Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Negara, Masyarakat dan Era New Normal

PSBB masih banyak pelanggaran, sedang new normal menyapa untuk diterapkan.

10 Juni 2020 | 16.30 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

COVID-19 menjadi realitas penyakit yang mengubah struktur sosial masyarakat. Perilaku sosial berubah, begitu pun kohesi sosial. Cara (usage), kebiasaan (folkways), tata kelakuan (mores), dan adat istiadat (custom) turut beradaptasi. Secara sosiologis setidaknya pandemi Covid-19 terkonstruksi empat persepsi di masyarakat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pertama, Covid-19 merupakan jenis penyakit yang berbahaya. Sejak ditemukan Covid-19 di Wuhan China, Covid-19 diyakini oleh para ahli kesehatan tidak begitu tinggi tingkat persentase kematiannya daripada virus lain seperti SARS dan MERS. Namun Covid-19 menjadi virus berbahaya karena tingkat penyebarannya sangat cepat dibandingkan dengan virus lain. Itu terbukti dengan cepatnya penduduk di dunia yang terinfeksi Covid-19.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kedua, Covid-19 merupakan ancaman bagi berbagai sektor kehidupan. Selain kesehatan, Covid-19 turut mengancam kehidupan sosial, ekonomi, pendidikan, dan politik di berbagai negara. Pada aspek kehidupan sosial, hubungan sosial terbatasi, disorganisasi dan disfungsi sosial terjadi di masyarakat. Sementara pada aspek ekonomi, tingkat kemiskinan meningkat dan mekanisme transaksi perdagangan berbasis online. Sedangkan pada sektor pendidikan, model pembelajaran harus dilakukan jarak jauh secara daring. Pada kehidupan politik juga tidak lepas terkena dampaknya. Ego sektoral antar lembaga pemerintah dan politik dramaturgi untuk meraih simpati masyarakat menjadi fenomena dalam konteks politik di tengah pandemi Covid-19.

Ketiga, Covid-19 diyakini oleh beberapa pihak sebagai bentuk konspirasi global yang sengaja dibuat untuk kepentingan kapitalisme dan penjajahan model baru berbasis senjata biologis. Walaupun belum ada studi ilmiah terkait dengan persepsi ini, hal ini menjadi menarik karena banyaknya perdebatan yang terjadi di masyarakat. Saat masyarakat mulai mengalami berbagai tekanan mekanisme hidup di tengah pandemi Covid-19, rasa ketidakpercayaan masyarakat muncul dan dapat meyakini persepsi ini. Teori konspirasi global berkembang dan menjadi hipotesa masyarakat dalam situasi yang tidak menentu.

Keempat, pandemi Covid-19 sebagai sumber pendapatan ekonomi baru. Pada persepsi ini beberapa pihak meyakini bahwa pandemi Covid-19 menguntungkan bagi dirinya, bagi kelompoknya, dan bagi perusahaannya untuk meningkatkan sumber pendapatan ekonomi. Persepsi keempat inilah yang melahirkan para aktor ekonomi yang menaikkan harga barang jauh lebih tinggi daripada harga sebenarnya karena permintaan masyarakat yang tinggi. Aktor ekonomi ini tidak peduli dengan rasa simpati dan empati di masa pandemi, bagi mereka bisnis adalah bisnis.

Empat persepsi di atas, dapat menggambarkan dinamika respon masyarakat pada berbagai kebijakan pemerintah terkait pandemi Covid-19. Persepsi ini juga dapat kita pahami pada level kesadaran, kedisiplinan, dan perilaku sosial di masa pandemi.

Adaptasi hidup darurat pandemi

Sejak akhir tahun 2019 hingga menjadi pandemi, dampak Covid-19 sangat luar biasa pada pelbagai sektor kehidupan di masyarakat. Berdasarkan data dari WHO tertanggal 9 Juni 2020, terdata kasus pandemi Covid-19 ada di 216 negara, 7.039.918 kasus terkonfirmasi, dan 404.396 kasus yang meninggal. Sedangkan data perkembangan pandemi Covid-19 di Indonesia berdasarkan data dari gugus tugas, terdata ada 33.076 kasus yang terinfeksi, 11.414 kasus sembuh, dan 1.923 kasus meninggal. Bahkan saat ini di Indonesia masih terus ada penambahan kluster baru penyebaran Covid-19, baik berbasis wilayah maupun aktivitas. Pelbagai upaya untuk menghadapi pandemi Covid-19 pun dilakukan, seperti karantina rumah, isolasi mandiri, karantina fasilitas khusus, karantina rumah sakit, dan karantina wilayah.

Upaya – upaya menghadapi pandemi Covid-19 sudah dilakukan. Menjadi pertanyaan, sampai kapan masyarakat dengan pelbagai sektor kehidupannya harus hidup dalam masa ketidakpastian, ketidaknyamanan dan ketidakamanan dari situasi pandemi. Mengingat saat ini pun belum ditemukan vaksin atau obat untuk penyembuhan para korban yang terinfeksi Covid-19. Bahkan para ahli kesehatan memprediksi pandemi Covid-19 masih akan berlangsung hingga tahun kedepan.

Menjawab situasi dan kondisi yang terjadi, maka tatanan kehidupan normal baru atau new normal menjadi alternatif exit strategy. Tatanan new normal merupakan transformasi perilaku hidup di masyarakat untuk tetap menjalankan aktivitas normal namun dengan menerapkan protokol kesehatan sampai ditemukannya vaksin yang dapat menyembuhkan para korban yang terinfeksi Covid-19.

Terlepas dari perdebatan istilah, tatanan new normal secara sosiologis sama dengan istilah adaptasi hidup darurat pandemi. New normal dimaksudkan agar pelbagai sektor kehidupan yang tadinya tersendat bahkan berhenti, dapat (sedikit) bergerak kembali. Dengan kata lain, adaptasi hidup darurat pandemi sebagai upaya meredam laju tingkat kerentanan sosial di masyarakat yang tidak menentu. 

Kerentanan sosial menjadikan posisi ketahanan masyarakat (community resilience) mengalami guncangan (shock) akibat pandemi Covid-19. Ketahanan masyarakat berkaitan dengan kemampuan dari masyarakat untuk dapat menggunakan sumber daya yang tersedia (seperti, teknologi, makanan, pekerjaan, dan rasa aman-nyaman) dalam memenuhi kebutuhan dasar dan menjalankan fungsi sosialnya. Namun kondisi saat ini justru menjadikan ketahanan masyarakat mengalami kerentanan sosial. Kerentanan sosial membuat produktivitas menurun, mata pencarian terganggu, dan munculnya gangguan kecemasan sosial di masyarakat.

Dampak kerentanan sosial dapat membuat masyarakat melakukan tiga tindakan yang saling terkait, yaitu tindakan apatis, tindakan irasional, dan tindakan kriminal.  Pertama, tindakan apatis. Pada tindakan apatis bisa kita lihat pada tindakan masyarakat yang tidak peduli dengan instruksi untuk  menjalankan protokol kesehatan. Kedua, tindakan irasional. Pada tindakan irasional tidak sedikit masyarakat meyakini pelbagai bahan obat dan metode pencegahan agar tidak terkena Covid-19 sekalipun belum ada bukti penelitian ilmiahnya, panic buying, berhutang ke rentenir, hingga bunuh diri. Ketiga, tindakan kriminal. Hal paling dikuatirkan dari kerentanan sosial atas pandemi Covid-19 adalah tindakan kriminal seperti pencurian, penjambretan, pencopetan, pemalakan, penjarahan, bahkan pembunuhan. Tindakan kriminal yang dilakukan karena dasarnya masyarakat itu berada dalam kondisi stabil, sistem – sistem kehidupannya beroperasi secara lancar dan berfungsi. Namun, akibat pandemi Covid-19, kondisi kestabilan dan keberfungsian ini terganggu. Untuk dapat berada pada posisi stabil dan berfungsi, bagi masyarakat yang tidak memiliki akses kapital dengan baik, maka jalan singkat yang beresiko akan dilakukannya. 

Tiga tindakan dan beserta beberapa contohnya, hanya sebagian dari dampak kerentanan sosial yang terjadi di masyarakat akibat pandemi Covid-19. Tentu contoh kasus lain bisa kita amati bersama dipelbagai media dan realitas lingkungan kehidupan.

Komprehensif

Penerapan new normal terjadi polemik. Satu sisi dianggap akan meningkatkan kasus Covid-19 dan lain sisi menjadi upaya meredam tingginya kerentanan sosial yang terjadi di masyarakat. Bahkan ada indikasi bahwa new normal sebagai upaya menyamarkan ketidakmampuan negara untuk mengatasi pandemi Covid-19. 

Pandemi Covid-19 tentu membuat pemasukan negara menjadi berkurang. Sementara negara harus melindungi dan meminimalisir dampak pandemi Covid-19 pada warga negaranya. Maka untuk itu pandemi Covid-19 dianggap menjadi beban anggaran negara dengan berbagai program jaring pengaman sosialnya. Namun dalil beban negara ini bukan jadi alasan negara untuk mengurangi kewajiban kepada warga negaranya. Sebab memang sudah kewajiban negara secara konstitusi untuk menjamin dan melindungi setiap warga negaranya dari pelbagai ancaman, salah satunya pandemi Covid-19.

New normal harus direncanakan secara komprehensif. Sebab penerapan new normal seperti pisau bermata dua, bisa menguraikan masalah dan sebaliknya menambah masalah. Protokol kesehatan dapat dengan mudah dirumuskan, namun belum tentu realitas pelaksanaannya dilapangan mudah dilakukan. Maka untuk itu pelbagai kajian multidisiplin ilmu perlu menjadi pertimbangan pemerintah dalam menerapkan kebijakan new normal.

Penerapan new normal dapat berkaca pada pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Tidak sedikit pelanggaran protokol kesehatan terjadi. Lalu bagaimana dengan tingkat pelanggaran protokol kesehatan saat diterapkannya new normal.

Pelanggaran protokol kesehatan di masa transisi new normal dapat tergambarkan pada suasana di stasiun kereta api, pusat pertokoan, dan transportasi publik. Rupanya tidak berbeda jauh dengan pelanggaran di masa PSBB, bahkan lebih tinggi tingkat pelanggarannya. Masihkah tetap dilonggarkan PSBB? Perlu evaluasi kembali. 

Setidaknya hal yang perlu dipertimbangkan oleh pemerintah saat menerapkan kebijakan new normal, yaitu: seperti apa aktivitas kehidupan masyarakat yang sesuai protokol kesehatan; bagaimana kemampuan negara dalam melakukan pengawasan; bagaimana tingkat manfaat dan kerugian dari kebijakan ini; bagaimana tingkat kesadaran dan disiplin masyarakat; bagaimana sarana dan prasarananya; bagaimana pola manajemennya; dan bagaimana tindakan responsif saat terjadi peningkatan kasus.   

Mengubah cara pandang masyarakat atas situasi dan kondisi yang terjadi saat ini, harus terus dilakukan. Transisi new normal tentu akan ada cultural shock di masyarakat. Sebab kehidupan yang tidak biasa dilakukan, harus dilakukan sebagai cara hidup baru.

Sarana dan prasarana  mutlak disediakan. Sumber ekonomi bagi masyarakat perlu dicarikan alternatifnya. Jaring pengaman sosial harus tetap konsisten dijalankan.

Kolaborasi pemerintah dan masyarakat

Jika skenario new normal menjadi pilihan sambil menunggu vaksin Covid-19 ditemukan, maka kolaborasi dari semua pihak menjadi syarat wajib. Tidak hanya pemerintah, tetapi masyarakat pun harus menjalankan protokol kesehatan yang sudah ditetapkan. Jika tidak ada kolaborasi, kasus terinfeksi Covid-19 akan semakin parah peningkatannya seperti yang diprediksi oleh para ahli kesehatan.

Agar terbangunnya kolaborasi ini, pemerintah sebagai aktor utama harus komitmen dalam menjalankan perannya. Kebijakan pemerintah senantiasa berorientasi kepada masalah (problem-oriented) dan berorientasi kepada tindakan (action-oriented). Langkah – langkah secara terencana dan konsisten patut dilakukan.

Untuk meningkatkan rasa kepercayaan antar aktor dalam terciptanya kolaborasi, maka pemenuhan perlindungan sosial, jaminan sosial, maupun pelayanan sosial menjadi hal mutlak. Masyarakat akan merasa aman dan mau berkolaborasi karena negara hadir dan peduli. Jangan salahkan masyarakat jika kolaborasi tidak terbangun maksimal. Sebab mereka saja memikirkan nasibnya karena merasa tidak aman (insecure) dalam situasi dan kondisi pandemi saat ini. Mereka harus memikirkan bagaimana harus memenuhi kebutuhan pokok hidup keluarganya, bagaimana membayar hutang piutang, dan lain sebagainya. Maka untuk itu negara harus hadir dalam rupa yang sempurna, karena negara memiliki banyak akses sumber daya.

Kebijakan publik pun dirumuskan dengan berpihak pada situasi dan kondisi masyarakat. Bukan justru kebijakan publik yang menambah beban bagi masyarakat. Negara membangun kepercayaan, kolaborasi adalah keniscayaan.

Sebagai penutup, “wajah lama sudah tak keruan di kaca, sedang wajah baru belum jua jelas” ungkap Mochtar Lubis dalam kesimpulan manusia Indonesia. Ungkapan ini dapatlah disinonimkan seperti, “PSBB masih banyak pelanggaran, sedang new normal menyapa untuk diterapkan”.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus