilis, diedarkan, atau diperjualbelikan. Tanpa uji multilokasi perbanyakan benih dianggap melanggar hukum".

Pemerintah harus dapat menjamin tersedianya sumber pendanaan dan mekanisme dukungan bagi rilis varietas baru ini. Misalkan dengan menciptakan mekanisme pendanaan yang dicangkokkan pada Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) atau mengoptimalkan peran Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Tentunya agar selalu tersedia dana untuk memperkuat ketahanan pangan melalui pemuliaan jenis flora dan fauna, sekaligus menjaga harta paling berharga di nusantara, yaitu benih lokal dan keanekeragaman hayati kita. (*)

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus