APAKAH yang tak dimiliki Muhammadiyah? Perserikatan yang didirikan oleh K.H.A. Dahlan pada tahun 1912 itu sudah memiliki hampir segalanya: kewibawaan, kebesaran, popularitas, dan prestasi. Selebihnya, ini yang terpenting, amal saleh, yang tak mungkin tak terekam dalam disket Allah. Jasa Muhammadiyah pada agama tak dapat dilupakan. Ia telah berhasil mengangkat nama Islam dan harga diri umatnya. Pada saat umat Islam masih dalam keterbelakangan, kolot, tak terdidik, sarungan, dan theklekan (pakai bakiak), Muhammadiyah bertindak. Organisasi kaum reformis itu pelanpelan mengajari pengikutnya memakai pantalon, kemeja, dasi, dan juga jas. Gagasan transformasi kultural pertamanya ialah bahwa Islam itu agama modern. Karena itu umatnya harus juga tampil modern, mentereng, dan gagah seperti Belanda. Tetapi, tampil mentereng seperti Belanda itu pula yang dulu menimbulkan persoalan bagi beberapa pihak. Tentu saja, bukan maksud Muhammadiyah untuk berkiblat pada Belanda. Muhammadiyah hanya gandrung pada modernitas. Menjadi modern adalah kebutuhan, yang harus dipenuhi pada waktu itu. Juga sekarang. Transformasi kultural ini (yang dapat juga diberi harga politis) menimbulkan dampak psikologis, yang besar. Sistem pendidikan, yang juga dikelola secara modern, memperkukuh serta memberi basis, yang lebih kuat bagi usaha pembaruan yang dilakukannya. Bila di hari akhir-akhir ini ada keresahan di kalangan Muhammadiyah (sebagian karena penilaian bahwa Muhammadiyah telah berhenti berfungsi sebagai kekuatan pembaru, dan NU yang kolot dulu itu malah dianggap mengambil alih tugas tersebut), itu pertanda baik. Keresahan itu dapat dimengerti karena segala kebesaran dan prestasi Muhammadiyah diam-diam menjadi beban moral bagi umatnya sekarang. Bagaimanapun, ada juga rasa "rikuh", karen mungkin benar, Muhammadiyah tertinggal dari NU. Untuk mengakui ini sebagai kebenaran, diperlukan sejenis keberanian. Di dasar hati umat, pengakuan itu sebenarnya ada. Hanya tak dinyatakan. Timbulnya gagasan untuk mengembangkan diri secara lebih profesional, dan untuk itu diusulkan agar pengurus digaji, mempertegas pengakuan terselubung itu. Timbulnya "kericuhan" dalam Muktamar ke-42 di Yogya tahun lalu itu, sebagian juga karena munculnya isyarat ingin lebih maju. Tampilnya pendekar-pendekar muda -- yang lebih segar, lebih berpendidikan, dan lebih konsepsional -- dalam kepengurusan baru, adalah tanda bahwa Muhammadiyah responsif dan antisipatif terhadap tuntutan zaman. Soal bahwa setelah "sekian lama kumenunggu" belum ada juga tanda-tanda bakal adanya tindakan tertentu dari para pendekar muda itu, saya kira hanya soal waktu. Di Muhammadiyah orang harus sabar. Orang sabar kekasih Allah. Tindakan "diam" itu jadinya ada pula dasar hukumnya. Usaha pembaruan, seperti halnya revolusi, sering makan korban anak kandungnya sendiri. Dan bila persoalan harus diselesaikan, penyelesaian pusat dapat adil: semua ditindak atau semua dibiarkan demi ukhuwah Islamiah. Memberi maaf, demi ukhuwah Islamiah, jadi keharusan. Benar bahwa persoalan administratif tak dapat diberi jawaban moral seperti itu. Tapi, itulah jalan "bijak" yang diyakini sampai hari ini. Anjuran untuk bersama-sama ibadah dan beramal bagi Muhammadiyah, sering ditujukan kepada dosen. Dosen dilatih tirakat, demi ibadah dan amal saleh. Namun, bagaimana menjabarkan ibadah dan amal saleh dalam bahasa manajemen universitas, yang mendasarkan diri pada asas legal rasional? Orang diminta tahu sendiri. Semua itu tentu saja baik. Tapi rasanya akan lebih baik kalau kita mencoba membebaskan diri dari jargon moral seperti itu. Sebab, sudah terbukti dengan berpijak di alam moral kita lalu jadi abai terhadap keharusan membenahi struktur di sekitar, dan dalam diri kita. Kita, karenanya perlu bersikap lugas, dan biasabiasa saja. Artinya, Muhammadiyah harus dilihat apa adanya: dia bukan lembaga suci. Para anggota, pimpinan, dosen dan staf universitas juga orang biasa yang doyan nasi. Maka, kalau ada yang menyimpang perlu ditindak berdasarkan aturan keduniaan yang jelas. Kemudian soal senioritas itu. Di Muhammadiyah, ukuran senioritas ditentukan oleh rambut. Makin putih rambut, makin seniorlah dia. Perkara para senior kenyataannya kalah cerdas dari yang bukan senior, itu soal lain. Kecerdasan itu hanya persoalan gizi. Omong-omong, tak semua universitas di kalangan Muhammadiyah begitu. Malik Fajar, rektor Universitas Muhammadiyah Malang itu, adalah perkecualian. Ia, dalam seminar HIPIIS VI di Yogya tahun lalu, membujuk-bujuk Aswab Mahasin untuk menjadi guru besar di universitasnya. Kita tahu, Aswab belum memenuhi syarat administratif untuk jabatan itu. Tapi, Rektor kita itu lebih berorientasi pada isi, bukan pada prosedur. Dan ia benar: Kiai Aswab itu banyak isinya. Ini fenomena lain di Muhammadiyah. Artinya, bibit seperti ini tidak tumbuh di semua universitas yang dikelola Muhammadiyah. Semangat serupa, dugaan saya, memang menyebar di mana-mana dalam tubuh Muhammadiyah. Namun, semangat saja tidak cukup. Dukungan struktural dan kebijakan, yang tegas memihak pada mereka yang berorientasi pada pengembangan, adalah sesuatu yang ditunggu di tingkat bawah. Jadi, memihak mereka yang jelas berusaha menghidup-hidupkan Muhammadiyah. Dan bukan mengutamakan mencari hidup di dalamnya. Maka, jika sekali lagi ditanyakan, apakah yang tak dimiliki Muhammadiyah, jawab saya tetap: Muhammadiyah sudah memiliki hampir segalanya. Tapi, beranikah kita, setiap umat Muhammadiyah, mengklaim bahwa kita telah memenuhi wasiat Kiai Dahlan untuk menghiduphidup Muhammadiyah tanpa merongrongnya? Saya tidak ingin membuat sebagian orang menepuk dada karena bangga dan sebagian yang lain merasa tersipu-sipu. Oleh karena itu sebaiknya pertanyaan "subversif" ini kita simpan saja dulu. Kelak, bila sesekali kita sempat menarik jarak dari diri sendiri, bolehlah kita dengan tenang menjawabnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini