ORDE baru berumur 15 tahun. Hari itu pertama kalinya saya makan
siang di Kentucky Fried Chicken di belakang bioskop Menteng, dan
membaca tentang krisis ekonomi Vietnam.
Majalah Far Eastern Economic Review, yang saya pelototi sembari
menggenggam sepotong paha ayam gemuk, bercerita dengan kering.
Ataukah konsentrasi saya memang mudah terganggu? Di sebelah saya
duduk seorang cewek muda, memakai jeans mutakhir: menggelembung
buruh di bagian pinggul. T-shirtnya bergambar Bung Karno.
Toh artikel itu kembali berhasil menyeret perhatian saya.
"Produksi kita merosot," begitulah dikutip pengarahan Politbiro
Partai Komunis di Hanoi, November 1980. "Kehidupan rakyat
pekerja sedang memburuk." Dan seorang pegawai muda di ibukota
Vietnam yang komunis itu dikutip berkata, "Gaji bulanan saya
hanya bisa untuk membeli 20 kobis."
(Kini cewek di samping mereguk Sprite-nya, Saya mencelupkan
paha ayam di tangan saya ke saus yang pedas).
Problem terbesar Vietnam kini adalah pangan. Sebuah tim PBB
berkeliling di sana tahun lalu. Mereka memperkirakan, bahwa
antara Oktober 1980 dan September 1981 Vietnam akan menghadapi
defisit sebesar 4,4 juta ton padi. Jika tak ada bantuan darurat,
enam juta orang Vietnam akan menderita kurang gizi.
(Sebuah lagu yang saya kenal tapi tak saya ketahui namanya
tiba-tiba mendebur dari salah satu sudut. Di dinding, di dalam
pigura berkaca dan bercahaya, ada daftar harga dalam bahasa
Inggris hanya angkanya ditulis dalam rupiah. Gambar Kolonel
Sanders di dekatnya tak tersenyum. Ia seperti sedang menatap
bintang.
Harland Sanders. Di tahun 1956 ia memulai bisnis ayam goreng
ini. Orang tua yang sukses ini, wiraswasta dari kota Louisville
ini, bertelekan pada tongkat: air mukanya puas. Rambutnya putih,
kumisnya putih, jasnya putih. Seperti layaknya seorang
entrepenuer yang menikmati hasil jerih-payahnya, ia percaya
kepada kerja keras dan kekayaan yang diraih. Ia seorang yang
percaya kepada kapitalisme Amerika).
"Kami telah melakukan kesalahan," kata Hoang Tung, pemimpin
redaksi koran Partai, Nhan Dan (saya kembali membaca artikel
tentang Viemam itu). "Semangat pemerataan, egalitarianisme,
dalam ekonomi kami, telah menyedot kegairahan para pekerja yang
baik."
Sebuah kartun Vietnam yang dilukiskan dengan gaya bersahaja pun
nampak mengejek: petani yang bekerja di sawah milik negara hanya
bersikap santai, sementara petani yang bekerja di ladang pribadi
sampai melemburkan kerbaunya ke larut malam.
Adakah Vietnam seperti halnya RRC -- kini juga sedang mencoba
menempuh "jalan kapitalis"? Adakah terbit kesadaran dalam diri
para pemimpin komunis di sana, bahwa orang pada umumnya, pada
suatu taraf kesulitan hidup, akhirnya akan mementingkan diri
sendiri? Bahwa dengan begitu ia tak acuh tentang keadaan
tetangganya, nasib buruk koleganya dan kepincangan sosial orang
sebangsanya? "Hanya dengan pembagian yang tak merata, kita dapat
menegakkan pemerataan," kata Tung menyimpulkan -- seolah
mengucapkan teka-teki.
Maka, baginya, orang pun boleh mencari untung. Siapa yang
bekerja lebih produktif, berhak jadi lebih kaya. Ada kebebasan,
meskipun harus menunda keadilan. Seakan-akan Tung percaya bahwa
dengan itu sosialisme toh tetap tak akan dikhianati. Ia seorang
pragmatis.
Percaya atau tidak, wajah Tung, dengan rambutnya yang putih
kapas itu tiba-tiba mengingatkan saya pada Kolonel Sanders...
Ketika dua karyawan restoran dengan peci kain yang ganjil tapi
necis datang membersihkan meja dan menyingkirkan piring yang
kotor, saya kembali membaca laporan wartawan Nanyan Chanda
tentang krisis ekonomi Vietnam, dan bagaimana orang pragmatis
seperti Tung mencoba mengatasinya.
Tak lama kemudian, sejumlah anak muda masuk ke restoran Kentucky
Fried Chicken dengan gambar Kolonel Sanders di Menteng itu,
mengambil baki. Dan di Kota Ho Chi-minh, dulu Saigon, anak-anak
muda penganggur konon mendengarkan musik rock sepanjang hari di
kedai kopi.
Wah, Orde Baru sudah 15 tahun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini