Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI Kepolisian Daerah Jawa Barat, aparat yang seharusnya menangkap penjahat malah diduga berkomplot menutupi kejahatan. Pengakuan Bupati Subang (nonaktif) Ojang Suhandi menyingkap persekongkolan itu. Kepada penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi, Ojang mengaku menyuap beberapa perwira polisi agar lolos dari jerat hukum.
Kenekatan Ojang menyuap aparat memang sudah teruji. April lalu, KPK menangkap Ojang karena menyuap jaksa. Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu berusaha menghilangkan namanya dalam berkas tuntutan perkara korupsi dana Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Di pengadilan, dua bekas pejabat Dinas Kesehatan Subang didakwa menggangsir sekitar Rp 4,7 miliar dari total dana pengembalian klaim BPJS sebesar Rp 41 miliar. Keduanya telah divonis empat tahun penjara.
Direktorat Kriminal Khusus Polda Jawa Barat mengusut perkara korupsi dana BPJS ini sejak awal 2015. Anehnya, sampai Ojang ditangkap KPK, polisi tak kunjung menetapkan dia sebagai tersangka. Rupanya, semua itu tak gratis. Ojang mengaku menyogok polisi dengan tiga sepeda motor trail, servis gratis mobil off road, serta uang tunai sekitar Rp 1,4 miliar.
Yang memalukan, kejadian ini bukan yang pertama kali di Polda Jawa Barat. Pada medio 2014, Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI menahan dua perwira polisi daerah itu karena menerima suap sekitar Rp 5 miliar dari bandar judi online. Aparat hukum seperti itu selayaknya dihukum lebih berat daripada penjahat aslinya. Mereka menyelewengkan kekuasaan untuk melakukan kejahatan di atas kejahatan.
Berbekal pengakuan Ojang yang lumayan benderang, penyidik KPK seharusnya tak kesulitan meluaskan pengusutan perkara hasil tangkap tangan mereka. Apalagi Ojang telah menyerahkan sejumlah bukti yang mendukung pengakuannya. Kalaupun perkara pokok korupsi BPJS ini telah disidik polisi, KPK tak perlu ragu mengambil alih. Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi menegaskan, sekali KPK mulai menyidik perkara korupsi, kejaksaan dan kepolisian yang lebih dulu menyidik perkara yang sama harus minggir.
Ketika mengusut keterlibatan anggota kepolisian, KPK juga jangan terbebani pengalaman masa lalu: mendapat perlawanan keras, termasuk kriminalisasi. Toh, sejauh ini, ketika KPK diserang balik, dukungan publik malah menguat. Tapi itu bukan berarti KPK dan polisi harus selalu berlawanan. Mumpung pemimpin KPK dan Polri baru berganti, pengungkapan suap untuk polisi Jawa Barat justru harus menjadi momentum memperbaiki hubungan kedua lembaga. Koordinasi KPK dan Polri saatnya dirapikan lagi.
Lewat kesepakatan antar-pemimpin kedua lembaga, KPK bisa saja menyerahkan pengusutan suap untuk polisi kepada penyidik Polri. Tapi harus ada jaminan bahwa polisi akan membongkar kasus ini sampai tuntas. Agar skenario itu berjalan lancar, seharusnya bukan penyidik Polda Jawa Barat yang mengusut. Penyidik daerah bisa jadi tak leluasa mengusut kolega atau bahkan atasan mereka. Karena itu, Markas Besar Polri harus menarik perkara ini ke Jakarta.
Bila kasus suap ini kelak ditangani Markas Besar Polri, KPK tak boleh lepas tangan. Undang-undang memerintahkan KPK menjalankan fungsi supervisi. Dengan pengawasan yang ketat, ruang gerak aparat untuk berkomplot dengan penjahat seharusnya bisa dipersempit.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo