Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Negara tirai batik

Meniru orang lain adalah suatu tindakan tidak berbudaya. perkembangan apa saja di dunia, selalu diterima dan diikuti bangsa indonesia. maka perlu tirai dan dalam hal ini dipilih negara tirai batik.

1 Januari 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

UNI Soviet dikenal sebagai Negara Tirai Besi, RRC dikenal sebagai Negara Tirai Bambu dan negara kita, apa boleh dikenal sebagai Negara Tirai Batik? Maksudnya tentu bukan berarti kita lalu memborong seluruh produksi batik yang ada di Yogya, Pekalongan, Solo, Bandung, Pati, Jakarta, Kediri, Rembang, Kudus serta semua batik yang telah, sedang dan akan dikeriakan di seluruh pelosok negeri untuk diselimutkan dari Pulau Breueh ke Pulau Bunyu ke Tamarike Ke Pulau Roti dan balik ke Pulau Breueh lagi. Bukan begitu. Kita tidak tahu persis bagaimana Uni Soviet dengan tirai besinya dan bagaimana Tiongkok dengan tirai bambunya. Yang kita tahu Garry Power dengan pesawat pengintai U-2 bukannya kebentur besi, melainkan ditembak jatuh di atas wilayah Uni Soviet. Dan yang membuat Cina Daratan sanggup mematahkan invasi Jepang di tahun 1937 bukannya toya-toya bambu, melainkan suatu front bersama dengan Kuomintang. Tapi kalau kita bikin negara kita Negara Tirai Batik bisa dijamin deh pasti lain dari yang mereka punya. Mengapa tiba-tiba hati tergugah menyarankan agar kita pun bertirai-tirai? Begini. Ini bermula dari suatu penghinaan. Beberapa kenalan orang asing enak saja mengkategorikan negara kita sebagai contoh utama dari sofl state. Itu kebangetan, bukan? Dan itu jelas fitnah. Saya bilang pada mereka: "Kalian tahu nggak cerita van Heutsz di Aceh atau Jenderal Mallaby di Surabaya atau Allan Pope di Minahasa? Yang benar aja". Namun, ada baiknya kita bikin kalkulasi: Hindu datang, Hindu berakar. Islam datang, Islam berakar. Marxisme . . . eh, paham-paham Barat berikut sekularismenya datang, mereka berakar. Begitu jugayou can see datang, kita terima. Rok mini muncul, kita ambil. Cutbrai nongol, kita pakai. Kesimpulannya? Pada akhirnya kita tak berdaya menolak hampir semua yang datang dari luar. Posisi geografis dan panorama sejarah kita yang bhineka meniscayakan halnya demikian. Lantas kehormatan kita di mana, dong. Kita kan juga punya kepribadian. Maka satu-satunya pilihan ialah kita harus resmikan negara kita menjadi salah satu negara tirai. Mumpung belum banyak. Dan dalam hal ini kita pilih Negara Tirai Batik. Tapi apa sesungguhnya makna istilah tirai batik itu? Tirai batik ialah . . . yaa tirai batik! Begini. Kita tak boleh menafsir-nafsirkan sendiri. Pokoknya tirai batik itu begitu, ya begitulah. Jangan diseleweng-selewengkan. Sebagai Negara Tirai Batik tentu saja kita tidak kaku. Kita luwes. Misalnya, perkara penyelundupan mobil mewah yang orang bilang lebih hebat daripada kasus Robby Cahyadi dibiarkan saja selama ini, karena menurut Jaksa Agung "kalaupun dibiarkan tentu ada alasannya yang tak perlu dijelaskan di sini". Pemerintah menetapkan benang tenun tipe di atas 10 S tidak boleh masuk, tapi orang Departemen Perdagangan bersedia memberikan izin khusus untuk itu. Di atas kertas kita anti penyelundupan, tapi 4.000 pesawat televisi diselundupkan - dalam tanda petik Mang Usil di Kompas dengan rekomendasi Ditjen Industri Logam dan Mesin. Ini hanyalah sejumlah kecil bukti betapa kita itu tidak kaku. Dan dengan Negara Tirai Batik otomatis kain batik kita promosikan ke seluruh dunia. Indonesia. The Batak Curtain. Coba! Biar orang tahu apa beda Batik Semar dengan Batik Keris di samping tentu saja memperkenalkan tokoh-tokoh menonjol seperti Danarhadi, Iwan Tirta atau Amri Yahya. Dan orang pasti makin mengerti bahwa dalam hidup kita selalu punya cara sendiri. Meniru-niru orang lain adalah suatu tindakan yang sama sekali tak herbudaya. Ini prinsip. "Hujan emas di negeri orang, hujan batu di negeri kita . . .". Jadi semenjak zaman leluhur, bangsa kita sudah tahu apa yang namanya kepribadian. Tak heran kalau seiring dengan keluwesan, kita jalan kan politik bebas aktif. Tidak Timur, tidak Barat. Begitulah maka meskipun soal Pertamina dan soal korupsi sudah basi, ASEAN tidak basi-basi. Perkembangan apa saja di dunia Bli selalu kita ikuti secara aktif. Satelit boleh dimulai. Komputer boleh masuk. Golf boleh dipersilakan. Udah, deh. Pokoknya bangsa Indonesia itu sifatnya rilek-rilek saja. Kita tak suka bersitegang urat leher. Oleh karena itu Alfred Hitchcock tidak usah lagi repot-repot memanggil Paul Newman ke mari buat bikin film model Torn Curtain dengan latar Indonesia. Tak cocok. Di sini, sama halnya dengan hampir apa saja boleh dimasukkan, hampir apa saja boleh dikeluarkan, asalkan tahu lika-likunya. Anda tentu pernah mendengar orang luar menggunakan istilah 'diplomasi batik', bukan? Sekarang Negara Tirai Batik, bagaimana. Jakarta, 29 Nopember 1976.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus