Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Miko Ginting
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemidanaan terhadap korban pemerkosaan di Jambi adalah gambaran yang paling jelas soal posisi negara ketika merespons korban pemerkosaan. Korban awalnya dituntut 1 tahun penjara oleh penuntut umum, kemudian divonis 6 bulan penjara oleh majelis hakim dengan penerapan Pasal 45A juncto Pasal 77A Undang-Undang Perlindungan Anak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dia jelas merupakan korban pemerkosaan oleh kakak kandung sendiri. Sebagai korban pemerkosaan, terlebih korban pemerkosaan dari lingkungan terdekat, ia jelas menanggung penderitaan, baik secara fisik maupun mental. Selain itu, terdapat fakta bahwa ia anak yang belum dewasa, masih berusia 15 tahun.
Dalam konteks ini, perlu dan seharusnya dia diposisikan sebagai korban yang berulang kali menjadi korban kembali (multiple victimizations). Seorang korban pemerkosaan berada pada posisi yang sangat rentan, baik secara posisi relasi kuasa, usia, psikis dan mental, maupun sosial. Respons secara hitam-putih belaka dari sudut pandang positivisme hukum tidak akan mampu membongkar berbagai kerentanan ini.
Meskipun dengan hanya menyandarkan diri pada beberapa produk hukum positif, bukan berarti tidak ada langkah maju yang bisa diambil oleh negara (baca: penegak hukum dan pengadilan). Salah satunya adalah Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum. Peraturan ini seharusnya menjadi dorongan bagi hakim untuk melihat perkara pemerkosaan lebih dalam: membongkar posisi kerentanan korban.
Benar bahwa peraturan yang ada dan berlaku menempatkan tindakan aborsi sebagai perbuatan pidana. Namun, di sisi lain, tindakan aborsi sehat dan aman dengan syarat dan kondisi tertentu juga dimungkinkan oleh hukum positif. Peluang dia terlepas dari jerat pemidanaan seharusnya bisa diambil oleh penegak hukum dengan menerapkan pilihan kedua ini.
Undang-Undang Kesehatan dan peraturan turunannya memberi jalan dilakukannya aborsi dengan dua syarat: 1) apabila terdapat indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak dini kehamilan dan 2) kehamilan akibat pemerkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban.
Syarat itu memberi makna bahwa aborsi bukanlah sesuatu yang dilarang penuh, tapi mungkin dilakukan dengan syarat dan kondisi tertentu, yang salah satunya terhadap korban pemerkosaan. Ia juga dapat dilakukan oleh pihak yang memenuhi kualifikasi tertentu oleh negara. Hal terakhir ini menimbulkan pertanggungjawaban negara.
Negara diberi tanggung jawab untuk memberikan jaminan perlindungan berupa aborsi aman dan sehat tidak terbatas tapi terutama kepada korban pemerkosaan. Bukan justru sebaliknya dengan mempidanakan praktik aborsi yang dilakukan karena gagalnya negara memenuhi tanggung jawab itu. Poinnya adalah negara tidak seharusnya mempidanakan tindakan yang seharusnya hadir memberikan jaminan perlindungan.
Lebih jauh, selain memberikan akses aborsi aman sejak awal, negara perlu memberikan jaminan perlindungan lain berupa tindakan sementara. Misalnya, penempatan korban jauh dari pelaku dan tempat kejadian, pemulihan secara psikis dan fisik, sampai kompensasi kepada korban. Sekali lagi, bukan dengan menerapkan pemidanaan kepada korban pemerkosaan.
Lalu, bagaimana proyeksi kebijakan ke depan? Ternyata posisinya sama sekali tidak berubah. Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang sedang dibahas pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat masih melanggengkan pidana penjara sebagai respons bagi tindakan aborsi. Hal ini tidak mengubah kondisi status quo saat ini.
Jika demikian adanya, perempuan korban pemerkosaan yang menggugurkan kandungannya akan masuk daftar tunggu untuk dipidana. Sementara itu, negara tetap tidak berhasil memberikan jaminan perlindungan untuk aborsi aman dan sehat. Di tengah situasi itu, korban pemerkosaan di Jambi dan korban lainnya tetap mengalami situasi menjadi korban berulang kali.