Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MASALAH yang muncul dalam lelang pengadaan kendaraan bermotor di Korps Lalu Lintas Kepolisian Republik Indonesia hanya puncak gunung es buruknya tata kelola anggaran di lembaga itu. Setelah didera perkara korupsi proyek pengadaan simulator surat izin mengemudi pada 2011, polisi rupanya masih enggan berbenah.
Kali ini, Korlantas Polri digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta dalam lelang pengadaan 250 sepeda motor BMW berkapasitas 1.200 cc. Lelang yang diadakan tahun lalu itu diikuti tiga peserta, tapi hanya dua perusahaan yang memasukkan dokumen penawaran. PT Graha Qinthar Abadi mendaftarkan harga penawaran Rp 149,95 miliar dan PT Digital Praja Makayasa sebesar Rp 145 miliar. Yang janggal, Korlantas belakangan memenangkan Graha Qinthar Abadi meski perusahaan itu menawarkan harga lebih tinggi daripada pesaingnya.
Digital Praja Makayasa mencoba mengubah putusan itu dengan membawanya ke meja hijau. Sayangnya, awal tahun ini, majelis hakim PTUN Jakarta menolak gugatan Digital Praja. Hakim mengabaikan setumpuk bukti yang menguatkan tudingan bahwa tender itu direkayasa, seperti perubahan persyaratan di tengah proses dan spesifikasi produk yang mengarah pada merek tertentu.
Fakta penting yang juga dinafikan majelis hakim adalah rekam jejak Graha Qinthar Abadi di Korlantas Polri. Perusahaan itu langganan lama polisi dalam berbagai proyek bernilai puluhan miliar rupiah. Sejak 2017, Graha Qinthar bolak-balik memenangi lelang di Korlantas. Perusahaan itu tampaknya bisa menyediakan apa pun yang dibutuhkan polisi, dari perangkat sistem pendukung National Traffic Management Centre Polri sampai kendaraan roda dua. Fakta ini saja sesungguhnya sudah cukup untuk memicu penyelidikan internal di Polri.
Masalahnya, Korlantas salah satu penyumbang dana penerimaan negara bukan pajak (PNBP) terbesar untuk Polri. Sebagian besar penerimaan itu datang dari jasa pengurusan surat-surat kendaraan bermotor, seperti buku pemilik kendaraan bermotor, surat tanda nomor kendaraan, dan surat izin mengemudi. Tahun lalu saja, Kementerian Keuangan mengembalikan 92 persen PNBP Polri, yang jumlahnya hampir Rp 11,79 triliun. Itu sekitar 12 persen dari total anggaran Polri pada 2018, yang mencapai Rp 95 triliun.
Dana itulah yang belakangan digunakan untuk membiayai berbagai pengadaan barang di Korlantas. Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1999 tentang Tata Cara Penggunaan PNBP yang Bersumber dari Kegiatan Tertentu memang tidak melarang hal itu, selama dana tersebut disetorkan lebih dulu ke bendahara negara. Namun jelas ada prinsip manajemen anggaran yang dilanggar ketika sebuah lembaga pemerintah bisa memanfaatkan hampir semua dana yang diperoleh dari kegiatannya untuk kebutuhannya sendiri. Ini bisa menimbulkan kecemburuan, baik di dalam organisasi polisi sendiri maupun di lembaga pemerintah lain.
Sudah saatnya Presiden Joko Widodo dan Menteri Keuangan Sri Mulyani menertibkan kembali tata kelola anggaran, terutama pengaturan PNBP, di tubuh Polri. Pengurusan surat-surat kendaraan bermotor, misalnya, jelas bukan wilayah polisi. Urusan itu bisa diserahkan kepada pemerintah daerah agar Polri bisa berkonsentrasi mengerjakan tugasnya sebagai penegak hukum. Tanpa perombakan mendasar, kisruh seputar anggaran Polri akan terus terjadi dan cita-cita membentuk institusi kepolisian yang bersih dari korupsi akan selamanya sulit tercapai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo