Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Nomenklatur Baru, Kinerja Belum Tentu

SUSUNAN kabinet periode mendatang merupakan pertaruhan bagi Presiden Joko Widodo. Menjadi motor untuk mewujudkan janji-janji presiden terpilih, kinerja para menteri akan menentukan reputasi Jokowi kelak. Apakah ia akan menjadi pemimpin sukses, biasa saja, atau bahkan gagal.

24 Agustus 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Nomenklatur Baru, Kinerja Belum Tentu/Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PRESIDEN seyogianya cermat dalam menyusun kabinet. Sejauh ini, Jokowi baru merancang komposisi: 55 persen menterinya akan datang dari kalangan profesional dan 45 persen dari partai politik. Dari komposisi kabinet sekarang, mungkin ada tambahan satu kursi buat menteri nonpartai. Dari 34 kementerian, saat ini 18 menteri berasal dari nonpartai dan 16 menteri dari partai politik.

Komposisi itu cukup bagus karena Presiden tentu tidak bisa menihilkan peran partai politik dalam pemerintahan. Tapi ada urusan yang jauh lebih penting, yakni memilih menteri yang cakap sekaligus berintegritas. Jokowi jangan sampai mengulang kesalahan pada periode pertama: mengangkat figur yang kurang berintegritas. Menteri Sosial Idrus Marham, misalnya, harus mundur dari kabinet gara-gara terjerat kasus suap proyek listrik. Sejumlah menteri selama ini juga disebut-sebut terkait dengan kasus korupsi, seperti Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, serta Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita.

Penempatan figur, terutama dari kalangan partai politik, pun semestinya tidak sembarangan. Langkah Jokowi memberikan jatah kursi Jaksa Agung serta Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia kepada partai politik pada kabinet sekarang terbukti keliru. Kinerja dua lembaga ini melempem sehingga pemerintah Jokowi mendapat sorotan tajam dalam urusan penegakan hukum dan pelindungan hak asasi manusia.

Memilih figur bermutu dan pas untuk setiap pos kementerian merupakan kunci keberhasilan pemerintah periode kedua. Urusan ini bahkan lebih penting dan strategis ketimbang keinginan membikin dua kementerian baru: Kementerian Digital dan Ekonomi Kreatif serta Kementerian Investasi. Pembentukan dua pos ini akan mengakibatkan perombakan besar lantaran undang-undang mematok jumlah kementerian maksimal 34. Artinya, harus ada penggabungan sejumlah kementerian.

Merombak kabinet dan membikin kementerian baru bukan sekadar mengganti papan nama dan kop surat. Dampaknya luas karena akan menyangkut anggaran, penempatan pegawai, dan tata kerja birokrasi. Inilah yang terjadi ketika Jokowi merombak sejumlah kementerian pada 2014. Saat itu, ia melakukan banyak perombakan yang memunculkan sejumlah kementerian hasil penggabungan, seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan; Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi; serta Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.

Andaikata kajian lima tahun lalu cukup cermat, Jokowi semestinya tidak perlu merombak kabinet lagi sekarang. Keperluan adanya Kementerian Investasi, misalnya, seharusnya sudah bisa diantisipasi sejak dulu. Pembentukan kementerian baru amat berisiko karena memerlukan waktu untuk menyusun organisasi dan kelengkapan birokrasi. Dalam setahun atau dua tahun, urusan seperti ini sering belum beres.

Perombakan kementerian juga bisa mengacaukan program reformasi birokrasi di banyak kementerian. Kementerian baru otomatis akan memulai dari nol. Kini pun indeks reformasi birokrasi kita masih rendah. Sesuai dengan penilaian Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara, indeks reformasi birokrasi pemerintah pusat pada tahun ini hanya 72,15 atau turun dari angka 72,48 pada tahun lalu. Dengan skala penilaian hingga 100, angka itu jelas masih jauh dari memuaskan.

Tak hanya kedodoran dalam soal efektivitas dan efisiensi birokrasi, sejumlah kementerian umumnya juga lemah dalam pelayanan publik. Jokowi seharusnya peduli terhadap masalah reformasi birokrasi. Apalagi ia berjanji memprioritaskan pembangunan sumber daya manusia pada periode kedua pemerintahannya.

Dalam mengelola pemerintahan, optimalisasi pelaksanaan fungsi semestinya lebih diutamakan dibanding mendirikan lembaga atau kementerian baru yang belum tentu efektif. Urusan investasi dan digital sebetulnya masih bisa ditangani oleh kementerian yang ada. Pendek kata, untuk mengejar target pertumbuhan ekonomi 5,4 sampai 6 persen seperti yang dijanjikan dalam Nawacita jilid II, Presiden sebetulnya masih bisa mengandalkan struktur kabinet yang lama.

Jangan lupa, titik terlemah pemerintah Jokowi selama ini ada pada bidang hukum, pemberantasan korupsi, dan pelindungan hak asasi manusia. Pada periode kedua, Jokowi semestinya memiliki terobosan untuk menutup kelemahan itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus