Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEMERINTAH daerah Jawa Tengah perlu merenungkan pepatah lama "sedia payung sebelum hujan". Banjir dan longsor yang menyapu 16 wilayah provinsi ini pekan lalu mengakibatkan 47 orang tewas, 15 terluka, dan belasan lainnya dinyatakan hilang. Gabungan kerugian material diperkirakan mencapai ratusan miliar rupiah. Boleh dikatakan, bencana banjir dan longsor ini yang terburuk mendera Jawa Tengah.
"Payung" paling diperlukan bagi warga Jawa Tengah-serta wilayah lain di Tanah Air-adalah mitigasi bencana yang komprehensif. Langkah pertama bisa dimulai dengan sikap awas dan cepat tanggap pada potensi bencana di daerah. Dua hari sebelum nahas terjadi di Jawa Tengah, Badan Nasional Penanggulangan Bencana serta Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika telah mengingatkan: hujan amat lebat akan mengguyur Jawa Tengah hingga 20 Juni tahun ini.
Mau data apa lagi? Pemetaan daerah rawan bencana juga tersedia. Di antara 918 lokasi rawan longsor di seluruh Indonesia, Jawa Tengah merupakan daerah dengan zona rawan longsor paling banyak, yakni 327 lokasi. Jangan lupa, dalam tiga tahun terakhir, banjir dan longsor berskala masif seakan-akan sudah mentradisi di sini. Informasi ini penting sekali untuk berjaga-jaga, terutama juga karena Lebaran sudah di ambang pintu. Apalagi Jawa Tengah menjadi jalur utama pemudik.
Pernyataan terbuka Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo sungguh aneh. Ia mengakui sistem peringatan dini di daerahnya masih lemah. Ini kesadaran yang baik dan semestinya dibalans dengan kewaspadaan penuh. Sayang, peringatan dua badan publik yang mengurusi bencana alam dan perikliman tersebut tak direspons dengan saksama. Informasi penting ini dianggap bak angin lalu.
Akibatnya fatal. Saat longsor tiba, penanganan bencana berlangsung gagap. Tentu saja sulit mengharapkan penyelamatan maksimal bila mobil pengeruk dan para penggali tanah baru masuk ke tengah lokasi bencana tiga hari setelah kejadian. Apalagi, di sebagian lokasi, pencarian hanya menggunakan cangkul dan peralatan tradisional seadanya.
Pemerintah tak boleh abai mengantisipasi bencana. Banjir, longsor, dan kebakaran hutan adalah jenis "nahas rutin". Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika jauh hari selalu memperingatkan datangnya awan cumulonimbus yang mendatangkan hujan lebih banyak daripada ukuran normal. Hari-hari ini, mereka memprediksi hujan lebat bakal tumpah di Jawa dan Sumatera hingga Lebaran. Fenomena badai La Nina akan memicu hujan bukan pada musimnya.
Semua informasi ini menjadi modal mitigasi bencana secara menyeluruh. Masyarakat perlu dilibatkan. Sebab, mereka punya kearifan lokal yang sudah turun-temurun dalam membaca bencana. Misalnya munculnya mata air baru serta pohon yang mendadak tumbuh miring sebagai penanda longsor. Kabupaten Purworejo berhasil menerapkan kecakapan masyarakat setempat ini ketika longsor melanda wilayah itu beberapa tahun lalu.
Nahas yang menjadi tradisi tahunan ini seharusnya sudah bisa diantisipasi pemerintah daerah. Mereka tak perlu terkaget-kaget saat banjir dan longsor muncul pada musim hujan. Tak boleh lagi gagal tanggap manakala hutan terbakar pada musim kemarau. Tanpa mitigasi maksimal dan sikap awas menghadapi bencana, kita seperti pecundang yang koppig: sudah tahu akan hujan lebat, tapi berkukuh tak sedia payung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo