ADA pendapat, nasionalisme sekarang rasional. Pendapat lain mengatakan, nasionalisme mengalami erosi, saya punya pendapat, nasionalisme sekarang erosional dan erosionalisme sekarang nasional. Tetapi semua itu hanya pendapat. Padahal, daripada punya pendapat, febih baik punya pendapatan, bukan? Bagaimanapun, nasionalisme selalu dikaitkan dengan pahlawan atau hero. Sama-sama tokoh yang dipuja-puji, sebenarnya ada perbedaan antara pahlawan dan hero. Pahlawan adalah orang yang menegakkan keadilan, membela kaum lemah, dan menjadi nama jalan. Sedangkan hero nama supermarket yang berceceran di Jakarta. Kalau perempuan namanya heroine - dan rontok satu huruf belakang menjadi heroin. Tetapi hero jenis lain adalah jagoan yang memenuhi novel serta film Barat, dari Mark Twain sampai Clint Eastwood. Itu tokoh yang seperti halnya pahlawan juga gigih membela kaum lemah, tapi yang dengan individualisme menonjol punya satu ciri khas: melawan arus. Sedangkan pahlawan, kalau kita mau bicara arus-arusan, paling banter mengarahkan arus, atau bermusyawarah dengan arus untuk membelokkan arahnya. Tapi jangan &kira tidak ada orang dalam negeri yang kesengsem dengan sikap heroik melawan arus, atau "lain dari yang lain". Saya pernah berbicara dengan tokoh semacam itu sekitar 35 tahun lalu, di kala perjuangan bersenjata mempertahankan kemerdekaan sedang ngetop-ngetopnya. Saat itu sekitar 17 Agustus, jadi saya merasa berhak mengadakan poll untuk mengetahui kadar nasionalisme di masyarakat. "Bagaimana pendapat Bung tentang perjuangan kemerdekaan kita ini?" tanya saya, lebih untuk berbasa-basi, karena sudah punya dugaan bagaimana seorang Indonesia akan menjawabnya. Tetapi bagai disambar geledek di ubun-ubun saya mendengarnya menjawab, "Saya tidak setuju kita diharuskan berjuang. Kita, rakyat 'kan punya hak. Mengapa kita harus menjadi budak pejuang?" Saya ingin shock mendengar pernyataan demikian keluar dari seorang tokoh. Tetapi berhubung waktu itu kata shock belum diimpor, saya memutuskan untuk kaget biasa saja. "Jadi, Bung antikemerdekaan?" tanya saya sambil menggerayangi pistol yang tidak ada di pinggang. "Bukan" jawabnya tegas - dan cepat. "Ituah kalau Saudara terburu-buru mengambil sikap di luar konteks. Kalau begini, kesannya bisa saya antikemerdekaan. Lalu jadi polemik." "Kalau begitu, apa itu konteks, Bung? Atau mungkin lebih tepat: konteksnya apa, Bung?" tanya saya tidak terlalu pintar. "Konteksnya, saya mendukung kebijaksanaan mempertahankan kemerdekaan. Saya hanya ingin membuat konteks bahwa perjuangan yang berlebihan harus dihindari. Dunia sekarang kacau karena banyak bangsa lain yang juga melakukan perjuangan yang berlebihan. Ada semacam 'perlombaan perjuangan'. Kita tidak bisa ikut-ikutan dalam iklim semacam ini. Kita justru harus ofensif mengekspor perjuangan kita ke luar negeri," sahutnya, juga tidak terlalu pintar. Karena muka saya tetap tampak tidak terlalu pintar, ia mencoba menerangkan lagi dengan sabar. "Perasaan bangga, ya. Tanggung jawab, ya. Tapi perasaan berkorban, nanti dulu !" serunya berapi-api, sampai rokoknya yang belum disulut terbakar sendiri. Tetapi segera ia sadari bahwa ia berapi-api tanpa konteks, sehingga buru-buru ia mencoba menjelaskan lagi. "Maksud saya, agar para pejuang melakukan perjuangannya dengan lebih bertanggung jawab. Jangan suka mengambil telur penduduk atau minta makan gratis. Berjuang, saya setuju - tapi tidak usah berkorban. Sebab, kalau ada unsur pengorbanan hubungan antara pejuang dan rakyat, biasanya yang berkorban rakyat." "Tapi rupanya Bung lupa bahwa pejuang juga rakyat dan rakyat juga pejuang dan perjuangan, tidak bisa tidak, membutuhkan pengorbanan. Kalau bukan kita sendiri, siapa lagi yang akan memelopori perjuangan kemerdekaan kita?" saya tak mau kalah. "Nah, itu - itu yang saya tidak ingin dengar," katanya, padahal ia toh sudah dengar. "Kita harus usahakan agar orang asing mau berjuang untuk kemerdekaan kita! Jangan terlalu proteksionistis begitu, dong. Saya masih ingin berdebat lebih lanjut, tetapi kopi hidangan sudah mulai habis dan tampaknya tidak akan ditambah. Namun, sebagai tamu yang baik, saya ingin berpisah dengan meninggalkan kesan yang masih menyenangkan. "Bagaimanapun, saya kagum dengan Bung bahwa Bung ternyata berani mengeluarkan pernyataan yang melawan arus. Di mana orang sepenuh Jiwa mempertahankan perjuangan, Bung sanggup mengatakan yang berbeda. Orang seperti Bung tidak ada duanya." Tersipu saja ia tidak, apalagi tersipu-sipu, ketika ia berucap, "Ada, meskipun bukan sekarang. Kelak, sekitar 17 Agustus 1984, akan ada seorang tokoh lain yang bersikap seperti saya, membuat pernyataan kontroversial dalam poll sebuah majalah berita. Tentu saja, tidak mengenai perjuangan fisik, melainkan perjuangan ekonomi. Ya, di tahun '84 itu!" "Akan ada reaksi?" saya ingin tahu. "Gencar! Di koran-koran, bahkan di majalah yang sama. Seperti dalam tulisan brengsek ini, misalnya." "Ah, masa," sahut saya, tidak percaya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini